Oleh Widi Kusnadi, wartawan peliput langsung gempa Palu dan Donggala
Sore itu, Jumat (28/9) Zaenal Abidin tampak bahagia. Wajahnya terlihat cerah sejak pagi. Selepas shalat Subuh, ia memasak untuk istri tercinta, memandikan buah hati dan mengajaknya bermain hingga menjelang siang.
Sebagai suami yang bertanggung jawab, Zaenal yang tinggal desa Sidera, Kecamatan Sigi Biromaru, kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah itu tentu ingin membuat keluarganya bahagia. Apalagi setelah beberapa hari baru pulang dari perantauan. Di mata ibu mertuanya, Suami dari Dewi Hartanti itu sehari-hari dikenal sebagai sosok yang rajin , giat dan sayang kepada keluarga.
Sebagai Istri, Dewi juga merasa sangat bahagia melihat suami tercinta yang hari Itu memberi curahan perhatian dan kasih sayang lebih dari hari-hari sebelumnya. Dewi merasa beruntung memiliki suami yang mampu membimbingnya mengenal ajaran agama Islam, meski tergolong masih awam, namun ada semangat luar biasa dari suami tercinta untuk memberi bekal agama yang kuat bagi keluarganya.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Hingga sore Itu, Zaenal yang sedang bercengkarama dengan anak dan Istrinya di rumah mungil nan sederhana dikejutkan dengan suara gemuruh seakan bumi bergoncang mengeluarkan isi perutnya
Ketika gempa melanda kota Palu dan sekitarnya, masyarakat panik dan berhamburan keluar dari rumahnya. Mereka tidak menyadari dengan kepanikan Itu justru mengakibatkan kegaduhan dan kecelakaan bagi mereka sendiri.
Gempa Itu Mengantarkan Kesyahidan Zaenal
Lain halnya dengan Zaenal Abidin, di tengah kepanikan tetangga, ia justru tidak lari ke luar rumah, tetapi ia memilih melindungi istri dan anaknya dari reruntuhan tembok rumahnya.
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Dengan sigap, ia segera mendekap putranya yang baru berusia dua bulan itu. Istrinya yang tepat berada di sampingnya segera diraih dengan tangannya yang kekar. Dengan segenap kekuatan ia gunakan punggungnya sebagai perisai pelindung istri dan anaknya.
Tiba-tiba sore itu, pasca gempa, suasana langsung gelap gulita, listrik mati, masyarakat berhamburan keluar rumah mencari tempat aman. Dewi dan anaknya yang berada dalam dekapan suaminya itu mendengar suara lirih namun jelas di telinganya.
Dewi yang semulanya merasa aman dengan perlindungan dari suaminya itu pun mulai gelisah. Pasalnya, setelah mendengar takbir dan syahadat, dia tidak lagi mendengar suara sang suami, bahkan ia merasakan nafas suaminya pun sudah tidak berhembus lagi.
Ucapan takbir dan syahadat yang dia dengar dari lisan suaminya itu ternyata menjadi kata terakhir keluar dari lisan suaminya.
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
Dewi mulai berteriak minta pertolongan. Namun di tengah kepanikan masyarakat, tidak ada yang mendengar suaranya meski telah ia kerahkan segenap kekuatan dan tenaga untuk memaksimalkan volume suaranya.
Teriakan demi teriakan disertai tangisan sang bayi terus dia gemakan, namun apalah daya, tidak ada seorangpun yang mendekat ke arahnya.
Setelah sekian lama, dia menyadari bahwa teriakannya tidak memberi manfaat baginya. Akhirnya ia menyadari bahwa satu satunya jalan yang bisa ia lakukan adalah pasrah total kepada Allah SWT.
Ketika kepasrahan sudah total sepenuhnya ia serahkan kepada Allah Sang Pencipta, tiada daya dan upaya yang dilakukan manusia kecuali atas izin dan kehendakNya, maka saat itu pula, Dewi melihat ada seberkas cahaya yang mendekatinya. Dia berpikir apakah itu yang namanya malaikat Izrail yang datang akan mencabut nyawa?
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
Dia ingin berteriak sekali lagi, namun ternyata kerongkongannya sudah tidak bisa mengeluarkan suara. Hanya gerakan-gerakan bibir menyebut nama Allah yang bisa ia lakukan saat itu. Tiada lebih, karena seluruh badannya sudah tidak bisa bergerak lagi.
“Assalamu’alaikum Dewi,” suara dari belakang cahaya itu dengan jelas terdengar olehnya. Ia pun dengan segenap kekuatan menjawab salam itu dengan teriakan “Waalaikum salam. Ana Dewi, Rabbi Allah. Asyhadu Allaailaaha illaAllah wa Asyhadu Anna Muhammmadar Rasulullah, ”
Kata itu ia ucapkan berulang kali. Ia ingin memastikan bahwa “malaikat” yang datang kepadanya itu tahu bahwa ia seorang muslimah. Ia ingin meninggal dalam keadaan Islam.
Setelah itu, Dewi merasa seakan ia terbang, terbang melayang entah kemana. Yang ia ingat hanya syahadat dan takbir, sementara ia merasakan gelap dan semakin gelap saja. Sebenarnya ia masih bisa mendengar suara di sekitarnya, tapi ia tidak tahu dalam keadaan apa ia saat itu.
Dan ketika pagi menjelang, suara tangisan bayinya terdengar jelas di sampingnya. Ia terbangun. Ternyata ia sudah berada di rumah kakak tertuanya. Sang kakak menceritakan bahwa ia telah mengangkat Dewi, bayi dan suaminya dari reruntuhan rumahnya. Dewi dan bayinya yang pingsan segera dibawa ke tenda sebagai tempat yang aman, sementara suaminya Zaenal Abidin yang tertimpa reruntuhan dinding rumahnya nyawanya tidak tertolong. Kepalanya tertimpa balok kayu atap rumahnya sehingga ia menemui syahid.
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia
Hari Jumat yang ceria dan penuh riang gembira itu ternyata merupakan hari terakhir bagi Dewi bersama sang suami tercinta. Jumat yang ceria harus berakhir dengan duka cita.
Dewi berduka, namun, satu hal yang akan ia ingat selalu selama hayatnya bahwa Abang Zaenal Abidin meninggal saat berusaha menyelamatkan istri dan anaknya serta kata terakhir yang ia dengar dari lisan suaminya itu adalah kalimat takbir dan syahadat.
“Suamiku, aku bangga kepadamu, Kau telah mempertaruhkan nyawamu demi menyelamatkan istri dan anakmu. Akan ku sampaikan cerita perjuanganmu Ini kepada anak dan cucu kita kelak,” ucap Dewi.
“Selamat jalan Suamiku tercinta. Semoga kita bisa bertemu di syurgaNya dalam kebahagiaan dan kemenangan sejati, selamanya. Aamiin,” kenangnya.
Baca Juga: Suyitno, Semua yang Terjadi adalah Kehendak Allah
Kini, Dewi harus berjuang membesarkan ketiga putranya tanpa adanya suami tercinta. Namun ia tetap yakin bahwa musibah ini membawa hikmah, meski ia belum menemukannya saat ini.
Kisah Ini di tuturkan oleh Ibu Dewi Hartanti (salah satu korban selamat Gempa Palu) kepada wartawan MINA. Penulis mencoba menggoreskan pena mengenang kisah haru ini dengan deraian air mata. Semoga kisah ini menjadi motivasi bagi kita yang masih diberi kesempatan untuk bertaubat untuk senantiasa bersyukur atas nikmat Allah kepada kita. (A/P2/Sj/RS3)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi