Dushanbe, MINA – Selain melarang hijab muslimah, undang-undang yang baru diresmikan oleh Parlemen Tajikistan juga menarget kaum pria yang memelihara janggut lebat.
Menurut Atoll Times dalam artikelnya pada Kamis (27/6), jika pakaian Muslimah dilarang karena dianggap “asing bagi budaya nasional”, maka janggut lebat dilarang karena dianggap tidak pantas.
Pria diinstruksikan untuk menjaga rambut wajah mereka tetap rapi. Mahasiswa laki-laki di satu-satunya Universitas Islam di negara ini diinstruksikan untuk mengenakan jas dan dasi, serupa dengan mahasiswa di lembaga pendidikan lain di negara tersebut.
Setelah bertahun-tahun melakukan pembatasan tidak resmi terhadap pakaian keagamaan, pemerintah Tajikistan secara resmi melarang pemakaian jilbab di negara tersebut.
Baca Juga: Utusan PBB Peringatkan Pengungsi Tidak Kembali Dulu ke Suriah
RUU tersebut, yang disahkan oleh majelis rendah Parlemen pada tanggal 8 Mei dan disetujui oleh majelis tinggi pada tanggal 19 Juni, memberikan bobot hukum pada pendirian Presiden Emomali Rahmon terhadap “ekstremisme agama”.
Amandemen undang-undang “Tentang Peraturan Hari Raya dan Upacara” melarang “impor, penjualan, promosi, dan pemakaian pakaian yang dianggap asing bagi budaya nasional.”
Inti dari perubahan ini adalah larangan jilbab, penutup kepala yang dikenakan oleh wanita Muslim, serta pakaian lain yang terkait dengan budaya Arab.
Keputusan ini telah memicu banyak spekulasi di kalangan komunitas Muslim di seluruh dunia, ada yang menyetujui dan ada pula yang tidak setuju.
Baca Juga: Israel Serang Suriah 300 Kali Sejak Assad Jatuh, Situs Militer Jadi Sasaran
Berbatasan dengan Afghanistan, Rahmon berupaya melarang jilbab di negara yang 96% penduduknya beragama Islam.
Undang-undang tersebut merupakan bagian dari upaya Presiden Rahmon yang lebih luas untuk mempromosikan apa yang ia anggap sebagai budaya “Tajiki” dan meminimalkan visibilitas religiusitas masyarakat.
Rahmon telah berkuasa sejak tahun 1994, menjadikan masa pemerintahannya selama 30 tahun sebagai salah satu masa pemerintahan terlama di wilayah tersebut. Pada awal karirnya, ia menentang partai politik yang lebih religius dan memiliki sejarah menentang aspek-aspek tertentu dari budaya Arab.
Pada tahun 2015, ia menyebut hijab sebagai “tanda buruknya pendidikan”. Kemudian pada tahun 2018, pemerintah bahkan menerbitkan manual berjudul ‘Buku Panduan Pakaian yang Direkomendasikan di Tajikistan’, dan membentuk komisi khusus untuk mengawasi aturan berpakaian yang “pantas” untuk pria dan wanita. []
Baca Juga: Kerajaan Saudi Sampaikan Pernyataan atas Perkembangan Terkini di Suriah
Mi’raj News Agency (MINA)