Terang sinar matahari memantul dari kaca-kaca gedung Bandung Advanced Science and Creative Engineering Space (BASICS), Kawasan Sains dan Teknologi (KST) Samaun Samadikun, Bandung. Selarik sinarnya menembus salah satu kaca jendela Laboratorium Divais dan Elektronika, tempat di mana Yuliar Firdaus (39) tengah bekerja.
Peneliti Ahli Muda Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tersebut dengan sigap memproses bahan-bahan penyusun perovskite solar cell (PSC) dalam sebuah glove box.
Glove box merupakan wadah tertutup yang dirancang bagi seseorang agar bisa memanipulasi objek atau material dalam kondisi yang diinginkan.
“Dari SMA saya setiap ditanya, cita-cita jadi apa? Jadi peneliti,” kenangnya, demikian Humas BRIN dalam laman resminya, Ahad (7/5).
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Meskipun demikian, Yuliar mengaku tidak tahu profesi peneliti itu seperti apa hingga dirinya menginjak bangku kuliah. Menempuh studi S1 dan S2 di bidang ilmu fisika ITB, Yuliar lantas melanjutkan studi doktoralnya di bidang Ilmu Kimia, KU Leuven Belgia.
Dari sanalah, minat dan keahliannya di bidang riset sel surya dan optoelektronika semakin ajek. Selepas lulus, ia kemudian menjadi salah satu peneliti diaspora di King Abdullah University of Science and Technology (KAUST).
“Hampir enam tahun di KAUST dari 2015 hingga 2021 sebagai postdoctoral fellow,” jelasnya.
Selama di KAUST, kemampuan risetnya di bidang organic photovoltaic (OPV) kian terasah. OPV adalah salah satu teknologi sel surya generasi ketiga yang memanfaatkan bahan polimer organik sebagai lapisan penyerap cahaya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Yuliar Firdaus merupakan salah satu penerima penghargaan periset BRIN Tahun 2023, atas kontribusi dan capaian penelitiannya di bidang sel surya dan optoelektronika.
Capaian produktivitas risetnya melingkupi: 12 artikel dan 1 prosiding di jurnal bereputasi tinggi terindeks Scopus, penerima pendanaan riset baik internal maupun eksternal, serta 23 jumlah sitasi H-Indeks Scopus.
Tiga Generasi
Yuliar menjelaskan bahwa dunia mengenal tiga generasi teknologi sel surya. Generasi pertama berupa kristal silikon (c-Si), yang modulnya jamak ditemui di banyak bangunan. Ini adalah teknologi sel surya terpopuler yang terbuat baik dari silikon kristal tunggal ataupun poli kristal silikon. Generasi pertama membutuhkan bahan tebal, yang pada akhirnya bermuara pada harga yang relatif mahal.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Karena itulah, muncul sel surya dengan lapisan tipis yang disebut generasi kedua. Sel surya generasi kedua ini terbuat dari material seperti copper indium gallium selenide (CIGS), cadmium telluride (CdTe), dan amorphous silicon (a-Si).
Lapisan tipis yang fleksibel dan ringan tersebut memungkinkan sel surya ini ditempatkan pada banyak tipe substrat, seperti kain misalnya.
Namun, kehadiran sel surya generasi ketiga menambah optimisme di bidang ini semakin tinggi. Sel surya generasi ketiga memanfaatkan material-material yang relatif lebih murah dibandingkan generasi pertama dan kedua.
Sel surya generasi ketiga ini juga memiliki potensi tingkat efisiensi yang lebih baik dibandingkan para pendahulunya-yang berarti mampu menghasilkan energi listrik lebih banyak. Plus, memiliki lebih banyak pilihan material penyusun.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
“Ada dari quantom dots waktu saya S3, ada organic photovoltaic, yakni bahannya kayak plastik, itu yang saya kerjain di KAUST,” bebernya.
Yuliar percaya, sebagai negara tropis yang menerima sinar matahari sepanjang tahun, Indonesia memiliki potensi besar baik dari aspek praktis maupun riset dalam bidang sel surya.
Dilansir dari Indonesia.go.id, potensi pengembangan energi surya di Indonesia sangat besar. Kisaran angkanya bisa mencapai 207,8 gigawatt. Meskipun demikian, yang baru bisa direalisasikan tak lebih dari 0,15 gigawatt.
“Mau gak mau kita harus fokus pada pengembangan energi matahari,” tegasnya.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Bekerja bersama para peneliti di Pusat Riset Elektronika BRIN, Yuliar mengaku tertarik untuk kembali menggarap sel surya Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) yang trennya mulai ditinggalkan karena kehadiran PSC. “Supaya dibangkitkan lagi aktivitas penelitiannya,” kata Yuliar.
DSSC sendiri merupakan jenis lain dari sel fotovoltaik yang menggunakan pewarna fotosensitif untuk menyerap cahaya dan menghasilkan listrik. Materialnya yang berwarna-warni dan transparan tidak hanya bisa bekerja sebagai penghasil listrik, tetapi juga mempercantik bangunan.
Selama periode 2022 hingga 2023, Yuliar terlibat setidaknya dalam tiga kegiatan riset yang bersumber dari pelbagai pendanaan. Pertama, pengembangan elektroda karbon pada sel surya berbasis perovskite untuk aplikasi kendaraan listrik.
Kedua, sistem photo-rechargeable battery berbasis teknologi sel surya-baterai terintegrasi. Ketiga, pengembangan modul sel surya berbasis hole transport layer (HTL) baru untuk aplikasi kendaraan listrik. Pada kegiatan ketiga, dirinya berperan sebagai ketua kegiatan.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Riset mengenai HTL berbicara mengenai salah satu bagian dalam struktur PSC. Secara umum, PSC diklasifikasikan dalam dua tipe arsitektur, yaitu nip dan pin. Keduanya terdiri dari lapisan-lapisan penyusun dimana salah satunya HTL.
“HTL ini berfungsi supaya ekstraksi muatan dari active layer bisa seefisien mungkin,” ujarnya.
Sejauh mana efisiensi tersebut tergantung pada bahan-bahan yang digunakan. “Kita coba kembangkan gimana bisa dapat HTL yang seefisien mungkin,” tambahnya.
Proyeksi ke depannya, setelah HTL-nya bagus serta kemudian perangkat yang dihasilkan mumpuni, tim akan mencoba meningkatkan skalanya sebagai modul. “Misalnya, kita coba kembangkan di substrat yang fleksibel,” ujarnya.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Aplikasi di Kendaraan Listrik
Terkait pengaplikasiannya di kendaraan listrik, Yuliar berharap sel surya tersebut bisa menyediakan daya untuk mendukung sistem komunikasi kendaraan listrik otonom. “Roadmap jangka panjang seperti tadi,” pungkasnya.
Dalam riset pengembangan elektroda karbon pada sel surya berbasis perovskite untuk kendaraan listrik, Yuliar bersama tim yang diketuai Natalita Maulani Nursam bekerja sama untuk melahirkan sebuah top kontak yang lebih murah.
“Biasanya perovskite itu top kontaknya pakai silver,” terang pengagum fisikawan Richard Feynman tersebut.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Material karbon tersedia melimpah di alam sehingga relatif lebih murah. Kendati demikian, tim masih terus berusaha meningkatkan konduktivitasnya.
Sementara itu, riset tentang sistem photo-rechargeable battery berbasis teknologi sel surya-baterai terintegrasi berbicara tentang bagaimana sel surya dapat diintegrasikan dengan baterai. Namun, dalam perkembangannya, ada kemungkinan proyeksi penyimpanannya akan beralih kepada kapasitor.
Yuliar kemudian sedikit tercenung ketika ditanya apa hal terbaik yang pernah terjadi kepadanya sebagai peneliti. “Rasa puas,” katanya. Kepuasan tatkala ia berhasil membuktikan suatu fenomena yang murni berasal dari gagasannya sendiri. Itu terjadi ketika dirinya masih bekerja sebagai postdoctoral fellow di KAUST.
Dia menemukan suatu perhitungan yang dapat menghasilkan sebuah studi fenomena yang menarik. Dengan ide di kepala, Yuliar lalu mendemonstrasikannya di lab dan berhasil. “Ada kepuasan tersendiri,” aku peraih penghargaan paper terbaik konferensi ISFAP 2021 tersebut.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Jika pun ada harapan lain dalam konteks penelitian, Yuliar ingin mewujudkan integrasi sel surya dengan suatu sistem elektronik. “Kita gunakan sel surya sebagai sumber tenaganya,” cetusnya optimis.
Pertama, banyak orang sudah semakin menyadari dan tertarik akan teknologi sel surya. Kedua, membuka peluang sel surya generasi ketiga sebagai sebuah ceruk pasar yang potensial. Dengan semua fasilitas riset dan SDM yang ada, Yuliar yakin BRIN sanggup melakukannya.
“Kita ada Clean Room dan ke depannya kita bisa kembangkan ada sel suryanya, ada sensornya, atau ada device-device lainnya di satu perangkat.” Ia percaya, asanya tersebut sejalan dengan cita-cita Bapak Mikroelektronika Indonesia, Prof. Samaun Samadikun.(AK/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati