Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tafsir Al-Maidah 51 dari Ketua PP Muhammadiyah

habibi - Sabtu, 12 November 2016 - 07:39 WIB

Sabtu, 12 November 2016 - 07:39 WIB

787 Views ㅤ

Jakarta, 11 Safar 1438/11 November 2016 (MINA) – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Yunahar Ilyas dalam pengajian bulanan yang diadakan di Gedung Pusat Muhammadiyah Jakarta yang bertema “Penistaan Agama: Perspektif Tafsir dan Hukum”, memaparkan isi kandungan dari surat Al-Maidah ayat 51 yang belakangan ini menjadi perbincangan di kalangan masyarakat Indonesia.

Menurutnya untuk menafsirkan atau menjelaskan kandungan suatu ayat perlu melakukan cara Munasabah Al-Qur’an atau mengaitkan satu ayat dengan ayat-ayat lainnya yang berhubungan. Dalam menafsir Al-Maidah ayat 51 juga ada ayat-ayat yang berkaitan.

“Al-Maidah ayat 51 harus kita kaitkan juga dengan An-Nisa 144 dan kembali ke Al-Maidah 55, kita mencoba untuk menafsirkan,” ujar Yunahar di depan jamaah Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah di Jakarta. Jumat (11/11) malam. Mi’raj Islamic News Agency (MINA) melaporkan.

Ia mengawali penjelasan dengan kata ‘awliya’ dalam surat Al-Ma’idah ayat 51, yang memang banyak memiliki arti, bisa berarti teman setia, bisa berarti penolong bisa berarti pelindung, juga bisa berarti pemimpin, bisa juga diartikan sebagai kekasih. “Tergantung tempatnya di mana dan konteksnya bagaimana.”

Baca Juga: Sertifikasi Halal untuk Lindungi UMK dari Persaingan dengan Produk Luar

Menurut Yunahar, ketika Amirul Mukminin (khalifah) Umar bin Al-Khathab memanggil Gubernur Abu Musa Al-Asy’ari untuk melaporkan pemasukan dan pengeluaran dalam suatu catatan lengkap -kemudian dia menerima hasil laporan yang ditulis oleh sekretarisnya  – lalu Umar bin Al-Khathab yang merasa kagum atas laporan tersebut meminta Abu Musa untuk menghadapkan sekretaris itu kepadanya di masjid.

Namun Abu Musa Al-Asy’ari menolak permintaan Umar Bin Khattab, dan  mengatakan ia tidak bisa masuk ke dalam masjid. Lalu Umar Bin Khattab bertanya, “apakah dia sedang junub?” Dan Abu Musa Al-Asy’ari menjawab “tidak, dia adalah seorang nasrani.” Kemudian, Yunahar Ilyan melanjutkan kisahnya, Umar Bin Khattab memukul paha Abu Musa Al-Asy’ari dan dinilainya telah melanggar surat Al-Maidah ayat 51.

“Jadi untuk akuntan saja Umar Bin Khattab tidak membolehkan apalagi jadi gubernur, apalagi jadi presiden (pemimpin), apa yang ada di televisi lebih pintar dari pada Umar Bin Khattab?” kata Yunahar yang juga Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.

Dia kemudian menceritakan tentang kisah asbabul nuzul lainnya terkait Al-Maidah ayat 51, kisah perang Uhud, yang pada awalnya  akan kalah namun kemudian menang. Di saat mendekati kekalahan itu terdapat dua orang muslim: satunya mengatakan akan pergi kepada Yahudi untuk berlindung, dan satunya lagi ingin pergi ke Suriah ke seorang nasrani untuk berlindung juga.

Baca Juga: Menko Budi Gunawan: Pemain Judol di Indonesia 8,8 Juta Orang, Mayoritas Ekonomi Bawah

Kemudian ucapan kedua orang ini dijawab oleh Allah subhanahu wataala dengan surat Al-Maidah ayat 51. “Jadi belum menjadikan Yahudi dan nasrani seorang pemimpin, tapi untuk tempat berlindung saja sudah dilarang, ” kata Yunahar mengutip Al-Maidah ayat 51. “Lalu ada yang mengartikan teman setia, lebih berat konsekuensinya, jangankan mengangkat jadi pemimpin, jadi teman saja tidak boleh, jadi tim sukses pasti tidak boleh,” kata Yunahar, pengajar tafsir di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Menurut dia,  untuk memahami Al-Quran dan bahasa Arab itu perlu mempelajarinya secara penuh, karena setiap kalimat dalam Al-Quran ada yang tidak bisa diartikan begitu saja. “Jadi orang yang tidak bisa bahasa Arab hanya tau terjemahan tidak bisa mengerti apa maksud dari awliya, maka belajarlah bahasa Arab dulu.”

Terkait mengangkat seseorang pemimpin selain dari orang Yahudi dan nasrani yang masih berkaitan dengan surat Al-Maidah ayat 51, yakni surat An-Nisa ayat 144 yang artinya “hai orang-orang beriman, jangan kalian mengangkat orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang beriman. ” ujarnya.

An-Nisa ayat 144 juga berisi ancaman keras jika mengangkat orang kafir menjadi pemimpin. “Apakah kalian ingin jika kalian mengangkat orang kafir menjadi pemimpin kalian memberikan kepada Allah alasan yang kuat untuk mengazab kalian,” katanya.

Baca Juga: Hingga November 2024, Angka PHK di Jakarta Tembus 14.501 orang.

Kemudian Allah Subhanahuwataala memberikan petunjuk mengenai hirerarki kepemimpinan dalam surat Al-Maidah ayat 51 yang berarti, ‘sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman, yang melaksanakan shalat, menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah).’

Dalam Surat Al-Maidah ayat 52 dijelaskan, jika ada umat muslim yang setia kepada orang-orang kafir karena ia khawatir jika tidak didukung dia yang rugi – jika orang kafir itu tidak menang dan ia yang merasa rugi – Allah mengatakan orang-orang ini adalah orang yang munafik.

“Jadi seorang pemimpin haruslah beriman, menunaikan shalat, dan membayarkan zakat, kenapa zakat? karena orang yang membayar zakat adalah orang yang bersih hatinya dari penyakit hati yang berhubungan dengan harta yang paling menonjol adalah tamak, serakah. Kalau dia sudah tamak, jadi pemimpin pikiranya hanya korupsi,” katanya. (L/M09/R01)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Menag: Guru Adalah Obor Penyinar Kegelapan

 

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Tausiyah
Indonesia