Seruan untuk Dialog Konflik Nagorno Karabakh

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA

 

Nagorno-Karabakh, terdengar asing, atau baru pertama kita dengar, sontak mencuat ke permukaan berita global.

Konflik militer meningkat di wilayah perbatasan yang diklaim oleh Armenia dan Azerbaijan, akibat kegagalan upaya mediasi.

Pada akhir September 2020, pertempuran hebat meletus di sepanjang perbatasan, eskalasi paling serius sejak 2016. Lebih dari tiga ratus tentara dan warga sipil tewas, dengan ratusan lainnya terluka di kedua pihak.

Meskipun Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Dewan Keamanan PBB, dan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Rusia telah menyerukan diakhirinya permusuhan, Armenia dan Azerbaijan telah menolak tekanan untuk mengadakan pembicaraan. Sebaliknya, mereka telah berjanji untuk terus bertempur dan meningkatkan ketegangan lebih lanjut dengan beralih dari penembakan lintas batas ke penggunaan artileri jarak jauh dan persenjataan berat lainnya.

Kilas Sejarah

Jika kita kilas balik sejarah ke belakang. Pada tahun 1920-an, pemerintah Uni Soviet mendirikan Daerah Otonomi Nagorno-Karabakh, di mana 95 persen populasinya adalah etnis Armenia, tapi berada di wilayah di Azerbaijan.

Di bawah pemerintahan Bolshevik, pertikaian antara kedua negara bagian tetap terkendali. Namun ketika Uni Soviet mulai runtuh, begitu pula cengkeramannya di Armenia dan Azerbaijan. Pada tahun 1988, badan legislatif Nagorno-Karabakh mengeluarkan resolusi untuk bergabung dengan Armenia. Meskipun wilayah hukum wilayah tersebut berada di dalam perbatasan Azerbaijan.

Maka, ketika Uni Soviet bubar pada tahun 1991, wilayah otonom secara resmi mendeklarasikan kemerdekaan. Perang pun meletus antara Armenia dan Azerbaijan di wilayah tersebut.

Nagorno-Karabakh atau Artsakh yang diakui PBB msuk ke wilayah Azerbaijan, mendeklarasikan kemerdekannya pada tahun 1991.

Pada 1993, Armenia menguasai Nagorno-Karabakh dan menduduki 20 persen wilayah Azerbaijan di sekitarnya. Pada tahun 1994, Rusia menengahi gencatan senjata yang tetap berlaku sejak saat itu.

Awal April 2016 menjadi pertempuran paling sengit sejak 1994, menewaskan puluhan orang dan mengakibatkan lebih dari tiga ratus korban jiwa. Setelah empat hari pertempuran, kedua belah pihak mengumumkan bahwa mereka telah menyetujui gencatan senjata baru. Namun, gangguan dalam pembicaraan diikuti oleh pelanggaran gencatan senjata yang berulang, dan ketegangan tetap tinggi.

Upaya negosiasi dan mediasi, terutama yang dipimpin oleh Kelompok Minsk, gagal menghasilkan solusi permanen atas konflik tersebut. Grup Minsk, sebuah upaya mediasi yang dipimpin oleh Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE), dibentuk pada tahun 1994 untuk menangani perselisihan tersebut dan diketuai bersama oleh Amerika Serikat, Prancis, dan Rusia.

Ketua bersama mengatur pertemuan antara para pemimpin kedua negara dan mengadakan pertemuan individu. Kelompok tersebut telah berhasil menegosiasikan gencatan senjata, tetapi masalah teritorial tetap sulit diselesaikan seperti sebelumnya. Seperti disebutkan Council on Foreign Relations yang berpusat di New York (16/10/2020)

Pada Oktober 2017, presiden Armenia dan Azerbaijan bertemu di Jenewa di bawah naungan Grup Minsk, memulai serangkaian pembicaraan tentang kemungkinan penyelesaian konflik. Namun, pembicaraan belum membuahkan hasil yang konkret.

Karena pasukan militer Azerbaijan dan etnis Armenia ditempatkan berdekatan satu sama lain dan memiliki sedikit atau bahkan tidak ada komunikasi, ada risiko tinggi bahwa tindakan militer yang tidak disengaja dapat menyebabkan eskalasi konflik. Kedua belah pihak juga memiliki kepentingan politik dalam negeri yang dapat menyebabkan pemimpinnya masing-masing melancarkan serangan.

