Oleh: Isra Saleh El-Namey, jurnalis Gaza
Waktu berlalu dengan lambat bagi Nadira Al-Imam.
Putranya, Moataz Abu Eid (21), ditahan oleh pasukan Israel saat protes Great Return of March pada akhir April 2018. Dia telah berada di penjara Israel sejak itu dan tidak ada yang bisa mengunjunginya.
Baca Juga: Jajak Pendapat: Mayoritas Warga Penjajah Israel Ingin Akhiri Perang
Moataz telah meninggalkan ruang hampa bagi ibunya.
“Dia adalah putra saya satu-satunya, dia sangat berarti bagi saya,” kata Nadira (46). Ketiga putrinya sudah dewasa dan menikah, tinggal jauh darinya.
Sementara itu, dia hanya punya pertanyaan.
“Mengapa mereka membawanya pergi? Dia memprotes dengan damai. Mengapa mereka menghalangi saya untuk mengunjunginya?”
Baca Juga: Front Demokrasi Serukan Persatuan di Tepi Barat Palestina
Nadira, seorang janda, kini ia hidup sendirian. Moataz adalah satu-satunya anak yang masih di rumah.
“Saya bekerja berjam-jam setiap hari demi menyiapkan makanan untuk keluarga,” kata Nadira. Dia disewa oleh badan amal untuk memasak bagi orang lain, tetapi harus bekerja ekstra tanpa putranya yang biasa membantunya.
“Jika putra saya bersama saya, saya tidak harus bekerja terlalu banyak,” tambahnya.
Nadira menderita hipertensi. Dia butuh istirahat dan bantuan dari anak-anaknya.
Baca Juga: Abu Ubaidah: Tentara Penjajah Sengaja Bombardir Lokasi Sandera di Gaza
Namun dia tetap bangga kepada putranya. Moataz menyelesaikan ujian lulusan sekolahnya – tawjihi – di dalam penjara dan telah memulai kursus pendidikan tinggi dalam layanan sosial.
Untuk saat ini, yang diinginkan Nadira hanyalah kunjungan.
“Saya ingin mengunjunginya, bahkan jika hanya dari balik kaca dan dinding,” katanya kepada The Electronic Intifada. “Saya ingin memastikan dia baik-baik saja. Saya memikirkannya sepanjang waktu, bagaimana ia menghabiskan waktu berjam-jam tanpa kami dan teman-teman serta kerabatnya.”
Baca Juga: Al-Qasam Rilis Video Animasi ”Netanyahu Gali Kubur untuk Sandera”
Kasus luar biasa
Moataz ditahan bersama dua orang lainnya di daerah perbatasan timur di luar Khan Younis, di Jalur Gaza selatan. Moataz, Salim Abu Daher dan Ahmad Amawi akhirnya dituduh mencoba menerbangkan layang-layang yang melintasi perbatasan dari Gaza.
Ketiganya, yang semua keluarganya menolak tuduhan palsu itu, pada awalnya dijatuhi hukuman 10 tahun penjara oleh pengadilan militer sebelum hukuman diturunkan menjadi lima tahun.
Mereka bergabung bersama hampir 300 warga Palestina dari Gaza yang sekarang dipenjarakan Israel. Mereka merupakan satu-satunya yang ditangkap saat berpartisipasi dalam protes Great Return of March, perjuangan sipil Palestina di perbatasan Gaza yang menuntuk hak mereka kembali ke Tanah Air yang dirampas Israel.
Baca Juga: Tentara Cadangan Israel Mengaku Lakukan Kejahatan Perang di Gaza
Respons militer Israel terhadap demonstrasi ini begitu brutal. Lebih dari 200 orang demonstran telah terbunuh dan hampir 30.000 orang terluka.
Pada akhir Februari 2020, menurut kelompok hak tahanan Addameer, Israel menahan total 5.000 tahanan Palestina.
Jawaher Abu Daher (21) juga menjelaskan keadaan sekitar penahanan kakaknya, Salim (23) yang bersama dengan Moataz.
“Kakak lelaki saya yang paling bergairah tentang Great Return of March dan segala hal tentangnya. Dia, Moataz dan Ahmad adalah peserta yang antusias. Mereka juga menganggur dan melihat pawai sebagai cara untuk mencoba mengakhiri blokade dan mengurangi kemiskinan di Gaza,” kata Jawaher.
Baca Juga: Jihad Islam Kecam Otoritas Palestina yang Menangkap Para Pejuang di Tepi Barat
Ketiga lelaki itu berpartisipasi beberapa kali dalam protes, tetapi pada hari Jumat itu tidak satu pun dari mereka yang pulang. Keluarga mereka sangat khawatir.
“Kami mendengar dalam berita bahwa ada bentrokan dan asap mengepul dari daerah itu,” kenang Jawaher. “Baru pada hari berikutnya kami mendengar di media Israel bahwa tentara telah menangkap tiga pemuda yang diklaim bahwa mereka berusaha mendekati pagar.”
Salim adalah yang tertua di keluarganya. Dia memiliki delapan saudara perempuan dan satu adik laki-laki.
Penahanannya menyebabkan penderitaan besar bagi keluarga. Kesehatan ibunya memburuk setelah ia ditangkap. Ibunya perlu dua bulan untuk menerima berita itu.
Baca Juga: Israel Larang Renovasi Masjid Al-Aqsa oleh Wakaf Islam
Amal Abu Eid, istri Salim, hamil lima bulan ketika suaminya ditahan.
“Penahanannya mengejutkan kami. Kami sedang menunggu bayi kami dilahirkan untuk meringankan hidup kami, tetapi saya tidak tahu bahwa ayahnya tidak akan berada di sini untuk melihat hari itu,” kata Amal.
Ahmad Amawi senasib seperti Moataz
Baca Juga: Israel kembali Serang RS Kamal Adwan, Sejumlah Fasilitas Hancur
Sekarang Amal berdoa untuk pembebasan Salim agar dia bisa bergabung kembali bersama keluarga.
Untuk saat ini, Amal terpaksa membesarkan bayinya yang berusia 1 tahun bernama Younis sendirian.
Berbeda dengan keluarga lain, Amal dan Younis telah berhasil mengunjungi Salim, walaupun hanya dua kali.
Setelah melahirkan bayinya, Amal pergi ke Komite Internasional untuk Palang Merah di Gaza. Ia meminta izin untuk mengunjungi suaminya bersama putranya yang baru lahir. Digolongkan sebagai kasus kemanusiaan, mereka diberikan izin untuk mengunjungi Penjara Ramon, tempat Salim ditahan.
Baca Juga: RSF: Israel Bunuh Sepertiga Jurnalis selama 2024
“Younis berusia enam bulan dan perjalanan itu sangat melelahkan bagi kami,” kenang Amal. “Saya terkejut melihat betapa Salim telah berubah, dia tampak sangat lelah dan sedih. Kami semua menangis. Dia gemetaran ketika dia menggendong putranya untuk pertama kalinya. Dia banyak memeluknya dan tidak ingin meninggalkannya sama sekali.”
Kunjungan berlangsung hanya 40 menit setelah sekitar tujuh jam perjalanan dan inspeksi. Dua bulan kemudian, Amal dan bayinya diizinkan berkunjung lagi yang juga berlangsung kurang dari satu jam.
Namun sejak itu, tidak ada yang terjadi.
“Dalam enam bulan terakhir, saya telah mengajukan empat permintaan, tetapi setiap aplikasi telah ditolak tanpa penjelasan,” kata Amal.
Baca Juga: Al-Qassam Sita Tiga Drone Israel
Keluarga Ahmad Amawi, seperti Moataz Abu Eid, tidak diizinkan untuk berkunjung. Dia dan istrinya Yasmin telah menikah dua tahun ketika dia ditangkap, tetapi tidak memiliki anak.
“Saya merindukan suamiku, saya bermimpi melihatnya lagi,” kata Yasmin. “Saya tidak diizinkan mengunjunginya dan ini sangat menyusahkan. Saya ingin memulai keluarga sama seperti pasangan yang lain.” (AT/RI-1/P1)
Sumber: The Electronic Intifada
Mi’raj News Agency (MINA)