Stop Museum Holocaust di Tondano

(Foto: Istimewa)

Oleh: Wakil Ketua Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, M.A.

Kami mendukung sikap MUI dan berbagai Ormas Islam dengan mengkritisi dibukanya serta pameran foto Holocaust di Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

Kami mendukung sikap Ketua MUI Bidang Kerja Sama Luar Negeri dan Hubungan Internasional, Prof. DR. Sudarnoto Abdul Hakim, yang menuntut ditutupnya pameran foto dan Museum Holocaust di Tondano. Karena museum ini berpotensi menghadirkan keresahan dan kontraproduktif terhadap upaya pembelaan terhadap yang diperjuangkan oleh pemerintah serta rakyat Indonesia. Juga berpotensi memicu kegaduhan di tengah khalayak publik Indonesia, yang semestinya berkonsentrasi menghadapi gelombang varian Omicron.

Jika alasannya mencegah antisemitisme, maka Indonesia yang tidak meratifikasi UU itu justru setiap hari dipertontonkan laku teror, genosida dan sejenis Holocaust oleh Israel terhadap Bangsa Palestina. Sehingga bangsa Palestina tercerai berai ada yang di Tepi Barat, Gaza atau di kawasan pendudukan Israel.

Sekitar separuh dari bangsa Palestina bahkan jadi diaspora di banyak negara dan di lintas benua. Belum lagi pelanggaran HAM terhadap warga Palestina di Yerusalem, Masjid Al-Aqsa, serta isolasi berbilang tahun terhadap warga Palestina di Gaza.

Juga pengabaian Israel terhadap berbagai Resolusi PBB maupun kesepakatan lembaga Internasional. Perilaku intoleran Israel terhadap Palestina itulah yang justru selalu ditampilkan oleh Israel. Sebagai pihak yang mengaku menjadi korban dari Holocaust Nazi, mestinya Israel tidak mengulangi hal yang sejenis kepada Bangsa lain, dalam hal ini Palestina.

Museum Holocaust itu kalau pun diperlukan, mestinya untuk Israel sendiri. Untuk bangkitkan kesadaran kolektif di Israel betapa jahatnya Holocaust, agar tidak diulangi oleh Israel terhadap bangsa manapun juga. Sehingga dapat menghadirkan perdamaian dan menghentikan kejahatan Holocaust, rasisme dan intoleran Israel terhadap Palestina.

Jelas sekali, museum Holocaust tidak diperlukan di Indonesia yang toleran, tidak rasis, tidak melakukan Holocaust terhadap suku dan bangsa mana pun. Malah bangsa Indonesia pernah mengalami sejenis Holocaust yang dilakukan oleh antek penjajah Belanda, Westerling, terhadap puluhan ribu warga sipil di Sulawesi Selatan tahun 1946-1947.

Terlebih lagi sumber informasi mengenai sejarah Holocaust yang mudah diakses di era teknologi informasi, ini malah membuka banyak tabir tentang hakekat Holocaust dan berbagai peristiwa yang mendahuluinya. Karena ternyata ada juga dokumen penting; Haavara Agreement, tahun 1933 disepakati organisasi Zionis di Jerman dan Inggris dengan rezim Nazi untuk migrasi 60.000 Yahudi Jerman ke Palestina.

Patut dicurigai jika ada maksud tersembunyi dari pendirian museum ini di Indonesia sebagai bagian dari manuver untuk memuluskan rencana normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dengan Indonesia. Apalagi, museum di Tondano itu bekerjasama dengan Museum Yad Vashem Israel, di mana direkturnya adalah tokoh besar permukiman ilegal Israel di Tepi Barat, kawasan Palestina.

Manuver semacam itu tentu sangat intoleran terhadap sikap resmi Bangsa dan Negara Indonesia. Bertolak belakang dengan nilai-nilai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi kemanusiaan, menolak segala penjajahan, dan karenanya mendukung Palestina merdeka dan menolak penjajahan Israel.

Pembukaan pameran foto dan Museum Holocaust di Tondano lebih banyak menyimpan potensi negatif. Memaksakan kehadirannya di Indonesia juga jadi seperti pamer intoleran dan manipulasi sejarah kontemporer Israel sebagai negara penjarah, penjajah, pelaku teror dan kejahatan kemanusiaan terhadap Palestina. Mirip dengan sebagian Nazi Jerman terhadap sebagian bangsa Yahudi, sebagaimana yang terjadi dalam Holocaust itu.

Keberadaan museum Holocaust di Indonesia juga mengalihkan isu dan fakta, dari Israel dan Zionismenya hari-hari ini yang mempraktikkan apartheid terhadap Palestina. Sebagaimana dinyatakan LSM internasional seperti Human Rights Watch, dan LSM B’tselem di Israel. Padahal, apartheid sudah disepakati oleh hukum internasional sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana termaktub dalam Statuta Roma.

Pembukaan museum Holocaust ini justru berpotensi menjadi “whitewashing” terhadap praktik apartheid, teror, intoleran, rasisme maupun kejahatan kemanusiaan lain yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina, di mana sejak periode Intifada Pertama saja sudah 12 ribu orang Palestina yang dibantai Israel. Belum lagi jutaan warga Palestina yang menjadi diaspora.
Hingga kini terdapat 2 juta penduduk Palestina yang diblokade di Gaza dan para tawanan Palestina yang dipenjara dengan perlakuan yang ilegal serta sangat tidak berperikemanusiaan. Itu semua merupakan fakta tragedi kemanusiaan yang kontekstual dan relevan untuk dibela dan diperjuangkan di Indonesia dengan mendirikan museum kejahatan penjajahan Israel atas Palestina.

Bukan justru memberikan legalitas terhadap Israel dengan dalih Holocaust dan membuatkan museum, karena sangat nyata, dan sudah menjadi rahasia umum, zionis Israel justru melakukan penjarahan, pembantaian dan penjajahan atas Palestina.

Oeh karenanya, kami mendesak agar panitia pameran foto dan museum Holocaust di Tondano tersebut toleran kepada Bangsa dan Negara Indonesia yang menolak penjajahan Israel atas Palestina. Karenanya agar segera menutup dan tidak perlu melanjutkan Museum holocaust itu.

Kita menyesalkan terjadinya kejahatan Holocaust pada masa lampau, baik terhadap bangsa Yahudi di Jerman, maupun Umat Islam di Bosnia Herzegovina. Tetapi kita juga mengutuk segala bentuk kejahatan kemanusiaan kontemporer lainnya. Termasuk kejahatan kemanusiaan Israel terhadap bangsa Palestina.

Faktanya, penjajahan Israel tidak dapat dilepaskan dari terjalinnya kerjasama gelap organisasi Zionis Jerman dengan rezim Nazi melalui Haavara Agreement dan kesepakatan lainnya sebelum Holocaust. Hingga kini rakyat Palestina mengalami penderitaan berkepanjangan akibat kerjasama jahat, rasis dan intoleran tersebut.

Jika ingin mencegah terulangnya kekejaman dan kejahatan kemanusiaan seperti Holocaust, maka jangan berhenti pada sikap-sikap simbolis yang tidak relevan seperti membuat museum Holocaust di Tondano. Tetapi mestinya dengan aksi nyata melawan setiap bentuk kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada hari ini, termasuk kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Israel terhadap bangsa Palestina. Bukan malah memperbanyak bangunan museum yang manipulatif dan menjadi legitimasi berdirinya negara penjajah Israel.

Maka museum seperti ini lebih diperlukan di Israel agar mereka tidak melanjutkan “holocaust”-nya Nazi terhadap bangsa Palestina. Bisa hadirkan perdamaian, dengan menjauhi sifat dan sikap rasis serta intoleran untuk langgengkan kolonialisme yang meneror bangsa Palestina.

Sikap Indonesia terhadap penjajahan seperti penjajahan Israel, dan sikap Indonesia terhadap kemerdekaan seperti kemerdekaan Palestina sangatlah jelas dan tegas. Bahkan sebagaimana dinyatakan Presiden Jokowi; Indonesia mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina, dan kemerdekaan bangsa Palestina menjadi hutang sejarah bagi Indonesia. Hal itu sudah menjadi sikap mensejarah dan mendarah daging Indonesia baik di tingkat Eksekutif sejak Presiden Soekarno, Legislatif, Ormas dan Orpol Islam maupun umumnya Rakyat Indonesia, mendukung perjuangan dan kemerdekaan Palestina dan menolak penjajahan Israel atas Palestina, sebagaimana amanat alinea 1 Pembukaan UUD 1945.

Maka Indonesia tidak memerlukan museum Holocaust yang justru melegitimasi penjajahan Israel atas Palestina. Museum itu juga makin tidak diperlukan Indonesia bila museum itu menjadi jurus halus manuver untuk memuluskan politik normalisasi hubungan diplomatik dengan israel, karena terbukti dengan normalisasi justru penjajahan Israel terhadap Palestina bukan berhenti, malah terus berkelanjutan.(AK/R1/P2)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.