Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

RUDI ROHADI, RAJA BUBUR AYAM DARI BALIKPAPAN

Bahron Ansori - Selasa, 1 Juli 2014 - 16:15 WIB

Selasa, 1 Juli 2014 - 16:15 WIB

3765 Views

<a href=

rudi rohadi oke" width="379" height="366" /> Rudi Rohadi dan keluarga. (Photo: MINA/Tsaqopah)

Oleh Bahron Ansori / Redaktur MINA

“Tersesat di Jalan yang Benar” itulah perumpamaan yang tepat untuk pilihan jalan hidup Rudi Rohadi saat ini. Perumpaan tersebut karena apa yang ia pelajari sejak di bangku SD sampai mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan, tidak sejalan dengan pekerjaan yang ia tekuni saat ini, sebagai pemilik sekaligus pengelola Rumah Makan Waroeng Lembur Kuring di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Pria asal Tasikmalaya, Jawa Barat ini telah meniti karirnya sebagai pengusaha kuliner sejak tahun 2001 silam. Awalnya, ia mencoba mulai usahanya dengan berjualan bakso. Ide tersebut ia dapatkan dari salah seorang tetangga di kampung halamannya.

“BAKSO AHAD”, itulah nama yang diberikan untuk usahanya. Di kios kecil berukuran 2 x 4 m yang ia sewa selama 2 tahun di daerah Pasar Sepinggan, Balikpapan, Rudi dan istrinya menjalani usahanya.

Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir

Tiga bulan telah berjalan, namun usahanya tak memperoleh kemajuan apa-apa. Bahkan teman karyawan sekaligus guru pertama yang mengajari Rudi untuk memulai usaha Bakso inipun akhirnya mengundurkan diri. Karena hasil yang didapat tidak sesuai dengan harapan. Akhirnya ia terpaksa menangani sendiri usaha tersebut bersama Istri dan seorang karyawan.

Tepung dan cucuran keringat adalah bagian hari-harinya, selepas Shalat Subuh hingga pukul 22.00 malam ia bekerja. Bahkan setiap 2 atau 3 hari sekali, Rudi harus bangun pukul 03.30 Subuh untuk membeli daging terbaik untuk membuat bakso.

Rasanya apa yang ia kerjakan tak sebanding dengan statusnya sebagai sarjana. Rudi menjalani pendidikan 6 tahun di SDN Rahayu Tasikmalaya, 3 tahun di SMP Negeri 2 Tasikmalaya dan 3 tahun di SMA Negeri I Tasikmalaya. Setelah lulus SMA, ia diterima di Institut Pertanian Bogor Fakultas Kehutanan Angkatan 24, tanpa melalui seleksi penerimaan mahasiswa baru. Gelar Kesarjanaan Kehutanan S1 ia peroleh di tahun 1993. Kemudian ia bekerja sebagai konsultan Kehutanan di Jakarta. Tahun 1994, Rudi diterima di Perusahaan ITCI Hutani Manunggal di daerah Kenangan, Kutai Kalimantan Timur.

Di akhir tahun 1995, ia memutuskan untuk menikahi seorang gadis calon Sarjana Kehutanan dari Universitas Mulawarman yang waktu itu sedang Praktek Kerja Lapangan di tempatnya bekerja, meskipun baru 6 bulan ia mengenalnya, namun Allah telah menakdirkan ia berjodoh dengan gadis tersebut.

Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia

Setelah menikah dan kelahiran anak keduanya, di tahun 2000 Rudi memutuskan untuk keluar dari perusahaan tempatnya bekerja karena ingin mandiri. Iapun mencoba merintis usaha berdagang bakso dan mie ayam di dekat rumah di daerah Sepinggan Balikpapan. Walau hidup pas-pasan, anak dari pasangan bapak H.Embin dan Ibu Hj. Fatimah ini selalu bersyukur kepada Allah, karena impian untuk selalu berkumpul bersama keluarga sudah tercapai. Inilah pelajaran awal yang ia dapat untuk menjadi seorang entrepreuner. Tidak mudah dan tidak seindah yang dibayangkan.