Peta Kawasan

Tanpa upaya mediasi yang berhasil, pelanggaran gencatan senjata dan ketegangan baru akan menyalakan kembali konflik militer antara negara-negara dan mengguncang kawasan Kaukasus Selatan.

Hal ini juga dapat mengganggu ekspor migas dari kawasan tersebut, karena Azerbaijan yang memproduksi sekitar 800.000 barel minyak per hari, merupakan pengekspor migas yang signifikan ke Asia Tengah dan Eropa.

Rusia telah berjanji untuk membela Armenia. Sejak tahun-tahun awal pembentukannya, Rusia memang melihat dirinya sebagai negara pelindung negara-negara Slavia dan Kristen Ortodoks, termasuk Armenia. Sementara Azebaijan, yang memiliki akar sejarah dengan Turki Utsmani, lebih dekat ke Turki.

Turki pun berseberangan dengan mitranya Rusia. Padahal Turki sendiri belum lama ini baru membuat perjanjian pembelian rudal dari Rusia, untuk memperkuat pertahanan dalam negeri. Langkah yang dikritik AS, sekutu NATO-nya.

Menteri Pertahanan Turki Hulusi Akar, seperti disebutkan Anadolu Agency, Ahad (18/10), menyatakan Turki akan selalu mendukung orang-orang Azerbaijan dengan segala cara untuk melindungi integritas teritorial mereka.

Empat resolusi Dewan Keamanan PBB dan dua resolusi Majelis Umum PBB serta keputusan banyak organisasi internasional menuntut penarikan pasukan Armenia yang menduduki dari Karabakh Atas dan tujuh wilayah pendudukan Azerbaijan lainnya.

Negara lainnya, Iran malah mendukung Armenia. Walaupun Iran mengakui perdamaian adalah kebijakan yang dikejar Iran untuk tujuan mengambil keuntungan dari keseimbangan di kawasan dengan cara atau untuk tujuan meminimalkan kemungkinan kerusakan.

Iran pernah melakukannya pada tahun 1992, ketika Menteri Luar Negeri Iran Mahmud Vaezi berdiskusi para pejabat Azerbaijan di ibukota Baku dan dengan para pejabat Azerbaija di Yerevan. Ini untuk pertama kalinya Iran dapat menjadi negara penengah antara Armenia dan Azerbaijan. Namun  kemudian invasi Armenia terhadap Shusha dan Lachin menyebabkan upaya Iran gagal.

Menurut pemerhati kawasan Kauksus-Selatan, Mehmet Fatih Öztarsu, Armenia pun menyambut Iran karena setelah Negara itu menutup pos pemeriksaan perbatasannya dengan Turki dan Azerbaijan, negera itu perlu mendapatkan akses lain menghadapi jalan buntu. Sebaliknya dapat memenuhi kebutuhannya untuk mengakses negara lain, dan itu lebih nyaman melalui Iran. Termasuk dapat membangun kemitraan komersial dan energi yang penting.

Iran sendiri menyebutkan bahwa mereka menghormati integritas wilayah negara sejak awal masalah Nagorno-Karabakh.

Karena itu, sikap Iran tidak menyebut istilah agama atau etnis apa pun saat menjelaskan masalah Nagorno-Karabakh.

Iran hendak menciptakan beberapa peluang melalui diaspora Armenia di Barat dan bahkan dapat memperoleh dukungan dari diaspora dalam hal meningkatkan citranya di komunitas internasional.

Israel dan The Big Five

Lalu bagaimana dengan Israel dan negara-negara besar yang dikenal dengan The Big Five di PBB? Mereka adalah Amerika Serikat, Prancis, dan China. Selain Rusia yang sudah memihak Armenia, tapi juga tetap berhubungan dengan tetagganya, Azerbaijan. Armenia dan Azerbaijan dulunya sama-sama menjadi bagian dari Uni Soviet.

Sumber intelijen menyebutkan, seperti disebutkan Al-Arabiya, media berbasis di Dubai, UEA, Israel telah mengirim senjata ke Azerbaijan di tengah pertempuran paling sengit menghadapi Armenia.

Israel dan Azerbaijan selama ini memiliki perdagangan besar antara minyak dan senjata.

Penasihat Kebijakan Luar Negeri Presiden Azerbaijan Hikmet Hajiyev mengatakan bahwa kerjasama pertahanan negaranya dengan Israel bukanlah rahasia.

Hajiyev juga mengatakan bahwa Azerbaijan menggunakan “drone kamikaze” Israel dalam pertempuran Nagorno-Karabakh.

