Jakarta, MINA – Laporan hasil survei berjudul “Dampak Sosial dan Ekonomi Pandemi COVID-19 terhadap Rumah Tangga di Indonesia”, mengungkapkan, masih terdapat kerentanan ketenagakerjaan, pekerjaan, pendapatan, kemampuan bertahan menghadapi guncangan, jangkauan perlindungan sosial, dan akses terhadap layanan kesehatan serta imunisasi.
“Anak-anak terdampak pandemi secara tidak proporsional, di mana 70 persen rumah tangga dengan anak mengalami hambatan berkepanjangan dalam mengakses layanan kesehatan dan pendidikan,” kata Robert Gass Perwakilan UNICEF Indonesia (Ad Interim) dalam Webinar peluncuran laporan IVR Report UNICEF pada Jumat (10/12).
Selain itu, kata Robert, terdapat 45 persen rumah tangga dengan anak kesulitan dalam memenuhi makanan bergizi cukup untuk anak-anak mereka.
Laporan itu mencatat, dari 2.400 rumah tangga peserta survei yang tersebar di 34 provinsi, 1 dari 2 di antaranya masih melaporkan adanya penurunan pendapatan di Bulan Januari 2021. Hal ini menunjukkan masih banyaknya rumah tangga yang belum mampu sepenuhnya beradaptasi dengan situasi “kenormalan baru”, sebagai akibat dari perubahan sosial dan ekonomi selama pandemi.
Baca Juga: Hadiri Indonesia-Brazil Business Forum, Prabowo Bahas Kerjasama Ekonomi
Survei yang diinisiasi oleh UNICEF bekerja sama dengan UNDP, Kemitraan Australia Indonesia untuk Pembangunan Ekonomi (PROSPERA) dan the SMERU Research Institute, melakukan survei dengan wawancara menggunakan teknologi IVR (Interactive Voice Response) untuk meminimalkan risiko penyebaran COVID-19.
Asep Suryahadi, Peneliti Utama SMERU Research Institute mengatakan, temuan utama dari studi ini adalah masih terjadi fluktuasi pendapatan, dimana dialami oleh 80 persen rumah tangga yang terus mengalami penurunan pendapatan dan disisi lain terjadi peningkatan pengeluaran, terutama untuk bahan makanan.
“Sekitar 45 persen rumah tangga yang memiliki anak terpaksa mengurangi porsi makan karena tidak mampu menyediakan pangan bergizi. Ini juga menyebabkan anak- anak balita terancam risiko stunting, wasting, dan gizi buruk,” kata Asep.
Asep melanjutkan, setidaknya satu anggota keluarga dari dua rumah tangga kehilangan pekerjaannya dan mereka tidak mendapatkan perlindungan sosial yang memadai. Akibatnya, pendidikan bagi anak menjadi sebuah tantangan dan terjadi gangguan kesehatan karena sulitnya akses ke fasilitas kesehatan.
Baca Juga: Rupiah Berpotensi Melemah Efek Konflik di Timur Tengah
Terdapat enam poin kebijakan yang diusulkan bagi para pembuat kebijakan yang relevan dengan situasi dan hasil temuan survei. Pertama, bantuan sosial harus terus dilanjutkan dengan mengutamakan keluarga dengan anak. Kedua, memadukan bantuan tunai dengan pemenuhan kebutuhan akses kesehatan dan pangan, sehingga pemenuhan gizi tercukupi dan terjadi peningkatan dalam kesehatan.
Ketiga, kata Asep, mendorong perlindungan bagi pekerja dengan cara subsidi upah langsung, pelatihan, dan lainnya sehingga mengurangi angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
Selanjutnya, kebijakan untuk pembelajaran anak juga ikut ditekankan, dengan pemberian bantuan pendukung program belajar kepada sekolah-sekolah agar mereka dapat dibuka kembali secara bertahap dan aman.
“Poin kelima yaitu dengan memperluas akses ke layanan kesehatan utama bagi anak untuk vaksin dan perawatan medis.Terakhir, memperluas layanan kesehatan mental, baik bagi orang dewasa maupun anak-anak, yang dapat dijangkau walaupun masih berlangsungnya pembatasan sosial,” ujarnya. (L/R6/RS2)
Baca Juga: Komite Perlindungan Jurnalis Kutuk Israel atas Tebunuhnya Tiga Wartawan di Lebanon
Mi’raj News Agency (MINA)