New Delhi, MINA – Pemerintah Hindutva India telah mengambil langkah kontroversial dengan meloloskan amandemen Undang-Undang Wakaf, yang diduga merupakan tindakan diskriminatif dan upaya terang-terangan untuk menguasai properti wakaf, termasuk masjid dan situs keagamaan lainnya.
RUU Wakaf (Amandemen) 2025 yang baru, disahkan oleh kedua Majelis Parlemen pada tanggal 2 dan 3 April, memperkenalkan perubahan signifikan pada pengelolaan dan regulasi properti wakaf. MEMO melaporkan, Sabtu (5/4).
Sekarang, RUU tersebut menunggu persetujuan Presiden untuk menjadi undang-undang.
Amandemen tersebut merupakan bagian dari pola kebijakan dan tindakan diskriminatif yang lebih luas, yang telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, yang menargetkan umat Islam.
Baca Juga: Mahasiswa di India Adakan Acara Dukung Rakyat Palestina
Langkah tersebut telah memicu kekhawatiran yang meluas di kalangan komunitas Muslim, yang melihatnya sebagai serangan terang-terangan terhadap hak dan kebebasan mereka.
Menurut pengamat, penargetan properti wakaf tidak hanya merusak otonomi dan warisan budaya komunitas Muslim, tetapi juga mengancam tatanan demokrasi sekuler India.
Undang-undang tersebut, yang diajukan oleh pemerintah nasionalis Hindu yang berkuasa yang dipimpin Partai Bharatiya Janata (BJP), merupakan langkah terbaru terhadap umat Islam, yang didorong oleh dasar-dasar ideologis Hindutva.
RUU Wakaf berupaya mereformasi Undang-Undang Wakaf tahun 1995, yang mengatur pengelolaan properti yang diwakafkan oleh umat Islam untuk tujuan keagamaan, amal, atau komunitas berdasarkan hukum Islam.
Baca Juga: Karyawan Microsoft Sebut Perusahannya Dukung Israel Lakukan Genosida di Gaza
Properti wakaf diperkirakan mencakup lebih dari 940.000 hektar tanah dan mencakup masjid, madrasah, kuburan, dan aset komunitas lainnya.
Menurut Sistem Manajemen Aset Wakaf India, negara tersebut memiliki 872.324 properti wakaf tak bergerak, menjadikannya salah satu tempat penyimpanan tanah milik keagamaan dan komunitas terbesar di dunia.
Pemerintah berpendapat bahwa amandemen tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi dalam pengelolaan properti tersebut, dengan mengatasi masalah seperti salah urus dan penyerobotan.
Ketika RUU kontroversial tersebut diajukan ke Parlemen pada tahun 2024, pihak oposisi menuntut Komite Gabungan Parlemen (JPC) untuk menyelidiki masalah tersebut.Meskipun komite tersebut dibentuk pada bulan Agustus, seluruh pelaksanaannya dilakukan dengan cara yang tidak konstitusional, karena semua rekomendasi yang diajukan oleh anggota JPC dari partai oposisi ditolak.
Baca Juga: Peringati Hari Tanah Palestina, Parlemen Brasil Dedikasikan Sesi Resmi untuk Palestina
Amandemen baru tersebut memiliki beberapa hal yang aneh, seperti mengamanatkan penyertaan non-Muslim di dewan wakaf, mengalihkan kewenangan penyelesaian sengketa dari pengadilan wakaf ke pejabat pemerintah, dan membatasi pemberian hak milik kepada Muslim yang telah menjalankan ajaran Islam setidaknya selama lima tahun.
Para pemimpin oposisi, organisasi Muslim, dan kelompok masyarakat sipil telah menentang keras perubahan ini, menganggapnya sebagai serangan terhadap otonomi Muslim dan kebebasan beragama.
Mereka berpendapat bahwa penyertaan non-Muslim dalam dewan wakaf melemahkan hak masyarakat untuk mengelola urusan keagamaan mereka sendiri, hak yang dilindungi berdasarkan Pasal 25 dan 26 Konstitusi India, yang menjamin kebebasan beragama dan kemampuan kelompok agama untuk mengelola lembaga mereka.
Para kritikus juga menyoroti penghapusan ketentuan “wakaf berdasarkan pengguna” sebagai langkah yang dapat membahayakan status masjid dan tempat suci yang telah berusia berabad-abad.
Baca Juga: PBB Serukan Diakhirinya Deportasi Paksa Pengungsi Afghanistan oleh Pakistan
Sejak BJP naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 2014, para kritikus telah menunjuk serangkaian kebijakan dan tindakan yang dianggap meminggirkan umat Muslim, termasuk pencabutan status khusus Jammu dan Kashmir pada tahun 2019. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Warga Daraa Suriah Unjuk Rasa Mengutuk Serangan Israel