PERPECAHAN adalah salah satu penyakit terbesar umat yang sangat dibenci oleh Rasulullah SAW. Dalam banyak hadis, beliau mengingatkan umat Islam agar selalu bersatu di bawah naungan iman dan kepemimpinan yang benar. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai…” (QS. Ali Imran: 103). Ayat ini menjadi dasar bahwa Islam sangat menekankan persatuan, bukan sekadar sebagai nilai moral, tetapi juga sebagai perintah syar’i.
Rasulullah SAW memahami betul bahwa kekuatan umat bukan hanya terletak pada jumlahnya, tetapi pada kesatuan hati dan arah perjuangan. Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha kepada kalian tiga perkara: bahwa kalian menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, bahwa kalian semua berpegang teguh pada tali Allah, dan tidak bercerai-berai…” (HR. Muslim). Dari hadis ini jelas bahwa bersatu adalah bagian dari keridhaan Allah, sementara berpecah belah adalah sebab murka-Nya.
Secara ilmiah, perpecahan dapat dipahami sebagai hilangnya kohesi sosial yang melemahkan struktur masyarakat. Dalam perspektif sosiologi, masyarakat yang terpecah akan mudah disusupi, dipecah-belah, bahkan dijajah. Hal ini juga sejalan dengan analisis sejarah: setiap kali umat Islam bersatu, mereka mampu menorehkan kejayaan, tetapi saat mereka terpecah, kehinaan dan penjajahan datang menimpa.
Rasulullah SAW sendiri menjadi teladan nyata dalam membangun persatuan umat. Saat hijrah ke Madinah, beliau menyatukan kaum Muhajirin dan Anshar melalui ikatan ukhuwah Islamiyah. Beliau juga menyusun Piagam Madinah yang menjadi simbol awal peradaban yang harmonis, memadukan berbagai elemen masyarakat dengan asas keadilan dan persaudaraan. Ini bukti nyata bahwa persatuan bukan sekadar teori, tetapi harus diwujudkan dalam praktik sosial-politik umat.
Baca Juga: Negeri Syam Pusat Keberkahan Dunia
Perpecahan yang dibenci Rasulullah SAW bukan hanya perpecahan fisik, tetapi juga hati dan pikiran. Ketika umat lebih mengutamakan hawa nafsu, ego, dan fanatisme golongan, maka muncullah perpecahan yang merusak. Al-Qur’an mengingatkan, “Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan yang jelas…” (QS. Ali Imran: 105). Pesan ini sangat relevan bagi umat Islam di setiap zaman.
Dari sisi spiritual, perpecahan menandakan lemahnya iman. Rasulullah SAW bersabda: “Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain seperti bangunan, yang satu menguatkan yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim). Jika seorang muslim justru melemahkan saudaranya sendiri dengan perselisihan, berarti ia telah meruntuhkan bangunan umat yang seharusnya kokoh.
Persatuan bukan berarti meniadakan perbedaan, sebab perbedaan adalah sunnatullah. Yang dibenci Rasulullah SAW adalah perpecahan yang melahirkan permusuhan dan kebencian. Perbedaan pendapat yang dilandasi ilmu, adab, dan kasih sayang justru memperkaya khazanah umat. Namun, jika perbedaan itu dijadikan bahan saling menyesatkan, saling menjelekkan, dan memecah belah, maka hal itu menjadi fitnah besar bagi umat Islam.
Dalam sejarah Islam, kita menyaksikan bagaimana perpecahan politik umat setelah wafatnya Rasulullah SAW melahirkan fitnah besar yang berujung pada peperangan antar sesama muslim. Ini menjadi pelajaran penting bahwa tanpa kedewasaan, ilmu, dan sikap tawadhu, perbedaan akan mudah berubah menjadi perpecahan. Rasulullah SAW sudah memperingatkan bahaya ini agar kita tidak mengulang kesalahan yang sama.
Baca Juga: Mulutmu Harimaumu, Ketika Lisan Menghancurkan Martabat
Persatuan yang diajarkan Rasulullah SAW juga memiliki dimensi peradaban. Dengan bersatu, umat Islam mampu membangun pusat ilmu pengetahuan, sains, teknologi, hingga ekonomi yang kuat. Andalusia, Baghdad, hingga Istanbul menjadi bukti nyata kejayaan peradaban Islam yang dibangun di atas ukhuwah. Sebaliknya, saat umat tercerai-berai, kejayaan itu runtuh satu demi satu.
Hari ini, kita bisa melihat bagaimana umat Islam di berbagai belahan dunia mengalami tekanan, konflik, dan penjajahan. Banyak di antara masalah itu lahir karena lemahnya persatuan umat. Kita sering sibuk memperdebatkan hal-hal kecil, tetapi lalai menghadapi musuh bersama. Padahal, Rasulullah SAW sudah mengingatkan bahwa kekuatan umat ada pada ukhuwah dan persaudaraan, bukan pada jumlah yang besar tanpa persatuan.
Menghidupkan kembali semangat persatuan Rasulullah SAW berarti menanamkan ukhuwah Islamiyah dalam setiap aspek kehidupan. Kita perlu membiasakan sikap saling menghormati, mengutamakan musyawarah, menahan ego, serta menempatkan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan golongan. Dengan demikian, kita dapat menjaga warisan Rasulullah SAW berupa persaudaraan yang kokoh.
Akhirnya, kita harus menyadari bahwa mencintai Rasulullah SAW berarti mengikuti ajarannya, termasuk membenci perpecahan. Umat Islam wajib menegakkan tali persaudaraan, menjauhi sifat suka memecah belah, serta berusaha menjadi jembatan persatuan. Semoga Allah menjadikan kita bagian dari umat yang diridhai-Nya, yang bersatu dalam iman, ilmu, dan amal, sehingga kita dapat mengembalikan kejayaan Islam yang dirindukan.[]
Baca Juga: Traveling ke Masjidil Aqsha
Mi’raj News Agency (MINA)