Oleh: Bahron Ansori, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Ternyata, dalam kehidupan ini bukan hanya rumah dan lingkungan saja yang mempunyai sampah. Sampah yang ada di sekitar rumah atau di lingkungan seseorang berada adalah hal terlihat dan bisa segera dibersihkan bila sudah terlihat menumpuk apalagi menggunung. Biasanya, sampah-sampah yang sudah banyak itu dikumpulkan atau dibakar.
Tapi, tahukah Anda? Ternyata, sampah-sampah jiwa pun tak kalah hebat daripada sampah yang terlihat secara nyata. Sampah-sampah jiwa itu menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi (wafat: 751-H) rahimahullah ada delapan macam antara lain sebagai berikut. Sampah-sampah itu layaknya sampah buangan seorang manusia.
Pertama, Ilmu yang mengendap lantas mati, tidak terhidupkan dalam wujud amal yang shalih. Inilah sampah pertama dari jiwa seorang Muslim. Biasanya, banyak orang begitu semangat dalam menuntut ilmu termasuk ilmu agama. Namun, ketika ilmu-ilmu itu sudah dimiliki dan dikuasai, tak sedikit pula orang yang enggan mengamalkannya. Bagaimana tidak, sebab ia merasa ilmu yang didapatnya harus berimbang dengan bayaran yang setimpal. Akibatnya, betapa pun banyak ilmu yang dimilikinya tidak akan memberi manfaat sedikit pun karena kesombongannya untuk tidak mau mewujudkan ilmunya dalam dalam amal shalih.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Salah satu akhlak seorang Muslim adalah bagaimana ia mengamalkan ilmunya dalam wujud amal shalih, meski menurutnya ilmunya masih pas pasan atau belum mumpuni. Itikad yang kuat untuk selalu menjadi manusia yang banyak memberi manfaat inilah semestinya menjadi motivasi awal bagi seorang Muslim untuk selalu berusaha mengamalkan setiap ilmunya walau mungkin belum seberapa. Ilmu yang sedikit, jika diamalkan secara terus menerus, maka insya Allah akan terus bertambah seiring perjalanan waktu.
Kedua, Amal yang kosong dari ruh keikhlasan dan sunyi dari spirit mutaaba’ah (mengikuti) kepada sunnah. Kelompok ini adalah orang-orang yang banyak beramal tapi tak mempunyai rasa yang ikhlas dalam mengamalkan setiap amalnya. Ia melakukan amalan-amalan baik yang wajib maupun yang sunnah sekedar untuk mencari popularitas agar dikenal orang sebagai orang baik yang gemar beramal. Padahal jauh dilubuk hatinya tersimpan niat bukan untuk Allah Ta’ala. Sebaliknya, amal yang dilakukannya hanya mengharap ridha manusia.
Jika dia orang kaya dan dermawan, maka kedermawanannya itu hanya kamuflase agar mendapat sebutan sebagai orang kaya yang dermawan. Jika dia menuntut ilmu, ia berharap kelak dengan ilmunya itu ia bisa meraup lebih banyak lagi keuntungan dan lebih dari itu agar ia dikenal oleh seluruh manusia sebagai ahli ini dan ahli itu. Jika ia berjuang, maka berjuangnya bukan untuk kemuliaan dienullah (Al-Islam) tapi semata-mata agar disebut sebagai pahlawan yang gagah berani.
Ketiga, Harta yang tidak diinfaqkan di jalan Allah, tidak pula mampu dinikmati oleh para penimbunnya di dunia, dan tidak juga akan dihadirkan di hadapannya kelak di akhirat. Harta memang bukan sesuatu yang harus dibanggakan dalam kehidupan ini. Berbangga-bangga karena banyaknya harta hanya akan menjadikan pemiliknya takabur dan merasa tak membutuhkan orang lain serta merasa paling memiliki. Padahal, harta yang sebenarnya bagi seorang Muslim adalah setiap rupiah yang ia infakkan di jalan Allah. Harta yang dikeluarkan di jalan Allah itulah kelak yang akan menjadi harta sebenarnya yang tersimpan di sisi Allah Ta’ala.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Dalam realiatas kehidupan, banyak ditemui orang-orang yang diberi kelebihan harta merasa bangga karena dengan hartanya itu ia bisa berbuat sekehendak hatinya. Seolah harta adalah segala-gala baginya. Ia tak menyadari bahwa harta itu halalnya akan dihisab dan haramnya pasti di azab. Jika harta hanya menjadi sarana untuk berbangga di hadapan manusia, maka bagaimana mungkin harta itu akan menjadi ‘penolong’nya kelak di akhirat. Sebaliknya, harta-harta yang ditimbunnya itu kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah.
