Tiga Rekomendasi Perlindungan Anak dari Rokok di Dunia Pendidikan

Komisi Nasional (Komnas PT) bersama kelompok peduli pengendalian tembakau lainnya mendorong Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) untuk bersungguh-sungguh dalam melindungi anak-anak dari target .

Walaupun dampak negatif konsumsi rokok sedemikian berbahayanya, jumlah perokok anak di Indonesia saat ini semakin tinggi; 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018, jauh di atas target penurunan prevalensi perokok anak sebesar 5,4% seperti yang dicanangkan di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebelumnya.

Tingginya prevalensi perokok di Indonesia, terutama perokok anak, tidak lepas dari berbagai intervensi industri rokok di berbagai aspek termasuk di dunia pendidikan.

Sementara berbagai studi telah membuktikan bahwa industri rokok menargetkan anak-anak dalam pemasarannya.

Melalui pernyataan bersama yang disampaikan, Sabtu (1/8), sejumlah organisasi pendukung upaya pengendalian tembakau di Indonesia itu memberikan tiga rekomendasi kepada pemerintah dalam hal ini Kemendikbud RI.

“Pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud RI, diharapkan bersungguh-sungguh dalam melindungi anak-anak dari target industri rokok,” tegas Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany dalam keterangan persnya, Sabtu (1/8).

Menurutnya, terjaminnya perlindungan dari sisi kesehatan terhadap pelajar dan pelaku pendidikan di Indonesia adalah salah satu hal yang mutlak dalam mewujudkan SDM Unggul.

“Kesehatan adalah modal utama dalam pembangunan manusia berkualitas, baik mental maupun fisik, dan tidak ada satu pun yang dapat menggugatnya, yang telah terbukti selama masa pandemi COVID-19 di seluruh dunia,” ujarnya.

Masyarakat Indonesia peduli pengendalian tembakau dan peningkatan kualitas manusia Indonesia yang diwakili oleh Komnas Pengendalian Tembakau, Yayasan Lentera Anak, Yayasan Pusaka Indonesia, Forum Warga Kota Jakarta, Yayasan Kepedulian untuk Anak (KAKAK), dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia.

Selain itu, juga diwakili oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Smoke Free Agents, No-Tobacco Center, Alianis PTM Indonesia, Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia, CHED ITB Ahmad Dahlan, Muhammadiyah Tobacco Control Center Magelang, Ikatan Pemuda Muhammadiyah, Muhammadiyah Steps UMY, Indonesia Institute for Social Development, 9cm,  dan Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau.

Ketiga rekomendasi tersebut yakni, pertama, Kemendikbud didesak menutup setiap peluang yang memberi kesempatan kepada industri rokok untuk melakukan intervensi terhadap kebijakan, termasuk dengan tidak menempatkan industri rokok sebagai pemangku kepentingan dalam pengambilan kebijakan, dan menghentikan dukungan terbuka kepada kegiatan-kegiatan CSR-washing industri rokok.

Bersama-sama dengan industri pornografi, judi, minuman keras, dan beberapa yang lain, industri rokok dinyatakan mustahil menjadi industri yang bertanggung jawab sosial lantaran perusahaan tidak akan sanggup bertanggung jawab atas dampak konsumsi produknya.

Bukan saja merusak kesehatan, melainkan juga membunuh konsumennya, dan pada akhirnya menurunkan kualitas sumber daya manusia secara keseluruhan. Dampak produksi dan konsumsi rokok yang lain, bila diperhitungkan dengan benar, semakin membuat industri rokok mustahil dinyatakan bertanggung jawab sosial.

Oleh karena itu, lanjut Habullah, berbagai kegiatan sosial yang dilakukan oleh industri rokok, baik yang dilakukan oleh perusahaan secara langsung maupun organisasi yang terafiliasi dengan perusahaan, dinyatakan oleh para pakar sebagai CSR-washing.

Dengan CSR-washing, perusahaan rokok berusaha untuk tampil sebagai perusahaan yang baik, tanpa bertanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkannya.

Kedua, Kemendikbud harus menitikberatkan perhatian pembangunan manusia kepada perlindungan dan pengembangan sumber daya manusia di sektor pendidikan sehingga terwujud SDM Indonesia yang unggul dengan tidak melibatkan industri berbahaya seperti industri rokok dalam program kegiatan yang dilakukan oleh Kemendikbud saat ini dan di masa yang akan datang.

Ketiga, Kemendikbud memperkuat dan meningkatkan implementasi Permendikbud No. 64 tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di lingkungan sekolah sebagai upaya untuk melindungi anak dari , baik dari perilaku merokok maupun dari iklan, promosi, dan sponsor rokok.

Hasbullah mengatakan, penurunan prevalensi perokok anak sudah menjadi target kebijakan nasional yang tertuang di dalam RPJMN 2020-2024, maka seharusnya Kemendikbud RI menjalankan program-programnya sesuai RPJMN yang sudah ditetapkan.

Menurutnya, Kemendikbud diharapkan ingat bahwa marwah pendidikan harus dijaga sebaik-baiknya untuk terbebas dari upaya intervensi kepentingan industri berbahaya, kontroversial dan penuh dosa, baik secara langsung maupun lewat organsasi afiliasinya.

“Dengan demikian, upaya mendidik anak bangsa sedapat mungkin terbebas dari pencampuradukkan antara yang baik dan buruk (yang haq dan bathil) demi SDM Unggul, Indonesia Maju,” pungkas Habullah.

Bahaya Rokok

Produk tembakau rokok adalah produk yang berbahaya bagi kesehatan karena zat utama nikotin yang dikandungnya merupakan zat adiktif sebagaimana disebutkan dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Sementara kandungan lain di dalamnya merupakan bahan kimia berbahaya; yang juga tertuang dalam artikel 2, UU no. 39 tahun 2007 tentang Cukai dan diperkuat dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Selain itu, konsumsi rokok yang diketahui memperburuk infeksi COVID-19 juga merupakan pemicu stunting (PKJS-UI, 2019) serta pintu masuk konsumsi narkoba (BNN), sehingga berpotensi mengancam masa depan generasi muda dan akhirnya menghambat cita-cita pemerintah untuk mewujudkan SDM Unggul.(AK/R1/B04)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.