Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sekjen. PB NU: Kualitas Demokrasi Indonesia Alami Penurunan Selama Pandemi

sajadi - Jumat, 3 Desember 2021 - 09:29 WIB

Jumat, 3 Desember 2021 - 09:29 WIB

5 Views

Jakarta, MINA – Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nadhlatul Ulama Helmy Faishal Zaini mengatakan, Economist Intelligent Unit (EIU) mencatat penurunan kualitas demokrasi Indonesia dan banyak negara selama pandemi, namun, penurunan itu bagian dari tantangan demokrasi di tengah pandemi.

“Ada sejumlah tantangan bagi demokrasi,” kata dia dalam diskusi “Menuju Bali Democracy Forum : Demokrasi di Era Pandemi, Menjawab Tantangan Dari Setiap Negeri”, Kamis (2/12), di Jakarta.

Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah dan pakar politik internasional Universitas Paramadin=a Mahmud Syaltout juga hadir dalam diskusi itu. Mereka membahas berbagai aspek demokrasi di era pandemi.

Helmy yang juga anggota Komisi I DPR RI itu menyebut, tantangan itu antara lain dari dunia digital yang semakin marak digunakan selama pandemi. Pada pelantar digital itu bertebaran berbagai hal yang justru mengancam demokrasi.

Baca Juga: Selamat dari Longsor Maut, Subur Kehilangan Keluarga

“Paham-paham transnasional disebar melalui pelantar digital. Paham-paham itu memanfaatkan demokrasi untuk menghapuskan demokrasi,” ujarnya.

Prinsip demokrasi yang membolehkan perbedaan pendapat membuat penyebaran paham itu tidak mungkin dilarang. Hal yang bisa dilakukan adalah meningkatkan pemahaman masyarakat atas isu-isu itu.

Di sisi lain, perlu juga dipahami demokrasi bukan hanya soal hak berbeda pendapat. Padahal, kematangan demokrasi lebih dari hal itu. Dibutuhkan kesiapan dan kesabaran untuk mengembangkan demokrasi. Sebab, proses demokratisasi membutuhkan waktu panjang.

Menurut dia, tidak tepat jika menganggap hanya ada satu versi demokrasi yang benar. Demokrasi tidak hanya dari paradigma sekuler yang memisahkan sepenuhnya agama dan kehidupan publik, termasuk sistem hukum dan politik. Demokrasi juga bisa menggunakan paradigma simbiotik seperti diterapkan di Indonesia.

Baca Juga: Terakreditas A, MER-C Training Center Komitmen Gelar Pelatihan Berkualitas

Sementara itu Syaltout mengatakan, dampak nyata pandemi adalah tekanan ekonomi. Pada situasi ini, demokrasi transaksional semakin marak dan para calon petahana di pemilu cenderung diuntungkan.

Tekanan ekonomi juga membuat sebagian orang kesulitan menerima keragaman. Padahal demokrasi membutuhkan keragaman.

“Ini tercermin dari kasus Charlie Hebdo di Perancis. Selama pandemi, seperti kelompok lain, toko-toko milik warga muslim Perancis tutup. Bisnis jasa mereka tidak berjalan. Mereka jadi sensitif,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Gerakan Pemuda Ansor itu.

Sementara di sejumlah negara lain, tekanan ekonomi berujung pada penggulingan pemerintah. Di sejumlah negara, ada kudeta yang antara lain dipicu alasan itu.
Ia juga menyebut, demokrasi memang harus ditumbuhkan dari dalam negeri. Sebab, pemaksaan dengan alasan mendorong demokratisasi adalah pelanggaran.

Baca Juga: Tiba di Inggris, Presiden Prabowo Hadiri Undangan Raja Charles III

“Ada negara-negara yang mengintervensi negara lain dengan alasan mendorong demokrasi. Tindakan itu melanggar demokrasi,” kata dia.

Namun Faizasyah mengatakan, pandemi justru memberi kesempatan kepada negara demokrasi untuk mencari model keseimbangan baru. Sebab, ada kebutuhan pengendalian pandemi dan di sisi lain ada kebutuhan tetap menjaga hak-hak warga.

Pada negara-negara demokrasi, percobaan mencari keseimbangan itu dimungkinkan karena pemerintah dan masyarakat madani bisa bebas menyatakan pendapatnya. Diskusi-diskusi itu menjadi salah satu cara mencari keseimbangan baru di tengah pandemi. Kondisi itu sulit diharapkan pada negara-negara otoriter.

Lewat BDF, Indonesia ingin menyediakan ajang bagi masing-masing negara berbagi pengalamannya dalam mengelola pandemi dan demokrasi.

Baca Juga: Syubban Jambi Kibarkan Bendera Palestina di Puncak Gunung Dempo

BDF tidak ditujukan untuk membandingkan beragam versi demokrasi. BDF juga tidak bermaksud menyeragamkan beragam versi demokrasi di berbagai negara.

“Demokrasi tidak monolitik, amat berwarna,” kata dia.

Ia menyebut, BDF sejak awal tidak dirancang sebagai ajang mencari format terbaik demokrasi. BDF dirancang menjadi forum berbagi untuk negara yang sedang mempraktikkan atau masih berminat pada demokrasi.

Sebab, proses demokratisasi tidak selamanya mulus. Di Timur Tengah dan Afrika Utara, demokratisasi yang dikenal sebagai Arab Spring tidak sepenuhnya menghasilkan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Kondisi itu bisa memicu penurunan kepercayaan warga pada demokrasi. (R/RE1/P1)

Baca Juga: Ulama Palestina: Ujian Pertama untuk Bebaskan Al-Aqsa adalah Shubuh Berjamaah

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Timur Tengah
Internasional
Afrika