“Hal inilah yang mungkin menyebabkan mengapa kebanyakan orang tidak berani mengambil keputusan untuk mandiri dengan tanpa persiapan yang matang. Hanya berbekal keyakinan bahwa rezeki bukan dari perusahaan tempat kita bekerja, tapi dari Allah Yang Maha Kaya,” ujar Rudi optimis.

Pak Rudi, begitu ia biasa disapa. Ketidakberhasilan mengelola usaha bakso tidak membuatnya patah semangat untuk berwirausaha. Setelah satu setengah tahun usahanya tidak berkembang, Rudi memutuskan untuk berganti menu masakan dari bakso dan mie ayam menjadi Bubur Ayam Bandung.

“Alhamdulillah, saat ini apa yang saya impikan untuk berwiraswasta sudah tercapai,” katanya penuh rasa syukur.

Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh

Menjelang berakhirnya kontrakan warung bakso, bapak empat orang anak ini memutuskan pulang ke kampung halaman untuk menghadiri pernikahan adiknya. Perjalanan itu tidak ia sia-siakan, selain bersilaturrahim ke sanak keluarga dan teman-teman lama, Rudi bertujuan sambil mencari peluang usaha yang mungkin dapat ia lakukan kedepannya. Ide pertama ia dapatkan dari salah satu keluarga di Tasikmalaya yang berjualan Bubur Ayam Bandung untuk sarapan pagi.

“Di sini, saya melihat peluang usaha, karena menu Bubur Ayam Bandung masih jarang di Balikpapan. Apalagi di balikpapan banyak juga pendatang dari daerah Jawa Barat yang menu sarapan paginya adalah Bubur Ayam. Akhirnya, saya dan Istri belajar cara pembuatannya,ungkapnya.

Ide kedua ia dapatkan dari salah satu teman SMA seorang pengusaha bordir Tasikmlaya yang setiap Hari Senin dan Kamis pulang-pergi ke Jakarta untuk menjual hasil produksinya menggunakan mobil.

“Di sini saya melihat kemudahan mobilitas penyaluran hasil produksi tanpa harus menyewa tempat yang biasanya agak mahal,jelas Rudi. Penggabungan kedua ide tersebut membuat Rudi semangat untuk pulang ke Balikpapan. Namun ia berpikir kembali untuk mendapatkan modal usaha. Pesangon dari tempat ia bekerja sebelumnya sudah habis dengan berakhirnya masa kontrakan warung bakso. Akhirnya ia memutuskan untuk menjual motor satu-satunya yang ia miliki.

Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh

“Alhamdulillah dari pinjaman uang mertua dan penjualan motor, terbeli sebuah mobil Daihatsu zebra biru tua second yang telah berumur 10 tahun lebih,” ucapnya penuh syukur.

Jalan tak selamanya lurus, begitupun dengan kehidupan yang dijalani Rudi, ujian demi ujian datang silih berganti, setelah mobil terbeli, ia bingung untuk menjalankan idenya, karena modal untuk mencoba berdagang bubur ayam telah habis untuk membeli mobil. Di tengah kebingungan itu, seorang temannya menawarkan pekerjaan sebagai supir antar-jemput anak sekolah di Sekolah anaknya yang pertama, di SDIT AL-AULIYA Karang Bugis, Balikpapan.

Dua bulan menjalankan profesi sebagai supir antar jemput anak sekolah, ia merealisasikan ide berjualan menggunakan mobil. Dagangan pertama yang ia jalankan adalah berjualan kue donat dan minuman seduh (sachet). Sepulang mengantar jemput anak sekolah, ba’da shalat Ashar, Rudi segera mengambil donat hasil produksi orang dan menjajakannya keliling mencari keramaian orang dengan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.

Waktu menjajakan kuenya sekitar pukul 16.00 sampai pukul 21.00 wita. Ia sengaja membatasi waktu berjualan tidak terlalu larut malam karena keesokan harinya pukul 06.00 wita, Rudi harus sudah start dari rumah untuk menjemput anak-anak SDIT AL-AULIYA satu persatu di rumah mereka masing-masing.

Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung

Alih Usaha

Dua bulan Rudi berjualan donat, namun hasilnya tidak seperti yang ia harapkan. Kadang keuntungan yang didapatkan habis dimakan anak-anaknya yang waktu itu baru 2 orang. Bulan ke-3 berjualan sore sampai malam, Rudipun mulai menambah menu dagangannya dengan berjualan Bubur Ayam Bandung.

Target utamanya adalah daerah pemukiman yang banyak ‘Orang Sunda’-nya. Akhirnya, ia mendapatkan informasi dari seorang teman, bahwa di Perumahan Telkom penghuninya banyak yang berasal dari Jawa Barat. Dan memang di perumahan inilah ia mendapatkan hasil yang cukup memuaskan saat itu, rata-rata 5-10 mangkuk perharinya laku terjual.

Tidak puas sampai di situ, pada Hari Minggu pagi Rudi mencoba berjualan di Lapangan Merdeka. Ada sekitar 5 mobil termasuk dirinya yang mencoba mengais rezeki di tempat itu. Kebanyakan mereka adalah pengusaha baru seperti dirinya. Saat itu, berjualan menggunakan mobil sebagai outlet/toko berjalan sangat tren dan masih baru berkembang di Balikpapan.

Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel

Di tahun 2003, Lapangan Merdeka belum ramai seperti saat ini, sebagai pusat rekreasi olahraga dan kuliner. Pada waktu itu belum banyak orang yang berolahraga pagi, hanya sering digunakan untuk kegiatan atau acara-acara yang bersifat massal seperti gerak jalan, manasik haji, upacara hari-hari besar nasional dan lain-lain.

Suatu saat, pada minggu ke-2 bulan Agustus 2003, pertama kalinya Rudi berjualan Bubur Ayam Bandung yang diberi Nama Bubur Ayam Bandung Lembur Kuring. Lembur berarti kampung halaman dan Kuring berarti Saya. Nama itu sengaja ia pilih agar “Orang Sunda” yang ada di Balikpapan merasa tertarik saat membaca tulisan tersebut.

“Saya sengaja menamai Bubur Ayam Bandung Lembur Kuring, supaya kalau orang sunda yang ada dibalikpapan melihat spanduk tersebut akan langsung teringat makanan khas Jawa Barat,” kata Rudi, saat mengenang pemberian nama untuk usahanya.

Minggu pertama berjualan, 10 porsi bubur terjual. Hal tersebut di luar dugaan, minggu-minggu berikutnya Bubur Ayam Bandung Lembur Kuring terus meningkat penjualannya sampai sekarang. Akhirnya ia memutuskan untuk konsentrasi penuh diusahanya dengan meninggalkan pekerjaan sebagai supir antar jemput anak sekolah yang sudah ia jalani selama 6 bulan.

Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel

“Alhamdulillah, saat ini usaha saya telah beroperasi dengan menggunakan sebuah mobil toko dan di sebuah ruko di jantung kota di Jl. A. Yani Balikpapan,” jelasnya.

Dalam operasionalnya, Waroeng Lembur Kuring menggunakan sebuah mobil toko yang berfungsi selain sebagai alat angkutan bahan-bahan makanan dari “Rumah Produksi” ke Ruko Waroeng Lembur Kuring, juga berfungsi sebagai outlet berjalan. Dengan kedua pintu samping mobil yang dapat dibuka seperti sayap moko (mobil toko) ini tampak unik dan menarik.

Ciri khas moko ini adalah warna-warna kontras merah, kuning, hijau dan putih di beberapa bagian tertentu, seperti atap dan bagian dalam mobil yang berwarna kuning, dasar mobil dan penyangga barang di atas atap berwarna hijau, warna merah di sekitar meja gantung mobil dan warna putih di bagian depan moko dengan logo Lembur Kuring menghiasi kedua pintu depan kiri-kanan mobil.

Moko Lembur Kuring ini beroperasi setiap hari Senin sampai Jum’at yang mangkal di pertokoan belakang Balikpapan Permai dari dari pukul 06.30 pagi sampai dengan pukul 10.30 WITA. Sabtu dan Minggupun siap melayani pembeli kecuali pada hari Libur. Dalam kehidupan selalu ada pilihan. Dan setiap pilihan hidup selalu ada resiko yang harus dihadapi. Menjadi seorang karyawan maupun seorang Pengusaha sama-sama mempunyai resiko. Perbedaanya, terletak pada waktu terjadinya resiko tersebut. Begitupun resiko yang dialami Rudi.

Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara

Menjadi seorang pengusaha, resikonya terjadi di awal memulai usaha. Saat itu kita dilatih untuk kreatif, kerja keras dan ulet sampai usaha yang kita rintis mencapai hasilnya. Kalau usaha yang kita rintis ini sukses maka jelas akan banyak keuntungan yang didapatkan, antara lain uang dan waktu luang,ujarnya.

“Dengan uang, kita bisa memenuhi semua hajat hidup kita, menggaji orang, berinfaq/shadaqah dan lain-lain. Dengan waktu luang kita bisa bersilaturhmi lebih leluasa dengan teman, tetangga, keluarga yang dekat, maupun yang jauh (di Pulau Jawa misalnya), bahkan menambah banyak teman dan semakin memperluas pergaulan dengan banyak orang. Apalagi usaha tersebut dapat diwariskan kepada anak-anak keturunan kita kelak di kemudian hari,lanjutnya.

Menurutnya, menjadi seorang karyawan di sebuah Perusahaan Kayu yang lokasi kerjanya jauh di tengah hutan mengakibatkan ia jarang berkumpul dengan keluarga. Jatah libur seminggu rasanya tidak cukup untuk melepaskan rindu setelah 2 minggu berpisah. Lokasi kerja di areal HPH (Hak Penguasaan Hutan) yang monoton kegiatannya dengan perkembangan dan kemajuan teknologi yang sangat lambat sampai di tempat kerja, membuat ia merasa semakin tertinggal dan mengalami kemunduran.

“Di situlah, saya mulai berpikir bahwa pengorbanan hidup terpisah dari keluarga tidak sebanding dengan apa yang saya dapatkan. Maka berwirausaha adalah jalan satu-satunya yang terpikir agar saya dapat berkumpul dengan keluarga,tegasnya. Itulah sebabnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan. Sejak 2001, Rudi resmi keluar dari Perusahaan ITCI Hutani Manunggal (sebuah perusahaan perhutanan) dan bersiap untuk mandiri.

Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu

“Sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah, saya siap menghadapi apa pun resikonya. Alhamdulillah, ketika saya sampaikan niat tersebut, istri saya sangat mendukung. Bahkan Ia menyemangati saya dengan ucapannya “Rejeki itu dari Allah, bukan dari Perusahaan”. Apalagi ditambah dukungan dari Ibu mertua, membuat saya semakin bulat tekad untuk keluar dari Perusahaan secepatnya,” ungkap Rudi saat mengenal pengalaman pahit dalam hidupnya itu.

Kini, usaha yang dirintisnya terus berkembang. Jika dulu hanya memiliki satu gerobak, kini sudah mencapai tiga yang dimilikinya. Rudi mengatakan pendapatannya perbulan sudah cukup lumayan. “Alhamdulillah, omzet saya sekarang sekitar 50 juta per bulan,” ucapnya merendah.(T/R2/E01)

(sumber: Majalah Islam Tsaqofah)

MI’RAJ ISLAMIC NEWS AGENCY (MINA)

Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud

Rekomendasi untuk Anda

Timur Tengah
Timur Tengah
Timur Tengah
Tausiyah
Timur Tengah