Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

TELADAN IMAM HANAFI

Admin - Senin, 15 Juli 2013 - 15:47 WIB

Senin, 15 Juli 2013 - 15:47 WIB

1420 Views ㅤ

Oleh Bahron Ansori

Menurut riwayat, ayah Imam Hanafi [Tsabit] dikala masih kecil pernah diajak orang tuanya berziarah kepada Ali bin Abi Thalib ra. Waktu itu Ali berkenan menerima tamunya dan sebelum kembali ke rumah, Ali berdoa, “Mudah-mudahan dari antara keturunan Tsabit ada yang menjadi orang yang tergolong baik-baik dan berderajad luhur.”

Imam Hanafi adalah seorang yang kuat jiwanya, selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan beribadat dan beraklaq karimah. Imam Ibrahim bin Ikrimah berkata pernah berkata tentang Imam Hanafi, “Di masa hidupku, belum pernah aku melihat seorang alim yang amat benci kemewahan hidup dan lebih banyak ibadahnya kepada Allah dan yang lebih pandai tentang urusan agama, selain Imam Abu Hanifah.”

Abu Hanifah terkenal berani dalam menegakan kebenaran yang telah diyakini. Berani dalam pengertian yang sebenarnya, berani yang berdasarkan bimbingan wahyu Ilahi. Ia tak cinta terhadap kemewahan hidup, maka tak sedikitpun hatinya khawatir menderita sengsara.

Baca Juga: Nelson Mandela, Pejuang Kemanusiaan dan Pembela Palestina

Dia berani menolak kedudukan yang diberikan oleh kepala negara; berani menolak pangkat yang ditawarkan oleh pihak penguasa waktu itu dan tidak sagggup menerima hadiah dari pemerintah berupa apapun. Karena ia ditangkap dan di penjara, dipukul, didera dan dianiaya menyebabkan kematiannya.

Suatu hari Gubernur Iraq Yazid bin Amr menawarkan jabatan Qadli kepada Imam Hanafi, tetapi ia menolaknya. Tentu saja sang Gubernur tersingggung dan kurang senang. Perasaan kurang senang itu menumbuhkan rasa curiga. Oleh sebab itu, segala gerak-gerik Imam Hanafi diamati.

Akibatnya, Abu Hanifah diberi ancaman hukum cambuk atau penjara jika masih juga menolak tawaran itu. Sewaktu mendengar ancaman tersebut, ia menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan menduduki jabatan itu, sekalipun aku sampai dibunuh karenanya.”

Sejumlah ulama besar negeri Iraq mengkhawatirkan nasib Imam Abu Hanifah. Mereka datang berduyun-duyuun ke rumahnya untuk menyampaikan harapan supaya dia menerima jabatan itu.

Baca Juga: Kisah Muchdir, Rela tak Kuliah Demi Merintis Kampung Muhajirun

Imam Hanafi tetap teguh, tak bergeming sedikitpun dari kebenaran pendirianya. Akibatnya ia ditangkap dan dipenjarakan oleh polisi negara selama dua Jum’at. Gubernur memerintahkan agar Imam Abu Hanifah setiap hari dicambuk sebanyak 10 kali.

Ketika Imam Hanafi keluar penjara, tampak kelihatan di wajahnya bengkak-bengkak bekas cambukan. Hukuman itu disambut dengan penuh kesabaran serta dengan suara bersemangat ia berkata, “Hukuman dunia dengan cemeti masih lebih baik dan lebih ringan bagiku daripada cemeti di akherat nanti.”

Demikian hal ihwal Imam Abu Hanifah tatkala menghadapi ujian berat pada pertama kali. Padahal ia sudah berusia agak lanjut, kurang lebih 50 tahun. Imam Abu Hanifah di usia itu sempat menyaksikan peralihan kekuasaan negara, dari tangan bani Umayyah ke tangan bani Abbasiyyah sebagai kepala negara pertama adalah Abu Abbas as Saffah. Sesudah itu kepala negara digantikan oleh Abu Ja’far al Manshur, saudara muda dari Khalifah sendiri. Wallahua’lam.(R2/R1).

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Bashar Assad Akhir Rezim Suriah yang Berkuasa Separuh Abad

 

Rekomendasi untuk Anda

Sosok
Indonesia
MINA Preneur
Kolom