Oleh :Rifa Arifin, Kepala Redaksi Arab Miraj News Agency (MINA)
Pentas politik dunia saat ini masih belum berubah, yakni masih didominasi dan terhubung dengan tiga negara besar yaitu Amerika Serikat, Tiongkok dan Rusia. Tahun ini, hubungan ketiganya terbilang cukup “akur” dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dalam beberapa analisa politik mengatakan, Tiongkok dan Rusia mengambil posisi “wait dan see” dalam menyusun strategi dan terlihat seolah mengikuti ritme Trump di masa awal kepresidenannya.
1. AMERIKA SERIKAT
Baca Juga: DPR AS Keluarkan RUU yang Mengancam Organisasi Pro-Palestina
Trump selama kampanyenya berjanji bahwa kebijakan luar negerinya akan menempatkan Amerika terlebih dahulu (American First). Strategi yang disusunya mulai menarik Amerika keluar dari perserikatan atau persatuan yang diduga merugikan Amerika misalnya : Perjanjian Perdagangan KemitraanTrans Pasific (TPPA) disusul dengan keluarnya Amerika dari Kesepakatan Paris (Paris Climate) ditambah Amerika memutuskan untuk hengkang dari Badan Kebudayaan PBB, UNESCO. Yang tidak lama setelahnya Israel mengikuti jejak Amerika, Israel menilai, UNESCO sangat anti Israel. Kebijakan roller coaster Trump menimbulkan rasa khawatir anggota NATO karena bisa jadi Amerika sudah enggan mengambil posisinya sebagai mitra keamanan di organisasi tersebut, hal itu pun terasa di Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan.
Dalam satu tahun pertamanya, Trump sering menyebut Iran dan Korea Utara sebagai ancaman utama bagi Amerika, hal itu sesuai dengan dokumen National Security Strategy yang diterbitkan 3 hari yang lalu, Dalam pasalnya, kedua negara ini dinilai merupakan pemilik senjata pemusnah masal (WMD), tapi tentunya, alasan implisitnya tidak lain adalah kedua negara ini merupakan sekutu penting Rusia dan Tiongkok.
Dalam beberapa analisa politik, kekurangan Trump adalah dia terlalu inklusif, Banyak keputusannya berdasarkan prediksi politik domestik, dan ini menyebabkan Amerika teledor dalam menjalankan kebijakannya. Misalnya keputusan menyerang Suriah pada 7 April 2017 hampir merusak hubungan Amerika-Rusia, ditambah lagi belum lama Trump memutuskan Al-Quds atau yang disebut Yerusalem timur sebagai ibukota Israel, hal itu tanpa disadarinya pada telah menjatuhkan kewibawaan Amerika sebagai juru bicara proses perdamaian Israel-Palestina yang akhirnya hanya menumbuhkan gelombang sentimen anti-Amerika yang baru.
Belum lama ini sidang umum PBB yang mengumumkan penolakan terhadap keputusan Trump yang menjadikan Yerusalem Timur sebagai Ibukota Israel. ketuputusan itu ditolak 128 negara, didukung 8 negara dan 35 negara abstain. Sentimen anti-Amerika kian merambah membuat Amerika lonely, hasil voting di atas memberi isyarat negara adidaya semakin terisolasi.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
2. TIONGKOK
Tiongkok perlahan mencoba mengisi posisi Amerika dengan menonjolkan peformanya sebagai pemimpin sistem kapitalis global. Pada Januari 2017, Presiden Tiongkok Xi Jinping menjadi presiden Tiongkok pertama yang menghadiri World Economic Forum sekaligus menyampaikan pidatonya. Tak terbayang, Presiden negara komunis membuka perhimpunan tahunan kapitalis sedunia, sangat ironi. Tiongkok terus hadir di belahan dunia, proyek jalur sutra One Belt One Road (OBOR) yang mengangkat visi globalisasi ala Tiongkok, juga hadirnya Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), bahkan di Indonesia sendiri 3 proyek besar sudah ditekennya. Dengan langkah langkah tersebut Tiongkok ingin mengepakan kepentingan geopolitiknya di benua Eropa-Asia.
Pada Bulan Oktober lalu, Xi Jinping kembali terpilih sebagai presiden untuk masa jabatan 5 tahun lagi. Itu berarti paling kurang 5 tahun lagi dia untuk membawa Tiongkok semakin gemilang.
