Sang Mutiara Itu- 3 (Oleh: Shamsi Ali*)

Pada bagian lalu disebutkan bahwa cinta Mukmin kepada Rasulullah SAW itu adalah cinta pilihan. Cinta pilihan bentuk cinta yang tertinggi dan dahsyat. Karena cinta demikian pastinya melalui “mujahadah” atau perjuangan.

Cinta yang dahsyat itu yang kemudian tertanam kokoh dalam dada setiap Mukmin. Rasa emosi itu bahkan mengalir di setiap denyut nadi  hidupnya. Seorang Mukmin tidak akan ragu mengorbankan, bahkan hidupnya sakalipun, demi kemuliaan Rasulnya.

Tapi cukupkah dengan rasa emosi atau sentimen? Tentu tidak. Justeru emosi atau sentimen itu tak ubahnya energi pada kendaraan. Apalah arti energi yang hebat dengan mesin besar kendaraan itu jika kendaraan itu tidak terpakai.

Maka sentimen kecintaan itu perlu diwujudkan dalam bentuk realita hidup. Mewujudkannya dalam bentuk realita hidup inilah yang diekspresikan dalam Al-Quran dengan istilah “ittiba’” (mengikuti). Sebagaimana firman Allah: “Katakan (hai Muhammad) jika kamu mencintai Allah (dan tentu RasulNya) maka ikutlah kepadaku niscaya Allah akan mencintaimu”.

Ayat Al-Quran ini menggaris bawahi bahwa cinta Allah dan Rasul itu bukan sekedar “ekspresi emosi”. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana rasa itu teraplikasikan dalam bentuk realita hidup.

Mengaplikasikan atau merealisasikan rasa cinta kepada Rasul itulah yang dikenal dengan beruswah kepadanya. Atau dalam bahasa yang lebih populer bersunnah kepada Rasulullah SAW.

Atau dalam bahasa yang lebih umum “taat” kepadanya. Sebagaimana disabdakan: “semua umatku masuk syurga kecuali Yang membangkang”. Para sahabat bertanya: “siapa yang membangkang ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Barangsiapa yang mentaatiku masuk syurga. Dan barangsiapa yang tidak mentaatiku (ashooni) maka dia telah membangkang”.

Aktualisasi cinta dalam bentuk ketauladanan kepada baginda Rasul ditegaskan dalam Al-Quran: “Sungguh ada bagi kamu pada Rasulullah ketauladanan yang baik”.

Mengikut kepada ketauladanan Rasul atau mengaktualkan sunnahnya (jalan hidupnya) dalam kehidupan nyata itulah tingkatan cinta tertinggi.

Masalahnya adalah banyak di kalangan umat ini yang memahami sunnah Rasul secara diskriminatif. Dengan kata lain kerap kali sunnah itu dipahami secara parsial (sebagian-sebagian). Atau tidak jarang juga diambil secara diskriminatif. Diambil sebagian yang dianggap sesuai. Lalu ditolak sebagian karena dianggap tidak sesuai (dengan hawa nafsu).

Betapa umat ini kerap bertengkar, saling menyalahkan dan membid’ahkan dalam hal-hal ritual ubudiyah. Tidak jarang (wal-iyadzu billah) ada yang merasa lebih sunnah dari yang lain. Dengan kata lain lebih vulgar, sering terjadi arogansi, merasa paling sunnah, dalam hal ritual ubudiyah.

Sesungguhnya tanpa disadari menyikapi sesama dengan cara seperti di atas merupakan pelanggaran nyata kepada sunnah. Karena sunnah Rasulullah SAW dalam menyikapi perbedaan-perbedaan ritual ubudiyah itu Pada umumnya disikapi secara lapang dada (tasamuh).

Selama memang masih menyangkut urusan-urusan “furu’iyah” dari agama. Bahkan beliau mengedepankan sikap positif, membenarkan selama masih ada celah untuk membenarkan secara syar’i.

Bukan seperti sebagian justeru cepat menyalahkan. Merasa paling benar dan paling sunnah. Runyamnya, tidak jarang sikap pengakuan sunnah seperti itu justeru berujung pada friksi (perpecahan) di kalangan umat Islam.

Akibatnya terjadi paradoks nyata. Terjadi pelanggaran sunnah (secara sosial) atas nama sunnah (secara ritual).

Maka sekali lagi, Sunnah Rasul SAW itu mencakup seluruh aspek hidup manusia. Tidak ada satu hal apapun dalam hidup manusia kecuali ada kaitan dengan sunnah Rasulullah SAW.  Dari ujung kepala ke ujung kaki. Lahir dan batin. Urusan pribadi, keluarga, masyarakat. Bahkan dalam urusan internasional (global affairs) sekalipun ada kaitan sunnah Rasulullah SAW.

Bagaimana tidak. Beliau adalah manusia biasa yang tentu menjalani hidup personalnya. Beliau sholat, puasa, haji dan melakukan ibadah lainnya. Tapi beliau juga adalah makan, minum, tidur, kawin, bergaul dengan teman, dan seterusnya.

Tidak kalah pentingnya juga beliau adalah bisnisman, guru dan pendidik, dai dan penceramah. Tapi juga politisi, administrator (pemerintah) dan bahkan Panglima Perang.

Pada semua itu ada sunnah-sunnah atau uswah hasanah (ketauladanan yang baik) untuk diikuti oleh umatnya.

Saya biasanya membagi sunnah itu kepada 4 bagian dalam kehidupan manusia. 1) Sunnah dalam keyakinan (iman). 2) Sunnah dalam ritual ubudiyah. 3) Sunnah dalam karakter personal atau kepribadian. 4) Sunnah dalam aspek sosial dan urusan publik.

Bersambung……

* Presiden Nusantara Foundation/Pendiri Pesantren Nur Inka Nusantara Madani USA.

(AK/Ais/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)