Oleh: Illa Kartila
Redaktur Miraj Islamic News Agency MINA
Meski kelompok Rohingya – sebagai etnis sudah hidup di Burma/Myanmar sejak abad 7 M dan selaku Muslim dengan kerajaan bernama Arakan telah ada sejak tahun 1430 hingga 1784 M – komunitas ini hingga kini merupakan kelompok orang paling dilupakan dunia dan ditindas dengan kejam di negaranya sendiri.
Menurut praktisi hukum, Heru Susetyo – orang yang peduli atas kezhaliman yang diderita umat maupun kelompok Islam di berbagai tempat – sekitar 3,5 abad kaum Rohingya berada dalam kekuasaan kerajaan Muslim hingga mereka diserang oleh Kerajaan Burma dan dianeksasi oleh Inggris.
Setelah itu mereka dibawa menjadi bagian dari British India yang bermarkas di India. Ketika Burma merdeka tahun 1948, ada 137 etnis di sana. Sejak itu pula, Myanmar tidak mengakui keberadaan mereka sebagai etnis yang ada di tanah Burma.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Padahal ketika merdeka, Burma memasukkan negara bagian Arakan sebagai bagian dari negara itu, tetapi orang Rohingya atau Muslim Arakan tidak diakui sebagai etnis yang eksis di sana.
Walaupun etnis Rohingya sudah ada di Myanmar sebelum negara ada, mereka dinilai minoritas dari segi warna kulit dan bahasa serta dianggap lebih dekat kepada orang Bangladesh. Walaupun mereka bukan orang Bangladesh.
Arakan itu nama propinsi. Kalau dalam Bahasa Inggris disebut Rakhine atau Rakhain. Sedangkan Rohingya adalah istilah yang diberikan oleh orang luar (peneliti asing) pada abad 18-19 M. Mereka sendiri menyebut diri mereka sebagai orang Muslim yang tinggal di Propinsi Arakan (Muslim Arakan).
Heru yang juga adalah Sekretaris Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI ini pernah berkunjung ke Myanmar dan dia mendatangi 8 masjid di tiga kota: Yangoon, Mandalay, dan Pyin Oo Lwin. Muslim di sana tidak hanya berasal dari Arakan, ada Muslim Burma, Muslim China, ada juga Muslim imigran dari India dan Bangladesh.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Jumlah Muslim di Myanmar cukup signifikan
“Bahkan di kota Mandalay, kota terbesar kedua di Burma, saya hitung ada 8 masjid. Di Yangoon lebih banyak lagi. Secara garis besar, mereka hidup lebih baik dari Muslim Arakan – yang hidup tertindas, dipinggirkan, dan tidak pernah diakui oleh pemerintah,” kata Heru.
Sejak sebelum Burma merdeka tahun 1942, sudah ada aksi kekerasan kepada orang Rohingya. Ribuan orang Rohingya dibunuh, baik oleh negara maupun etnis mayoritas, karena mereka dianggap minoritas dan bukan bagian dari Burma. Kemudian berulang terus setelah Burma merdeka, ada operasi-operasi tentara yang seringkali dilakukan sejak tahun 1950-an.
Yang paling sadis menurut Heru adalah Na Sa Ka Operation yang dilaksanakan dengan metode kekerasan, pengusiran, Burmanisasi, halangan untuk menikah, dan pemerkosaan. ”Jadi ini adalah state violence, di mana negara melakukan genosida, etnic cleansing (pembantaian etnis), tapi kemudian berkembang menjadi kejahatan sipil antar orang Rohingya dengan orang Arakan lainnya yang non Muslim.”
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Orang Arakan non Muslim (Budha) sebenarnya cukup tenang dan tidak suka kekerasan. Hanya saja mereka kemudian terprovokasi oleh media, pemerintah, dan agitasi dari tokoh-tokoh yang tidak bertanggung jawab sehingga timbul kekerasan. Konflik antara dua etnis itu jarang terjadi. Yang ada adalah konflik negara dengan orang Rohingya – yang sekarang jadi konflik horizontal.
Tentang mengapa kelompok minoritas Muslim Rohingya ditindas? Di manapun mayoritas ingin menghegemoni etnis yang berbeda. Ada istilah Myanmar for Burmese, not for moslem. “Saya kira slogan itu kurang sehat, karena di Myanmar itu tidak hanya ada orang Burma, banyak etnis di situ. Sementara orang Rohingya ini agamanya sudah beda,” kata Heru.
Sebagai Muslim, kelompok Rohingya juga berbeda dengan agama lainnya di Myanmar. Orang Rohingya tidak makan babi, tidak minum minuman keras, tidak menyembah dewa-dewa, itu halangan dari segi kultural. Dari segi jumlah juga tidak menakutkan. Menurut sensus yang juga tidak jelas, ada 3,6 juta orang Rohingya.
Sejak awal, pemerintah Myanmar tidak takut dengan jumlah Rohingya, hanya saja faktanya orang Rohingya dianggap tidak punya kewarganegaraan. Alasannya tidak jelas, cuma karena mereka berbeda saja. Secara sejarah mereka dinilai orang Benghali, bukan Burma. Karena itu Presiden Myanmar menghendaki Rohingya dipindahkan ke negara lain, meski mereka sudah tinggal di situ sejak berabad-abad lamanya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Melarikan diri ke negara tetangga
Konflik Myanmar menyita perhatian dunia internasional akhir-akhir ini. Penindasan yang dialami Muslim Rohingya membuka mata atas sejarah mereka sebagai etnis Myanmar yang tidak diakui. Bukan itu saja, program pembersihan etnis ditengarai dilakukan pemerintah Myanmar dengan berbagai metode yang kejam.
Meskipun ada tanda-tanda reformasi politik di Myanmar dalam beberapa tahun terakhir, kehidupan warga minoritas Muslim Rohingya belum juga nampak membaik. Pemerintah Myanmar menolak mengakui mereka sebagai warga negara. Warga Rohingya menjadi sasaran serangan kekerasan massal dan terusir dari rumah-rumah mereka ke kamp-kamp yang kumuh.
Tokoh oposisi Aung San Su Kyi sendiri tidak melakukan apapun, karena mungkin dia punya kepentingan lain yang lebih besar untuk mendemokratiskan Burma. Lebih baik dia tidak mengambil risiko dengan membicarakan Rohingya, daripada agenda besar dia tidak bisa dijalankan.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
PBB bahkan menyebut Muslim Rohingya sebagai kelompok minoritas paling teraniaya. Banyak Rohingya yang merasa harapan terbaik mereka adalah melarikan diri ke negara-negara tetangga, walau dengan resiko besar. Setelah lari dari penganiayaan di Myanmar, warga Rohingya menganggap Malaysia – sebuah negara Muslim – sebagai tempat berlindung yang aman.
Tetapi Malaysia belum menandatangani konvensi PBB mengenai pengungsi sehingga warga Rohingya tidak bisa bekerja secara legal atau menyekolahkan anak-anak mereka, meskipun mereka lahir di Malaysia. Para aktivis memperkirakan sekurangnya 18 ribu orang Rohingya tiba di Malaysia dalam beberapa bulan terakhir. Sebagian besar merasa tidak punya pilihan kecuali melarikan diri.
Voice of America (VoA) menggambarkan serangan yang disertai kekerasan menyebabkan lengan dan leher Ayub Khan lumpuh sebagian. “Saya berusaha melarikan diri dari serangan massa, tapi mereka menangkap saya dan membacok bahu saya.”
Massa membunuh orangtua, anak-anak, dan seorang perempuan mengatakan, pelaku perdagangan manusia membunuh suaminya ketika mereka lari dengan anak-anak mereka lewat Thailand menuju Malaysia.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
“Di negara saya, sangat banyak pembunuhan, penyiksaan dan serangan-serangan yang disertai kekerasan, sehingga kami tidak bisa lagi tinggal di sana. Saya harus meninggalkan Myanmar dan pergi ke Thailand,” tutur Nayeemah, seorang pengungsi Rohingya.
Sementara warga Rohingya, Eman Hossein meninggalkan Myanmar menumpang kapal bersama sekitar 400 orang pengungsi Rohingya lainnya. “Kalau ada yang meninggal, mayatnya dibuang ke laut. Sekurangnya 50-55 orang meninggal dalam perjalanan kami.”
Badan pengungsi PBB (UNHCR) memperkirakan, sekitar 40 ribu orang Rohingya terdaftar di Malaysia sehingga mereka terlindung dari penangkapan dan deportasi. Tapi para aktivis memprediksi masih banyak yang belum didaftar.
Nayeemah yang baru sampai, ingin segera meninggalkan Malaysia. Menurut dia, “kalau saya tinggal di sini, saya tidak akan bisa menyekolahkan anak-anak, jadi saya ingin (bisa) dimukimkan di negara lain.”
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Aktivis Rohingya Mohammad Sadek memperkirakan, sampai sekarang hanya sekitar 1.000 orang Rohingya yang telah dimukimkan di negara lain. “Banyak pengungsi yang menunggu lebih dari tiga dekade. Mereka masih dalam kondisi yang sama tanpa harapan apapun. Jadi UNHCR harus memukimkan mereka secepatnya.”
Kesempatan tersebut mungkin tipis, tapi hidup sebagai pengungsi miskin yang terpinggirkan di Malaysia, atau negara tetangga lainnya masih bisa dikatakan lumayan, dibanding tinggal di negara asal mereka, Myanmar.