Baca Juga: Lima Paramedis Tewas oleh Serangan Israel di Lebanon Selatan
3. RUSIA
Rusia telah berhasil menstabilkan kedudukan sekutunya Presiden Assad di Suriah, dan memperbaiki hubungannya dengan Turki, juga menjalin beberapa kerjasama baru dengan Arab Saudi, disusul usainya konflik kepualauan Kuril yang diklaim Jepang sebagai kawasan teritorial udaranya.
Vladimir Putin bercita ingin menjadikan Rusia menjadi kekuatan besar dan diperhitungkan di benua Eropa dan Asia, tapi ternyata, Tiongkok telah lebih dulu mencuri perhatian sebagai “Eurasian power”.
Baca Juga: Joe Biden Marah, AS Tolak Surat Penangkapan Netanyahu
Meski begitu, volume ekonomi Rusia mengecil tapi warisan nuklirnya masih kuat, sampai saat ini Rusia menjadi pemain kunci di dua tempat ; Ukraina dan Timur Tengah, Rusia masih menjadi pemasok gas terbesar di Eropa, dengan itu sanksi ekonomi yang diberlakukan kepada Rusia dalam kasus Ukraina tidak efektif.
4. EROPA
Setahun sudah Brexit, banyak yang menganggap bahwa Uni Eropa akan segera tutup usia, sempat dikabarkan Perancis dan Belanda akan ikut menyusul keluar dari badan persatuan ini, tapi angin segar datang dari Perancis dan Jerman, pelantikan Emmanuel Macron sebagai Presiden Perancis dan pelantikan Angela Merkel sebagai Kanselor Jerman memberikan sedikit harapan kepada Uni Eropa, meskipun begitu, Uni eropa masih memiliki tugas yang tidak sepele yaitu polemik referendum sekaigus pemisahan Catalunya dari Sepanyol, juga Veneto di Italia yang menginginkan perluasan otonomi dari pemerintah pusat.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
5. TIMUR TENGAH
Perang dingin antara Saudi dan Iran masih berlanjut bahkan semakin sengit. Blok Saudi-Mesir-UAE semakin solid, sementara Qatar mencoba menjadi fleksibel dan tidak mau tekekang dengan “aturan” Saudi. Oleh karena itulah mengapa Qatar diboikot sejak 5 Juli 2017. Tapi sampai saat ini Qatar masih survive, malah belum lama ini membentuk aliansi strategis bersama Turki dan Pakistan, seolah menjadi Blok Ketiga di kawasan Timur Tengah.
Sementara itu, Hampir 3 tahun Yaman berperang. Ali Abdullah Saleh, aktor utama yang mencetuskan perang telah tewas mengenaskan dibunuh oleh Houthi pada 4 Desember lalu. Namun perang di Yaman terus berlangsung antara Houthi ( yang diklaim disokong oleh Iran), dan Presiden Yaman Mansur Hadi (yang diklaim disokong oleh Saudi) dan Al-Qaeda.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Di Suriah, perang saudara hampir selesai, posisi Assad semakin kuat, ISIS hanya tinggal menunggu ditelan waktu, ibu kotanya Raqqa telah terbebas pada 17 Oktober 2017. Keikutsertaan Kurdi dalam perang melawan ISIS telah “memberatkan” orang Kurdi di Irak dan akhirnya mereka mencoba untuk membentuk negara sendiri melalui sebuah referendum pada September lalu. Karena referendum itu, Perang regional hampir meletus karena kekhawatiran Turki dan Irak atas keinginan Kurdi memiliki wilayah dan pemerintahannya sendiri.
Sementara Amerika sibuk mengampanyekan hak asasi manusia di Timur Tengah, dengan ricuhnya situasi timur tengah, negara sahabat Amerika mengambil kesempatan dan peluang untuk memantapkan kekuasannya masing masing. Misalnya April lalu, Erdogan membuat referendum untuk menjadi presiden selamanya. Dan Putera Mahkota Arab Saudi, Mohammad bin Salman melakukan pemersihan politik dalam dan luar negeri yang dinilai paling dramatis dalam sejarah Arab Saudi.
6. KOREA
Baca Juga: Inggris Hormati Putusan ICC, Belanda Siap Tangkap Netanyahu
Presiden Korut Kim Jong-un bermain pada highlevel. Isu yang menyerangnya adalah bom hidrogen yang membahayakan alam semesta. Tapi sejauh ini, Kim Un dan Trump hanya sekedar perang mulut dan perang psikologis saja. Ancaman Kim untuk menyerang pangkalan militer AS di Guam tidak mungkin terjadi. Sebenarnya, Kim tidak tertarik untuk bertempur, dia hanya membela keamanan rezimnya atau dengan kata lain, menggunakan senjata nuklir untuk mencegah AS menyerang Korea Utara.
Namun begitu, Korea Selatan tetap berjaga-jaga. Karena jarak Seoul hanya 50 km dari Korut. Praktek uji coba nuklir Korut berakibat Presiden Korea Selatan, Park Geun-hye memasang sistem Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Korea Selatan pada Maret lalu. Dengan kebijakan itu Tiongkok tidak terima karena THAAD mengancam kepentingan strategis Tiongkok.
7. ASEAN & LAUT CINA SELATAN
Baca Juga: Guido Crosseto: Kami akan Tangkap Netanyahu Jika Berkunjung ke Italia
Tahun ini ASEAN telah merayakan hari berdirinya yang ke 50. Meski banyak menuai kritikan tentang eksistensinya di negara anggota, meski begitu, kita tidak bisa menutup mata bahwa tahun ini ASEAN telah membuat kemajuan terutama pada isu Laut Cina Selatan (LCS). Presiden Filipina Rodrigo Duterte yang memiliki mandate sebagai Ketua ASEAN mengambil langkah “tidak konfrontatif” terhadap Tiongkok dalam menghadapi tuntutan yang tumpang tindih dari Kepulauan Spratly. Kini situasi LCS kurang tegang, dan Tiongkok sepakat untuk membuat kode etik (COC) dengan ASEAN. Dibandingkan Obama, Trump kurang menekan Tiongkok soal masalah LCS, sehingga ASEAN tidak perlu terjebak antara poros Tiongkok dan Amerika.
8. INDONESIA
Tahun 2017 adalah tahun hari raya Indonesia ke72 sebagai negara merdeka dan berdaulat. Indonesia sampai saat ini masih kukuh dengan posisinya sebagai mediator dalam beberapa kasus internasional, Tahun ini merupakan tahun kesuksesan dalam diplomasi luar negeri yang mana Indonesia berulang kali menjadi negara terdepan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di dunia. Salah satunya terlihat ketika Indonesia turun tangan langsung dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan warga Rohingya di Myanmar. Saat itu, Menteri Retno Marsudi menemui langsung Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi.
Baca Juga: Militer Israel Akui Kekurangan Tentara dan Kewalahan Hadapi Gaza
Dengan aset diplomasi Indonesia juga, keamanan dan ketenteraman dapat terwujud di kawasan ASEAN hingga saat ini. Hal ini tak terlepas pula dari kontribusi Indonesia yang menjadi negara terbesar di ASEAN.
Isu diplomasi luar negeri lainnya adalah kiprah Indonesia mendorong kemerdekaan Palestina selama puluhan tahun, kerjasama program peningkatan kapasitas capacity building, Upaya itu tidak hanya digalakkan di kawasan Asia Tenggara melalui keikutsertaan di ASEAN, tetapi juga hingga ke lingkup Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Presiden Jokowi menegaskan bahwa Palestina adalah jantung diplomasi Indonesia.
Dengan menganut asas bebas aktif Indonesia terdepan dalam membangun hubungan baik dengan negara manapun kecuali Israel, misalnya dalam konflik Arab Saudi – Iran, Indonesia menjadi mediator yang tidak pro sebelah. Begitupun dengan konflik Qatar, Indonesia telah menjalin kerjasama investasi dan perdagangan yang cukup besar.
Baca Juga: ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Netanyahu dan Gallant
Juga dalam prahara konflik antara Korea selatan dan Korea utara, Indonesia berposisi sebagai negara tengah yang mana corong diplomasinya tidak menunjukan keberpihakan, Korea Utara dan Korea Selatan keduanya “teman baik” dalam cakupan pemerintah juga rakyat Indonesia.
Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia dan negara terbesar di ASEAN, sudah saatnya Indonesia berperan lebih besar di pentas geopolitik dunia ketika tatanan global saat ini tak berarah.
Soekarno sebagai Founding fathers Indonesia telah sukses mengumpulkan kekuatan negara Asia –Afrika untuk melawan tirani kolonialisme, sejarah mencatat Konferensi Asia Afrika (KAA) merupakan satu langkah memecahkan masalah kedaulatan nasional, rasialisme dan kolonialisme. Seluruh anggota konferensi saat itu yang belum merdeka saat ini sudah menikmati kemerdekaannya, kecuali Palestina.
Mudah mudahan di tahun mendatang peran Indonesia semakin dirasakan dunia, keterlibatan Indonesia di G20, G8, OKI menunjukan bahwa Indonesia adalah negara yang diperhitungkan. (A/RA-1/P2)
Miraj News Agency (MINA)