Yogyakarta, 2 Jumadil Akhir 1437/11 Maret 2016 (MINA) – Guru besar sekaligus penasehat hukum International Islamic University Malaysia (IIUM), Prof. Dr. Nik Ahmad Kamal Bin Nik Mahmod mengatakan arus globalisasi memaksakan untuk harus bisa bersaing dengan negara-negara di kawasan regional Asia Tenggara.
Persaingan tersebut bukan hanya melibatkan para pebisnis, namun juga melibatkan kalangan mahasiswa, terutama para sarjana yang harus siap menghadapi persaingan dalam ranah Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Terlebih para sarjana hukum juga harus mampu bersaing dengan para sarjana dari negara-negara Asia Tenggara. Gelar sarjana hukum yang didapat, tidak harus menjadi pengacara, hakim, advokat, atau hal yang berkaitan dengan hukum.
Hal itu disampaikan Nik Ahmad saat mengisi pidato Milad Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FH UMY) ke-35 di Ruang Sidang AR. Fachruddin A Lantai 5, beberapa waktu lalu, demikian laman resmi UMY yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Baca Juga: Workshop Kemandirian untuk Penyandang Disabilitas Dorong Ciptakan Peluang Usaha Mandiri
Nik Ahmad menyampaikan bahwa jika ditelaah terkait pendidikan hukum di Asean, menurut Tan Cheng Han yang telah mengamati pendidikan hukum di Asean, saat ini Indonesia memiliki lebih dari 200 sekolah hukum dan kebanyakan sekolah tinggi dan universitas swasta.
“Di Malaysia sekolah hukum hanya memiliki enam sekolah hukum negeri dari total sepuluh sekolah hukum. Di samping itu, sekolah hukum dalam negeri, sarjana hukum juga datang dari sekolah hukum asing dan melayani profesi hukum di negara mereka, seperti banyaknya pengacara Asean yang lulus dari USA, UK, Australia, Perancis, dan negara lainnya di luar Asean,” ungkapnya.
Nik Ahmad menambahkan, pendidikan hukum merupakan suatu fenomena yang relatif baru di Vietnam, Kamboja, Laos, dan Brunei Darussalam. Meskipun demikian, sekolah hukum dalam dan luar negeri telah memenuhi pengacara untuk dipraktekkan dalam industri hukum di negara-negara anggota Asean.
“Dengan sistem hukum yang berbeda, sekolah-sekolah hukum di Asean mengambil pendekatan pragmatis dalam pengajaran hukum dalam negeri kepada mahasiswa mereka, sehingga mereka dapat mempraktikkannya sebagai pengacara dalam negeri di negara mereka,” jelasnya.
Baca Juga: Update Bencana Sukabumi: Pemerintah Siapkan Pos Pengungsian
Dengan adanya MEA tersebut, tidak menutup kemungkinan terdapat peluang dan tantangan bagi sekolah-sekolah hukum maupun para sarjana hukum.
Menurutnya, peluang MEA adalah dapat membuka peluang bisnis dengan cara membuka kantor advokat dengan negara-negara Asean.
“Dengan dibukanya peluang kerjasama dalam membangun bisnis, memberi peluang dibukanya kerjasama dengan kantor advokat di negara anggota Asean lainnya. Ini juga menjadi koraborasi kerjasama dalam kegiatan bisnis antara kantor advokat dari beberapa negara,” ujarnya.
Sedangkan keuntungan dalam perbandingan pengetahuan, ia menambahkan bahwa keuntungan yang didapat yaitu dapat mempersiapkan lulusan hukum dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman, untuk mempersiapkan tantangan pasar bebas yang menghendaki operasi di Asean dan kantor advokat global.
Baca Juga: PSSI Anggarkan Rp665 M untuk Program 2025
Sementara itu, tantangan yang perlu dihadapi di sekolah-sekolah hukum dalam menjalani MEA, masih banyak dosen-dosen hukum belum mempunyai dasar dalam perbandingan hukum untuk mengajarkan mata kuliah perbandingan hukum.
“Pengetahuan perbandingan hukum masih rendah, sehingga dosen hukum tidak mempunyai rasa percaya diri dalam mengajarkan mata kuliah tersebut. Selain itu kurangnya referensi dalam memahami bahasa hukum juga menjadi hambatan dalam proses belajar mengajar,” pungkasnya. (T/ima/R05)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Naik 6,5 Persen, UMP Jakarta 2025 Sebesar Rp5,3 Juta