Sudan, Negara Pendukung Palestina Dilanda Krisis Berkepanjangan

Setelah hampir dua minggu konflik di Sudan yang melibatkan tentara Sudan dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah Al Burhan dengan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang dikomandoi oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo terkonsentrasi di dua kota besar, Khartoum dan Darfur.

Oleh: Rifa Berliana Arifin, Kepala Redaksi Bahasa Arab MINA

Setelah hampir dua pekan konflik di Sudan yang melibatkan tentara Sudan dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah Al Burhan dengan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang dikomandoi oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo terkonsentrasi di dua kota besar, Khartoum dan Darfur.

Akibatnya saat ini, menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) jumlah korban dari konflik telah mencapai hampir 600 orang, termasuk lebih dari 4.000 orang terluka di antaranya adalah warga sipil. Saat ini ribuan orang Sudan termasuk orang asing telah meninggalkan Sudan dan upaya sedang dilakukan oleh pasukan dari berbagai negara untuk menyelamatkan warga sipil dan orang asing yang masih terjebak dalam peperangan.

Menurut data Kementerian Luar Negeri RI, Sudah 930 orang dievakuasi via Jeddah, 13 orang dari Mesir, dan 6 orang dievakuasi dari Uni Emirat Arab. Sedangkan, total WNI yang telah dipulangkan ke Indonesia berjumlah 829, semuanya dari Jeddah mereka dan pekerja migran.

Sebelum konflik terbaru ini terjadi, kondisi Sudan sedang berada di ambang transisi dari kekuasaan militer ke administrasi publik. Namun tiba-tiba terjadi pertempuran sengit antara militer dan RSF yang akhirnya menggerogoti rencana transisi kekuasaan sehingga tidak berjalan dengan mulus.

Baca Juga:  [BEDAH BERITA MINA] Israel Serang Rafah Di Tengah Kecaman Dunia

Kronologi singkat konflik terbaru Sudan

Pada April 2019, tentara Sudan dan RSF mengambil alih pemerintahan Sudan menyusul kudeta terhadap Presiden Sudan Omar Al Bashir yang telah berkuasa selama tiga dekade. Selanjutnya, tentara Sudan dan RSF mendirikan Dewan Transisi Kekuatan Militer untuk memerintah Sudan, tetapi mendapat tentangan kuat dari rakyat Sudan.

Warga Sudan bangkit melawan kekuasaan militer dengan melakukan protes nasional terutama di dua kota Khartoum dan Darfur. Penentangan terhadap pemerintahan militer mencapai puncaknya ketika Pembantaian Khartoum terjadi pada Juni 2019 di mana RSF menyerang orang-orang Sudan yang melakukan protes di Khartoum yang mengakibatkan lebih dari seratus orang terbunuh dengan ratusan lainnya terluka dan ditangkap.

Akibat desakan masyarakat internasional untuk dimediasi oleh Ethopia, akhirnya pada Juni 2019 tentara Sudan dan RSF sepakat untuk membentuk pemerintahan sementara bersama militer dan warga sipil dengan menunjuk Abdalla Hamdok sebagai Perdana Menteri Sementara dalam persiapan penyelenggaraan pemilihan umum pada 2023 dalam upaya mewujudkan administrasi publik penuh.

Tetapi pada Oktober 2021, tentara Sudan dan RSF melakukan kudeta lain yang menggulingkan pemerintah sementara dan membentuk Dewan Pemerintahan Militer yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah Al Burhan. Setelah itu beberapa konsultasi telah terjadi dimediasi oleh negara-negara dari Uni Afrika, PBB dan bahkan beberapa negara lain untuk mengembalikan kekuasaan sipil.

Baca Juga:  Israel Serang Rafah Meski AS Ancam Setop Kirim Senjata

Akhirnya pada akhir tahun 2021, tentara Sudan dan RSF menandatangani perjanjian kerangka kerja transisi kekuasaan dua tahun dengan partai-partai politik di Sudan di mana pada akhir masa transisi kekuasaan akan ada pemilihan umum yang akan memastikan Perdana Menteri baru akan ditunjuk untuk memerintah pemerintahan sipil.

Namun, pada awal April ada perselisihan antara tentara Sudan dan RSF yang melibatkan integrasi RSF ke dalam tentara Sudan yang pada gilirannya menyebabkan pecahnya pertempuran terbaru pada saat ini.

Pentingnya Sudan bagi Dunia Islam

Sudan adalah negara yang sangat penting bagi Dunia Islam karena beberapa faktor:

Pertama, posisi geografisnya sangat strategis di perairan Laut Merah yang merupakan jalur perdagangan dari Terusan Suez ke Samudera Hindia. Bahkan pada masa pemerintahan Khilafah Ottoman, Sudan menjadi salah satu pangkalan armada angkatan laut Ottoman untuk menjaga keamanan jalur perdagangan Dunia Islam dan keamanan dari ancaman Kristen Eropa.

Kedua, Hasil bumi yang kaya. Dalam hal pertanian, Sudan dianggap sebagai ‘kantung ’ jika dikelola dengan bijak karena kesuburan tanah di Delta Nil mampu menampung sumber makanan ke seluruh dunia, terutama negara-negara Dunia Islam. Selain itu, bumi kaya akan sumber daya alam seperti emas dan titik nadir bumi, yang berada di peringkat di antara negara-negara terbesar di Afrika dengan mineral emas.

Baca Juga:  Wanita Al-Irsyad Serukan Boikot Produk-Produk Israel

Ketiga, Dasar untuk membantu perjuangan . Selama tiga dekade di bawah Presiden Omar Al Bashir, Sudan menjadi negara yang sangat signifikan karena memberikan dukungan yang tak tergoyahkan bagi perjuangan pembebasan Palestina. Karena itu, ia diblokir oleh Barat karena berbagai alasan untuk menjaga keamanan , satu persatu negara penyokong pembelaan Palestina terjatuhkan dan dilanda krisis ekonomi dan keamanan berkepanjangan.

Dari ketiga faktor di atas; banyak fihak termasuk Barat khawatir Sudan kembali ke tangan kaum islamis yang dipilih oleh rakyat sehingga kepentingan mereka bisa terganggu.

Bersama-sama kita berdoa agar situasi kembali tenang di Sudan dan semua pihak yang berjuang kembali ke meja perundingan untuk melanjutkan proses transisi kekuasaan secara damai. Jika perdamaian berhasil dipulihkan, Timur Tengah akan kembali ke perdamaian dan kemakmuran akan dapat mengarah pada pembebasan Palestina. (A/RA-1/P2)

Miraj News Agency (MINA)

Wartawan: Rifa Arifin

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.