Larangan Hijab Bagi Atlet Prancis di Olimpiade 2024 Tuai Kecaman Internasional

Ilustrasi: aksi protes muslimah Prancis menentang larangan hijab. (Foto: dok. AA)

Paris, MINA – Keputusan Pemerintah untuk melarang atletnya mengenakan jilbab, saat bersiap menjadi tuan rumah Olimpiade pertamanya dalam 100 tahun adalah yang terbaru dari serangkaian larangan pemerintah yang menuai kecaman dari negara-negara Arab dan internasional.

Negara yang 10% dari 67 juta penduduknya beragama Islam ini kembali menarik perhatian dengan keputusan terbarunya yang melarang atletnya mengenakan cadar yang berlaku mulai 26 Juli 2024, tanggal api Olimpiade akan dinyalakan. Anadolu Agency melaporkan.

Menteri Olahraga Prancis Amelie Oudea-Castera mengumumkan dalam sebuah program televisi bahwa olahragawan wanita dalam kontingen  Prancis tidak boleh mengenakan jilbab selama Olimpiade.

Keputusan tersebut memicu reaksi keras dan kembali memicu perdebatan mengenai pelanggaran hak asasi manusia.

Baca Juga:  Turkiye Desak Israel Segera Mundur dari Perlintasan Rafah

Paris akan menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas dari 26 Juli hingga 11 Agustus 2024.

Federasi Olahraga Solidaritas Islam, sebuah kelompok yang mencakup negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), pada 2 Oktober menyatakan “keprihatinan mendalam mengenai keputusan pemerintah baru-baru ini yang melarang atlet Prancis mengenakan jilbab di mendatang.”

Federasi tersebut menekankan dalam pernyataannya bahwa “larangan ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan, inklusivitas, dan penghormatan terhadap keragaman budaya yang dijunjung tinggi oleh Olimpiade.”

Hal ini terjadi setelah Komite Olimpiade Internasional (IOC) mengatakan pada 29 September bahwa “tidak ada batasan dalam mengenakan jilbab atau pakaian keagamaan atau budaya lainnya.”

Posisi IOC dipuji oleh mantan Perdana Menteri Maroko Saad Eddine el Othmani.

Baca Juga:  PM Irak Sebut Serangan Israel di Gaza Sebagai Genosida

Juru bicara kantor hak asasi manusia PBB Marta Hurtado mengungkapkan sentimen serupa.

“Tidak seorang pun boleh memaksakan pada seorang wanita apa yang perlu atau tidak perlu dia kenakan,” kata Hurtado dalam sebuah pernyataan.

“Praktik-praktik diskriminatif terhadap suatu kelompok ini dapat menimbulkan konsekuensi yang merugikan,” tambahnya.

Dalam kritik tidak langsung terhadap posisi Perancis, Sekretaris Jenderal Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional, Ali Al-Qaradaghi, mengatakan bahwa “Kota-kota terbesar di Inggris telah menempatkan di jalan-jalannya patung seorang wanita berhijab. Orang-orang yang berakal sehat memahami maksud masyarakat mereka dan berupaya menghormati privasi identitas.”

Sekretaris Jenderal Delegasi Badan Keagamaan Islam Federasi Spanyol di kota Ceuta, Maroko, Idris Al-Wahabi, mengatakan bahwa keputusan Perancis tersebut “dimaksudkan untuk memprovokasi umat Islam pada umumnya dan warga Maroko pada khususnya,” dan mencatat bahwa warga Maroko mewakili kelompok Muslim terbesar di Prancis.

Baca Juga:  Perlawanan Muslim Myanmar Rekrut Pengungsi Rohingya di Kamp Bangladesh

“Kami bekerja dalam koordinasi dengan federasi dan badan-badan Islam yang hadir di Perancis untuk menentang keputusan tersebut,” tambah Wahabi. (T/RI-1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.