Namun Israel juga memilih hubungan positif dengan Ukraina dan Rusia, serta dengan Armenia dan Azerbaijan.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menavigasi kompleksitas ini, bertemu dengan kedua belah pihak.

Menteri Luar Negeri Azerbaijan datang ke Israel pada 2013 dan menteri pertahanannya datang pada 2017. Menteri luar negeri Israel saat itu, Avigdor Liberman, pergi ke Azerbaijan pada 2018; Netanyahu berada di Baku pada tahun 2016. Seperti diungkapkan Jerusalem Post, edisi 29 September 2020.

Sementara, pada 2017, Menteri Kerjasama Regional Israel, Tzachi Hanegbi pergi ke Armenia dan Menlu Armenia datang ke Israel.

Sementara, Amerika Serikat sendiri yang terlibat dalam pembicaraan, mengalami kesulitan dalam menangani konflik. Namun AS tetap sangat berkepentingan.

Menurut lembaga penelitian ReesearchGate berbasis di Berlin, Jerman dan San Fransisco, AS, Donald Trump membutuhkan perlindungan keutuhan dan stabilitas teritorial Azerbaijan, karena memiliki sumber energi yang besar.

Di sisi lain, kendala dalam negeri menghalangi pemerintah AS untuk berperan sebagai mediator ​​dalam penyelesaian konflik, setidaknya untuk Azerbaijan. Soal keberpihakan paling tidak sudah terwakili oleh sikap Israel yang lebih mendukung Azerbaijan, bersama sekutu NATO-Nya, Turki. Berseberangan dengan Rusia dan Iran yang lebih dekat ke Armenia.

Bukan Perang Agama

Terlepas dari konflik bersenjata dengan tetangganya, Azerbaijan tetap menjadi negara toleransi multikultural. Dari 10 juta populasinya, 96 persen adalah Muslim. Ortodoks Rusia mewakili dua pertiga dari populasi Kristen. Sementara lebih dari 15.000 orang Yahudi berasal dari era Perjanjian Lama.

Azerbaijan Bible Society menulis surat terbuka untuk mengecam konsepsi populer bahwa konflik ini mengadu domba Muslim melawan Kristen.

“Perang antara Azerbaijan dan Armenia selama 30 tahun terakhir ini murni konfrontasi politik, tidak ada konteks agama,” tulis mereka. Seperti disebutkan Christianity Today, edisi 21 Oktober 2020.

Surat sebelumnya dari para pemimpin komunitas Muslim, Yahudi, dan Ortodoks Rusia Azerbaijan menyerukan dengan cara yang sama, sambil memberi selamat kepada Presiden Ilham Aliyev atas keberhasilan awal militer.

Seruan Dialog

Negara-negara besar seperti China, Prancis dan Jerman meminta Azerbaijan dan Armenia untuk mengadakan dialog politik untuk menyelesaikan perselisihan mereka.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin dalam pernyataannya mengatakan, “China menyerukan semua pihak untuk tetap tenang dan menahan diri atas konflik antara Armenia dan Azerbaijan.”

Mempertahankan perdamaian dan stabilitas di kawasan itu demi kepentingan semua pihak, termasuk Armenia dan Azerbaijan, kata Wang, menurut harian China Global Times.

Indonesia juga menyerukan melalui kementerian Luar Negeri pada 1 Oktober 2020, mendesak agar kedua pihak dapat menahan diri, melakukan gencatan senjata, mengedepankan dialog dan menyelesaikan konflik secara damai sesuai dengan hukum internasional dan resolusi Dewan Keamanan PBB yg ada.

Indonesia juga menyerukan agar kedua pihak kembali ke meja perundingan Minsk Process yang difasilitasi oleh OSCE.

Harapan kita tentunya, dengan adanya dialog yang melibatkan bukan hanya Azerbaijan dan Armenia, tetapi juga pihak Nagorno Karabakh, plus PBB dan negara-negara yang selama ini berperan AS, Prancis dan Rusia.

Negara lain yang bersinggungan dan berbatasan langsung, sebaiknya diundang juga untuk dimintakan suaranya, seperti Iran, Turki, Georgia. Sehingga diharapkan konflik tidak meluas, tidak dikaitkan dengan perang agama, dan dapat diselesaikan dengan damai.

Sehingga penduduk di Nagorno Karabakh dan situasi di dua Negara bertetangga Azerbajan dan Armenia, hidup dalam damai dan aman, saling bertetangga dengan harmonis, dalam membangun negara dan bangsanya. Semua diselesaikan di meja perundingan, bukan di lapangan dengan senjata. (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)