Desak Myanmar
Serangan terhadap penganut agama minoritas oleh massa warga Buddha dalam tiga tahun belakangan itu telah memicu salah satu eksodus manusia perahu terbesar sejak Perang Vietnam, membuat 100 ribu laki-laki, perempuan dan anak-anak Rohingya mengungsi.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Itu sebabnya setiap waktu ada “orang-orang perahu” Rohingya yang mengarungi samudera dengan perahu-perahu yang tidak laik layar. Dua pekan lalu seorang pejabat imigrasi mengatakan dua kapal yang membawa kira-kira 500 warga Muslim Rohingya yang telah lama dianiaya di Myanmar, terdampar di pantai barat Indonesia.
Menurut kantor berita Associated Press yang dikutip VoA, para pengungsi yang terdampar di Sumatera itu dibawa ke penampungan sementara di Seunuddon, Aceh. Steve Hamilton, Wakil Kepala Misi Organisasi Migrasi Internasional di Jakarta mengatakan, beberapa tim sudah dikirim ke Mantang Puntong, di provinsi Aceh.
Dia menyebutkan, laki-laki, perempuan dan anak-anak terdampar dalam dua kapal, satu kapal membawa kira-kira 430 orang dan yang lainnya 70 orang. Beberapa orang tampaknya membutuhkan perawatan medis.
Sementara itu hampir 2.000 orang Muslim Rohingya dari Myanmar dan migran Bangladesh telah diselamatkan di laut Asia Tenggara. Aktivis dan pihak berwenang memperingatkan ribuan lagi mungkin masih terperangkap di kapal-kapal yang penuh sesak.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Polisi Malaysia mengatakan, para penyelundup manusia menelantarkan lebih dari 1.000 migran di perairan dangkal di lepas pantai pulau Langkawi. Banyak diantara migran itu tampak lemah dan kelaparan. Sekitar 1.018 orang tiba dengan tiga kapal di pulau resor Langkawi.
Wakil Kepala Polisi Langkawi, Jamil Ahmed mengatakan kepada kantor berita Associated Press bahwa kelompok yang tiba di sana terdiri dari 865 pria, 52 anak-anak dan 101 perempuan. Polisi menemukan kapal kayu besar dengan kapasitas hanya 350 orang terperangkap di pasir dalam perairan dangkal di pantai Langkawi.
Jamil menambahkan, seorang pria Bangladesh memberitahu polisi bahwa para pengelola kapal memberi mereka arah ke mana harus pergi saat mencapai pantai Malaysia, dan kemudian kabur dengan kapal-kapal lain. Migran tersebut mengatakan mereka belum makan selama tiga hari. Sebagian besar dari mereka lemah dan kurus.
Bantuan kemanusian bisa diberikan negara-negara penerima pengungsi, adalah dengan tidak mengusir mereka. Perlakukan mereka dengan baik. Jangan ikuti saran Presiden Myanmar Thein Sein untuk memindahkan mereka ke negara ketiga, sebab rasanya tak ada negara yang mau menerima mereka, mengingat mereka sendiri juga punya masalah degan penduduknya.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Bagi mereka yang masih terjebak di Myanmar, mereka butuh sandang, pangan, papan, tapi masalahnya bantuan sulit bisa masuk, karena akses ke sana dibatasi oleh pemerintah Myanmar. Mengirim uang juga sukar, karena Bank di Myanmar tidak mengeluarkan ATM. Untuk punya rekening juga sulit, karena kaum Rohingya tidak punya kartu identitas.
Seorang pejabat Kerajaan Malaysia mengatakan, Asia Tenggara harus mengirim pesan yang sangat kuat ke Myanmar untuk menghentikan penindasan atas Muslim Rohingya. Kepada kantor berita AFP, Wakil Menteri Dalam Negeri Malaysia, Wan Junaidi Tuanku Jaafar, menyatakan peningkatan masalah pengungsi di Asia Tenggara sebagian besar karena perlakuan berbeda Myanmar atas Muslim Rohingya.
“Ada masalah di Myanmar dalam cara mereka memperlakukan warga (Muslim) Rohingya,” ujar Junaidi. “Itu sebabnya kami perlu mengirim pesan yang sangat kuat kepada Myanmar bahwa mereka harus memperlakukan orang secara manusiawi, tidak ditindas.”
Langkah yang bisa ditempuh untuk membantu Rohingya menurut Heru adalah melakukan advokasi dengan sesama Muslim Myanmar yang tinggal dalam pelarian di Jepang, Malaysia, Thailand, dan London. Mereka lebih vokal, karena sikonnya lebih aman.
Hal terpenting adalah kaum Rohingya membutuhkan status sipil sebagai warga negara dan memiliki kebebasan seperti warga lainnya – bebas untuk menikah, bebas untuk punya anak, bebas dari perbudakan, bebas sekolah, bebas mendapatkan akses kesehatan.
Rohingya adalah tanggung jawab pemerintah Myanmar, mereka tidak bisa dipindahkan ke luar negara itu atau masalahnya ditimpakan kepada negara-negara lain. Dunia harus menyeru dan mendesak Myanmar lebih keras lagi, untuk menghentikan pemerkosaan, pembunuhan, kesewenang-wenangan, dan Burmanisasi terhadap orang Rohingya. (R01/R11)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)