Oleh:Rifa Berliana Arifin, Kepala Redaksi Bahasa Arab MINA
Kekuasaan dalam definisi akademis adalah bagaimana menggunakan dan mendistribusikan kekuatan di ruang publik. ‘distribution and exercise of power in public sphere”.
Berangkat dari definisi itu setidaknya kita bisa memahami apa yang terjadi di Sudan saat ini, karena yang terjadi sebenarnya adalah perebutan kekuasaan klasik pasca-revolusi.
Untuk menganalisis dan memahami fenomena politik secara ilmiah, kita harus melihat hubungan kekuasaan antar aktor politik. Maka dalam konteks Sudan ini kita perlu terlebih dahulu memahami kronologi peristiwa.
Baca Juga: Tentara Israel Cemas Jumlah Kematian Prajurit Brigade Golani Terus Meningkat
Pada Desember 2018, rakyat Sudan menggaungkan “Revolusi Sudan”, memprotes pemerintahan diktator Omar al-Bashir yang telah berkuasa sejak tahun 1989.
Melihat situasi al-Bashir yang semakin memburuk, tentara yang menjadi tulang punggung rezim Al-Bashir menggulingkan tuannya sendiri pada April 2019, demi melindungi diri. Al-Bashir dipenjara. Tentara di bawah pimpinan Abdel Fattah al-Burhan mendirikan junta (pemerintahan militer).
Pada awalnya rakyat bersorak al-Bashir digulingkan, tetapi pada saat yang sama pula rakyat Sudan juga menginginkan demokrasi, bukan pemerintahan junta militer.
Kemudian protes berlanjut. Militer bersikap kasar kepada para pengunjuk rasa, hingga terjadi pembantaian di Khartoum ibu kota Sudan pada 3 Juni 2019 yang mengejutkan dunia internasional.
Baca Juga: Anakku Harap Roket Datang Membawanya ke Bulan, tapi Roket Justru Mencabiknya
Atas desakan dan tekanan internasional, pihak militer Sudan (dengan nama Transitional Military Council/TMC) sepakat untuk berbagi kekuasaan dengan kelompok pro-demokrasi (Forces of Freedom and Change/FFC) untuk membentuk pemerintahan transisi bersama hingga tahun 2022.
Selama masa transisi ini pemerintah TMC-FFC akan menyusun konstitusi baru dan seterusnya. Setelah masa transisi berakhir, pemilihan umum akan digelar dan tentara berjanji akan menyerahkan kembali kekuasaan kepada rakyat.
FFC memandatkan pemerintahan Sudan kepada Abdalla Hamdok sebagai Perdana Menteri, seorang teknokrat yang tidak berlatar belakang militer. Tapi al-Burhan (tentara) tetap menjadi kepala negara.
Masa transisi yang panjang (39 bulan) karena negara tersebut dikatakan telah rusak di bawah pemerintahan al-Bashir. Perlu waktu untuk memperbaikinya.
Baca Juga: Tim Medis MER-C Banyak Tangani Korban Genosida di RS Al-Shifa Gaza
Pemerintah Hamdok ingin mengusut semua kesalahan rezim al-Bashir, menyita aset sana-sini. Bahkan perusahaan-perusahaan multinasional dari Turki, Qatar, Malaysia termasuk Petronas Malaysia dicetas keluar Sudan karena lahir di era al-Bashir.
Jadi kudeta kali ini mungkin karena (1) pro-demokrasi bergegas melakukan reformasi di sana-sini, sampai menyentuh kepentingan militer lama (seperti Mesir era Mursi), atau (2) itu adalah taktik militer. untuk menunda penyerahan kekuasaan, seperti di Myanmar.
Kedekatan Israel-Sudan
Pada Februari 2020, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bertemu dengan Ketua Dewan Kedaulatan Sudan Abdel Fattah al-Burhan di Uganda. Ini adalah pertemuan pertama yang dilaporkan secara publik antara kedua pemimpin negara. Tak lama setelah itu, penerbangan komersial ke atau dari Israel diizinkan untuk pertama kalinya terbang di atas Sudan.
Baca Juga: Laba Perusahaan Senjata Israel Melonjak di Masa Perang Gaza dan Lebanon
Setelah Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) menormalisasi hubungan dalam Abraham Accords pada Agustus 2020, juru bicara Kementerian Luar Negeri Sudan, Haider Badawi Saddiq, juga mengonfirmasi bahwa pembicaraan normalisasi antara Israel dan Sudan sedang berlangsung. Saddiq menyatakan bahwa Sudan “menantikan untuk menyimpulkan perjanjian damai dengan Israel” dan bahwa “tidak ada alasan untuk melanjutkan permusuhan antara Sudan dan Israel”.
Posisi Sudan di Laut Merah secara strategis penting bagi Israel karena Sudan mengendalikan rute maritim ke pelabuhan Eilat dan merupakan simpul kunci dalam jaringan transportasi senjata ke Gaza dan Sinai. Di samping itu hubungan baik dan kerja sama keamanan yang erat antara Israel dengan Khartoum dapat secara signifikan mengacaukan hubungan antara Iran dan organisasi militan di Gaza.
Dalam jangka panjang, perusahaan Israel mungkin juga menemukan prospek ekonomi di Sudan. Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD), yang saat ini sedang diisi oleh Ethiopia, juga memberikan peluang bagi proyek-proyek pembangunan besar di Sudan. Berdasarkan proyeksi optimis, GERD akan meningkatkan pengaturan air di Sungai Nil dan menyediakan listrik untuk negara tetangga, memperluas kapasitas pertanian dan industri Sudan. Perusahaan-perusahaan teknologi, air, dan pertanian Israel mungkin menganggap proyek ini menarik.
Negara-negara Afrika berharap bahwa hubungan baik dengan Israel akan memungkinkan mereka untuk memetik manfaat dari pengetahuan Israel, terutama dalam sektor keamanan, teknologi, dan pertanian. Israel, pada bagiannya, menginginkan hubungan baik dengan Afrika untuk memperluas pengaruh diplomatiknya, menembus pasar non-tradisional, dan meredam dukungan tradisional Afrika untuk perjuangan Palestina.
Baca Juga: Jumlah Syahid di Jalur Gaza Capai 44.056 Jiwa, 104.268 Luka
Israel mungkin mencoba untuk menampilkan dirinya sebagai penyelamat bagi Afrika, tetapi tidak peduli seberapa kuat ekonomi Israel secara komparatif, Tel Aviv tidak akan memiliki kunci untuk menyelesaikan kesengsaraan benua Afrika.(A/RA-1/P1)
Miraj News Agency (MINA)
Baca Juga: Hamas Sambut Baik Surat Perintah Penangkapan ICC untuk Netanyahu dan Gallant