Keempat, Hati yang kosong dari Mahabbatullaah (cinta pada Allah), kosong dari rasa rindu kepada-Nya. Jika hati tak terisi rasa cinta dan rindu kepada Sang Khalik, maka hati itu akan diisi oleh rasa cinta dan rindu kepada selain Allah. Orang yang mencintai Allah sepenuh hati, maka akan terlihat dalam wujud amaliahnya sehari-hari. Orang yang merindukan perjumpaan dengan Allah Ta’ala juga akan terwujud dalam kehidupan sehari-harinya. Sebaliknya orang yang hatinya kosong dari rasa cinta dan rindu kepada Allah pun akan terlihat dalam kehidupan sehari-harinya; banyak meninggalkan perintah Allah dan melaksanakan apa yang dilarang-Nya.
Kelima, Badan yang kosong dari ketaatan dan pengkhidmatan pada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Allah Ta’ala menciptakan manusia di muka bumi ini tidak ada lain kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Ketundukan dan kepatuhan seorang hamba, harus ditujukan kepada Allah semata, bukan kepada yang lain. Tubuh, yang Allah jadikan kuat dan indah ini, semestinya menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Keenam, Rasa cinta pada Allah tapi tidak terikat dengan keridhaan dan kepatuhan pada perintah-Nya. Aneh rasanya jika ada orang yang begitu mencintai Allah tapi dia tidak terikat denga keridhaan dan kepatuhan kepada perintah Allah Ta’ala sebagai Tuhannya. Semestinya, orang yang mencintai seseorang, maka ia akan selalu berupaya menuruti dan mengikuti apa yang diminta orang yang dicintai itu. Begitu semestinya Allah, orang yang mengatakan telah mencintai Allah dengan sebenarnya, maka dia juga harus siap melaksanakan segala perintah dan meninggalkan segala apa yang dilarang. Menjaga iman untuk istikomah itu tentu bukan hal mudah dan membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Ketujuh, Waktu yang kosong dari koreksi terhadap kealpaan diri, hampa dari amalan yang bermanfaat, dan sunyi dari ibadah yang bisa mendekatkan pada Ilahi. Sifat ini bisa jadi dimiliki kebanyakan manusia yang hidup di akhir zaman ini. Banyak waktu kosong digunakan untuk melakukan hal yang sia-sia atau bahkan sengaja mengisinya dengan segala bentuk dan jenis kemaksiatan. Lupa ke mana sesungguhnya hidup ini akan kembali dan tak sadar bahwa hidup ini pasti berakhir. Pada akhirnya ia lupa untuk mempersiapkan amal yang banyak dan bermanfaat.
Kedelapan, Pikiran yang berkelana, lalu singgah pada hal-hal yang tidak bermanfaat. Sering terjadi seseorang berfikir bermacam-macam. Akhirnya pikiran itu jatuh pada satu pilihan untuk melakukan amal kejahatan, maka ia pun mewujudkannya. Orang yang berfikir bukan untuk kemanfaatan dirinya dan orang lain, maka hidupnya menjadi sia-sia, hampa dan tak bermakna. Bagaimana tidak, ia tidak mengetahui ke mana sebenarnya arah kompas kehidupannya.
Itulah sampah-sampah jiwa yang mengendap, tak bermanfaat, menumpuk bahkan sudah mengerak dalam diri seorang manusia. Kelak, sampah-sampah itulah yang bisa mengotori jiwa, dan membunuhnya perlahan-lahan dengan segenap racunnya. Semoga Allah Yang Maha Perkasa sentiasa merahmati dan memudahkan setiap insan yang ingin membersihkan sampah-sampah jiwa tersebut. Wallahu’alam.(R02/R05)
Sumber: Nukilan dari kitab Mausuu’atul Akhlaaq waz Zuhdi war Raqaa-iq: 1/10-11, Yaasir Abdurrahmaan, cet.-1 Mu-assasah Iqraa’, tahun 1428.
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin