Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sang Mutiara itu – 2 (Oleh: Shamsi Ali*)

siti aisyah - Selasa, 10 Desember 2019 - 12:28 WIB

Selasa, 10 Desember 2019 - 12:28 WIB

8 Views ㅤ

Hubungan antara seorang Mukmin dan Rasulnya bukan hubungan biasa. Tapi hubungan di atas segalanya, setelah Allah Ta’ala tentunya. Hal yang menjadikan banyak pihak terkejut-kejut ketika melihat umat ini begitu cinta kepadanya. Kecintaan yang melebihi segalanya setelah Allah.

Hubungan itu bukan sekedar hubungan alami yang memang “taken for granted”. Tapi sebuah hubungan yang dipilih (chosen). Dalam bahasa Arab kata “pilihan” salah satunya diekspresikan dengan kata “ikhtiyar”. Menakjubkan kemudian kata “ikhtiyar” itu juga ternyata berakar sama dengan kata “Khaer” atau yang terbaik.

Maka hubungan yang terbangun karena pilihan (by choice) melahirkan hubungan yang terbaik. Sehingga semua yang terkait dengan hubungan ini juga menjadi terbaik.

Salah satu hal yang terkait dengan relasi ini adalah bahwa hubungan ini terbangun di atas kecintaan yang dipilih (love by choice).

Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir

Cinta Ayah itu alami. Cinta Ibu itu alami. Cinta anak itu alami. Bahkan cinta Keluarga dan dunia itu alami. Tapi cinta Rasul bukan sekedar alami. Tapi sebuah pilihan. Karenanya cinta Rasul itu adalah cinta terbaik ba’dallah (setelah Allah).

Cinta inilah yang menjadi kunci iman. Sekaligus kunci surga.

Rasulullah shallallahu ‘alahi wassalam mendeklarasikan “tak beriman di antara kalian sampai dia mencitai saya lebih dari mencintai orang tuanya, anaknya dan semua manusia”.

Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada beliau: “kapan Kiamat terjadi”? Beliau diam. Sahabat itu bertanya hingga tiga kali. Barulah Rasulullah menjawab dalam bentuk pertanyaan: “lalu apa yang kamu telah persiapkan?”.

Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia

Sahabat itu menjawab: “tidak banyak ya Rasulullah. Tapi saya mencintai Allah dan Rasul-Nya”. Artinya modal utama bagi sahabat dalam menghadapi kiamat atau kematiannya adalah “cinta Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alahi wassalam ).

Rasul kemudian meyakinkan: “Kamu akan bersama di suurga nanti dengan siapa yang kamu cintai”.

Sebuah penguatan bahwa kecintaan kita kepada Rasul adalah kunci surga. Bahkan sebuah kemuliaan Yang dicari oleh setiap Mukmin. Bersama dengan beliau di syurgaNya Allah kelak.

Kecintaan seorang Mukmin tertanam ke dalam relung kalbu yang paling dalam. Cinta yang mengalir bersama aliran darah kehidupannya. Begitu dalamnya cinta itu sehingga seorang sahabat mampu berhadapan dengan ayahnya sendiri dalam sebuah peperangan. Memang sedarah tapi tidak sehati.

Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh

Para sahabat Rasulullah memiliki ragam latar belakang etnis, ras dan warna kulit. Di tengah perbedaan itu semua mereka disatukan oleh satu hal: ikatan hati. Itulah yang kemudian diekspresikan oleh Al-Quran: “Muhammad Rasul Allah dan orang-orang yang bersamanya. Mereka tegas kepada orang-orang kafir (kekufuran) namun penuh kasih sayang (ruhamaa) di antara mereka”.

Ayat ini menegaskan bahwa “rahmah” itulah yang menjadi dasar “hubungan” antara sesama Muslim. Tentu yang paling penting dari semua itu adalah bahwa relasi antara seorang Muslim dan Rasulullah shallallahu ‘alahi wassalam  adalah relasi “kasih sayang” (rahmah). Rahmah yang tertanam kokoh dalam hati setiap Mukmin.

Bilal adalah seorang Habsyi (Ethiopia), berkulit hitam dan mantan budak. Salman adalah seorang keturunan Persia. Sementara Suhaeb adalah seorang yang bersosok bangsa Roma (pria bule dalam bahasa jalanan).

Tapi mereka semua dia atas itu tidak kurang cintanya kepada baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wassalam dari sahabat lainnya dari kalangan Arab Quraysh. Barangkali contoh terdekat dalam sejarah adalah bagaimana kecintaan Bilal Al-Habasyi kepada baginda Rasulullah shallallahu ‘alahi wassalam. Sampai-sampai beliau tidak sanggup lagi menetap di Madinah sepeninggal beliau. Tidak tahan ketika selesai mengumandangkan azan beliau tidak lagi melihat wajah Rasul yang mulia.

Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh

Hingga saat ini, bahkan hingga akhir Zaman nanti, orang-orang di perkampungan, pegunungan-pegunungan, bahkan mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekalipun ketika nama baginda Rasulullah disebut hatinya secara otomatis merasakan cinta dan kerinduan itu.

Mereka merindukannya. Mereka bahkan ingin sekedar bermimpi berjumpa di dunia ini. Cita-cita terbesarnya setelah kematian nanti, selain menatap wajah Ilahi (ilaa Rabbiha naazhirah). Juga ingin agar kiranya di syurga nanti mereka dapat membersamai (in the company) Rasulullah shallallahu ‘alahi wassalam .

Karenanya hanya orang yang berakal kerdil dan berhati beku yang tidak menyadari kemuliaan Rasul serta tidak merasakan kecintaan kepada beliau.

Tentu lebih aneh lagi ketika sikap seperti itu justeru datangnya dari mereka yang mengaku beriman kepadanya. Sungguh sebuah paradoks besar sekaligus kemunafikan yang nyata. Tapi itulah dunia kita.

Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung

(Bersambung)…..

*Presiden Nusantara Foundation/Pendiri Pesantren Nur Inka Nusantara Madani.

(AK/Ais/RS3)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Ramadhan
Ramadhan 1445 H
Kolom
Kolom
Kolom