Oleh: Ali Farkhan Tsani, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Parlemen Pakistan secara bulat mendukung pemerintahnya bersikap netral terhadap konflik di Yaman, dan lebih mengajukan solusi diplomasi tanpa peperangan yang hanya mengakibatkan korban di kalangan penduduk.
Media setempat Fil Maujaz menyebutkan, pada sidang Jumat (10/4) suara Parlemen menyatakan secara bulat, mendukung netralitas dan resolusi penyelesaian konflik Yaman, tidak bergabung dengan koalisi militer yang dipimpin Arab Saudi.
“Pakistan menolak untuk berpartisipasi dalam aliansi militer Arab terhadap Houthi Yaman, dan mendesak pemerintah Perdana Menteri Nawaz Sharif untuk mengintensifkan upaya menemukan solusi damai mengakhiri konflik Yaman,” bunyi pernyataan.
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Parlemen Pakistan juga menyatakan keprihatinan yang besar atas memburuknya situasi kemanusiaan di Yaman, serta implikasinya bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan itu.
Parlemen ingin Pakistan berkomitmen untuk netralitas dalam konflik di Yaman, dan mendorong pemerintah memainkan peran diplomatik secara aktif untuk mengakhiri konflik tersebut.
Berkaitan dengan keputusan Arab Saudi, juru bicara Parlemen Tasnim Aslam mengatakan bahwa Pakistan tetap memegang konsesus terhadap tempat suci Mekkah dan Madinah di Arab Saudi, serta akan menjadi negara pertama yang ikut mempertahankannya.
Dia menambahkan bahwa Arab Saudi adalah saudara Pakistan, dan bahwa setiap ancaman terhadap kedaulatan dan integrtas teritorial wilayah Arab akan menyebabkan respon yang kuat dari Pakistan.
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Keputusan sidang melalui sidang paripurna yang dilakukan secara marathon di ibukota Islamabad sepanjang sepekan, dan dengan suara bulat mengeluarkan resolusi.
Sebelumnya, Aljazeera menyebutkan, dasar pemungutan suara pernyataan berlangsung setelah Pakistan menerima kunjungan Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif, di Islamabad, dalam kunjungan dua hari yang berakhir pada Kamis lalu (9/4).
Hal itu menyusul pertemuan Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif dengan PM Turki Ahmet Davutoglu membahas masalah tersebut.
Petinggi Pakistan juga telah bertemu dengan pejabat senior Saudi di Riyadh dalam dua pecan terakhir, sementara pimpinan militer negara itu telah melakukan pembicaraan dengan Iran dan Mesir.
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
Peran Penengah
Pakistan, bersama sekutu regionalnya Turki, telah menempatkan dirinya sebagai penengah perdamaian dalam konflik Yaman, dengan menyerukan kepada PBB dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk mengambil peran proaktif dalam mendorong dialog untuk mengakhiri konflik.
Resolusi parlemen tersebut memang tidak langsung mengikat eksekutif. Namun fakta bahwa teks dibacakan oleh anggota kabinet senior Ishaq Dar, yang juga merupakan anggota dari partai berkuasa Liga Muslim Pakistan PML-N (The Pakistan Muslim League-N).
Suara bulat Parlemen tampaknya akan menunjukkan bahwa sangat tidak mungkin pemerintah akan menentang pernyataan itu.
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
Resolusi parlemen tersebut juga menyerukan kepada faksi-faksi yang bertikai di Yaman untuk menyelesaikan perbedaan mereka secara damai melalui dialog.
Anggota parlemen Pakistan sebenarnya telah memperdebatkan masalah ini sejak Senin (6/4), ketika pemerintah mengadakan sesi bersama untuk merumuskan posisi bersama mengenai konflik yang terjadi di Yaman.
Pada hari itu, Menteri Pertahanan Pakistan Khawaja Asif, mengungkapkan bahwa Arab Saudi telah menyampaikan permintaan kepada Pakistan untuk berkontribusi mengirim jet tempur, pasukan darat dan kapal perang angkatan laut dalam aksi serangan koalisi Arab yang mereka namakan Operation Decisive Storm (Operasi Badai yang Menentukan).
Operasi pun telah berlangsung sejak 25 Maret ketika Arab Saudi mulai serangan udara terhadap posisi-posisi pemberontak Houthi di Shana’a atas permintaan Presiden Yaman Abd-Rabbu Mansour Hadi, tanpa keikutsertaan militer Pakistan.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Hadi sendiri telah melarikan diri dan berlindung di Arab Saudi sejak 27 Maret, setelah Houthi terus mengejarnya hingga ke Aden, Yaman bagian selatan.
Peran serupa dilakukan Kesultanan Oman, tetangga berbatasan dengan Yaman. Hal itu seperti dinyatakan Menteri Luar Neger Oman Yusuf bin Alawi bin Abdullah, bahwa negaranya siap membantu PBB menengahi dan menyelesaikan perang di Yaman.
Times of Oman menyebutkan, Oman menilai PBB adalah sebuah organisasi yang telah ditugaskan menjaga perdamaian untuk semua kekuatan yang terlibat. Karenanya, negaranya berseida membantu PBB untuk mendorong kedua belah pihak yang terlibat dalam krisis ke meja perundingan dan mendiskusikan masa depan mereka sendiri.
Oman, dalam hal ini berusaha untuk memainkan peran sebagai mediator di wilayah yang sedang bergolak, Yaman. Oman memang merupakan satu-satunya negara anggota Dewan Kerjasama Teluk GCC (Gulf Coopetaion Counchil) atau Majelis at-Ta’aawun al-Khaliijiy, yang tidak ikut bergabung dengan koalisi Arab. GCC terdiri dari enam negara anggota: Arab Saudi, Uni Emorat Arab, Qatar, Kuwait, Bahrain, dan Oman.
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
“Oman tidak ikut serta dalam koalisi serangan, karena Oman adalah negara damai, dan kita tidak bisa bekerja pada upaya perdamaian sementara pada saat yang sama kita menjadi bagian dari kampanye militer,” kata Menlu Alawi.
Menurutnya, Oman memahami dengan situasi yang telah menyebabkan aksi militer yang dipimpin Arab Saudi. Namun, untuk menyelesaikan krisis Yaman, kedua belah pihak internal Yaman harus bebas dari pengaruh apapun, kecuali pengaruh rakyat mereka sendiri.
Usulan serupa datang dari negara lain di luar Teluk, yaitu Turki, yang memiliki kekuatan militer cukup besar.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dalam kunjunganya ke Teheran Selasa (7/4), bersama Presiden Iran Hassan Rouhani menyepakati perlunya solusi politik untuk mengakhiri perang di Yaman.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Diskusi cukup panjang Turki-Iran hari itu juga membahas masalah Irak, Suriah, dan Palestina.
Kesepakatan menyebutkan, perang dan pertumpahan darah harus berhenti segera dan gencatan senjata lengkap harus dilakukan.
Hubungan Teheran-Ankara beberapa wwaktu lalu cukup menegang, setelah Erdogan mengecam upaya dominasi pengaruh Iran di Suriah, Irak dan Yaman.
Kecaman itu mendapat respon Menteri Luar Negeri Iran Mohammed Javad Zarif dengan menganggap pemerintah Ankara mengobarkan ketidakstabilan di Timur Tengah.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Sisi lainnya, Erdogan yang merupakan mantan sekutu dekat Presiden Suriah Bashar Al-Assad, mendukung pemberontakan di Suriah yang memerangi pemerintahan Assad. Sedangkan Teheran mendukung pemerintah Suriah.
Hubungan Pakistan-Arab Saudi
Sebelum statemen Parlemen Pakistan diumumkan, PM Nawaz Sharif, berkunjung ke Arab Saudi dan melakukan pertemuan dengan Raja Salman bin Abdul Aziz.
Lawatan ini menjadi babak baru hubungan Islamabad dan Riyadh. Penyambutan Nawaz Sharif di bandara oleh Raja Arab Saudi menunjukkan pentingnya perluasan hubungan dengan Pakistan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Kedua negara memang memiliki hubungan yang cukup lama dan strategis. Ketika mantan Presiden Pervez Musharraf melakukan kudeta tidak berdarah di Pakistan, Nawaz Sharif PM Pakistan saat ini memilih ke Arab Saudi sebagai tempat pelariannya.
Ia selama hampir sepuluh tahun dijamu oleh kerajaan Arab Saudi seperti para pemimpin negara lainnya. Nawaz Sharif dengan dukungan Arab Saudi, Amerika dan Inggris pada tahun 2008 kembali ke Pakistan untuk mengikuti pemilu. Sekalipun dalam pemilu tersebut, partai Liga Muslim pimpinan Nawaz Sharif kalah dari partai Rakyat Pakistan, tapi kemudian memenangi pemilu 2013, dan kembali memegang tampuk kekuasaan.
Selama dua tahun menjabat posisi Perdana Menteri, lawatan luar negeri Sharif lebih banyak ke Arab Saudi. Tampaknya, Nawaz Sharif melihat kekuasaan yang dimilikinya berutang budi pada dukungan Riyadh. Ia bahkan berusaha mempertahankan kerjasama dan kebergantungannya kepada pemerintah Arab Saudi.
Di sinilah Nawaz Sharif akan berperan mempertimbangkan segala kepentingan dan situasi untuk negaranya, kawasa regional sekitarnya, dan tentu kebijakan Arab Saudi, tempatnya dulu dijamu seperti tuan rumah di negeri sendiri.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam, tak Ada Jejak Yahudi Sedikit Pun
Harapan
Dr. Chandra Muzaffar, Presiden Gerakan Internasional untuk The International Movement for a Just World berpusat di Malaysia, mengatakan bahwa aksi militer bukanlah solusi terhadap krisis yang terjadi di Yaman. Karena pada dasarnya konflik di sana adalah sebuah pergumulan kekuasaan antara berbagai aktor politik. Maka, solusinya pun harus secara politis.
Menurutnya, serangan militer udara terhadap Yaman, dengan target Houthi, justru telah memperburuk situasi yang sebenarnya sudah mulai stabil.
Serangan darat yang direncanakan, akan semakin memperuncing kawasan.
Korban di daratan Yaman tentu akan semakin meningkat secara hebat. Dunia akan menyaksikan banyak korban tewas bergelimpangan dan kehancuran fasilitas bagunan dalam beberapa tahun terakhir. Lalu disusul dengan penderitaan demi penderitaan rakyatnya.
Pemerhati lainnya, Dr. Hassan Elkhalifa Osman, alumni Universitas Assiut, Mesir, mengirimkan surat nasihat untuk Raja Saudi Arabia Salman bin Abdul Aziz, untuk membebaskan Palestina dari penjajahan Israel, rakyat Suriah dari tirani penguasa, dan Mesir dari ketidakadilan presidennya, setelah mencermati setelah serangan Arab ke Yaman.
Ia memberikan surat terbuka kepada yang mulia Penjaga Dua Masjid Suci Masjidil Haram Makkah dan Masjid Nabawi Madinah, bahwa Raja Saudi tersebut memiliki tugas dan kemampuan membebaskan Palestina, al-Quds dan Gaza dari penjajahan Israel.
Pada bagian lain surat, Otsman juga menyebutkan, bagaimana Raja Salman mampu pula mengakhiri penderitaan rakyat Suriah dari tirani penguasanya, ujar penulis aktif yang kini tinggal di Turki, pasca kudeta Mesir oleh Al-Sisi.
Pemerhati kemanusiaan tentu memiliki harapan, agar setiap konflik politik kekuasaan dapat diselesaikan pula secara politik, oleh internal negara yang bersangkutan.
Jangan sampai kemudian terjadi adu senjata yang hanya mengakibatkan korban warga sipil, dari kalangan wanita, anak-anak, hingga orang tua, yang tidak terlibat langsung dalam pergolakan kekuasaan tersebut.
Di sinilah peran Organisasi Kerjasama Islam (OKI) memediasi pertemuan semua pihak terkait untuk berdialog mencapai konsesus politik bagi Yaman. Tentu, ini harus didukung oleh negara-negara Islam atau berpenduduk Muslim di dunia.
Kesadaran dan kebesaran jiwa akan arti penting persatuan dan kesatuan, di bawah kepemimpinan Khalifah dari kaum Muslimin, menjadi suatu keharusan yang tidak dapat dielakkan lagi.
Seperti dinyatakan Imaamul Muslimin Syaikh Yakhsyallah Mansur, bahwa krisis dalam negeri Yaman dapat mengancam perdamaian di kawasan Teluk dan sekitarnya. Karena itu, menurutnya diperlukan kebesaran jiwa dari semua pihak untuk sama-sama serius dalam mencari solusi terbaik bagi Yaman bahkan Timur Tengah pada umumnya, serta tidak mempolitisasi agama hanya untuk memuaskan syahwat politik dan nafsu berkuasa segelintir orang atau kelompok.
Imaamul Muslimin Syaikh Yakhsyallah Mansur juga mengingatkan, perang yang terjadi di Yaman mengakibatkan terbunuhnya puluhan rakyat sipil, wanita dan anak yang tidak berdosa dan ratusan lainnya cedera. Perang saudara tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Hendaknya, kedua belah pihak yang berseteru di Yaman dan para pemimpin Arab Saudi serta sekutunya takut kepada peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang membunuh kaum Muslimin sipil tak berdosa.
Allah dengan keras mengingatkan,”…..Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu [membunuh] orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya…”. (QS Al-Maidah [5]: 32).
Itulah, maka jika terjadi korban, satu nyawa saja melayang tanpa alasan yang dibenarkan, maka hukumnya sama dengan mengorbankan seluruh nyawa manusia.
Boleh jadi dari anak-anak yang menjadi korban tersebut adalah mereka yang sedang menuntut ilmu, sedang menghafal Al-Quran dan yang jelas tidak berdosa apapun atas konflik para penguasanya. Juga dari kalangan wanita yang terbunuh, berarti terputus sudah keturunan yang semestinya dapat mereka lahirkan generasi-generasi shalihin-shalihat. Namun terbunuh oleh peluru, bom dan senjata lainnya. Astaghfirullaahal ‘adzim. (T/P4/P2.
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)