SEJARAH Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri, Jawa Timur, adalah kisah tentang ketulusan, keikhlasan, dan perjuangan tiga ulama besar yang menjadi fondasi berdirinya pesantren tersebut. Mereka adalah KH. Abdul Karim, lebih dikenal sebagai Mbah Manab, sang pendiri; KH. Marzuqi Dahlan, sang penerus yang penuh kesederhanaan; dan KH. Mahrus Aly, ulama pejuang sekaligus pembaru. Tiga nama ini ibarat tiga mata air keilmuan yang mengalirkan keberkahan hingga generasi santri masa kini.
Mbah Manab: Ulama Pengembara yang Menyalakan Cahaya Lirboyo
Abdul Karim lahir di Magelang, Jawa Tengah, tahun 1856, dari pasangan KH. Abdur Rahim dan Nyai Salamah. Sejak usia 14 tahun, semangatnya menuntut ilmu membuatnya berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain di Jawa Timur dan Madura. Ia menimba ilmu di Babadan Gurah, Cepoko, Trayang, Sono Sidoarjo, Kedungdoro Surabaya, hingga ke Madura berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan selama lebih dari dua dekade.
Setelah itu, beliau melanjutkan ke Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, dan bersahabat akrab dengan KH. Hasyim Asy’ari, sang pendiri Nahdlatul Ulama. KH. Hasyim pula yang menjodohkan Mbah Manab dengan Siti Khodijah binti KH. Sholeh Banjarmelati pada tahun 1908.
Baca Juga: Sunan Bonang, Sang Penuntun Jiwa yang Mengharmonikan Cahaya Islam dan Budaya Nusantara
Dua tahun setelah menikah, pada 1910, KH. Abdul Karim bersama sang istri pindah ke Desa Lirboyo, Kediri. Dari sinilah berdiri sebuah langgar sederhana yang kelak tumbuh menjadi Pondok Pesantren Lirboyo. Tiga tahun kemudian, beliau membangun masjid sebagai pusat ibadah dan pengajaran.
Sosok Mbah Manab dikenal zuhud, disiplin ibadah, dan gemar riyadhah. Di masa tuanya, meski sakit, beliau tetap memimpin shalat berjamaah dan mengajar santri dengan dipapah. Keteguhan itu berakhir pada 21 Ramadhan 1374 H (1954 M), ketika beliau wafat dan dimakamkan di kompleks pesantren yang didirikannya sendiri.
Marzuqi Dahlan: Ulama Bersahaja Penerus Warisan
Darah keilmuan Lirboyo tak berhenti di Mbah Manab. Ia diteruskan oleh KH. Marzuqi Dahlan, menantu beliau sekaligus santri kesayangan. KH. Marzuqi lahir di Banjarmelati, Kediri, tahun 1906, dari pasangan KH. Dahlan dan Nyai Artimah. Sejak kecil, beliau dididik dalam lingkungan pesantren dan sempat menimba ilmu di banyak tempat—mulai dari Lirboyo (di bawah asuhan KH. Abdul Karim), Tebu Ireng Jombang, Mojosari Nganjuk, hingga Pesantren Bendo Pare.
Baca Juga: Prof. Omar Yaghi, Seorang Pengungsi Palestina yang Menangkan Hadiah Nobel Bidang Kimia
Beliau menikah dengan Nyai Maryam, putri KH. Abdul Karim, pada tahun 1936, dan kemudian menetap di Lirboyo. Kesederhanaannya menjadi ciri khas: meski sudah menjadi pengasuh pesantren besar, KH. Marzuqi lebih sering bersepeda saat bepergian dan tinggal di rumah berdinding bambu. Sikap tawadhu ini menjadi teladan abadi bagi para santrinya.
Di bawah asuhannya, Lirboyo semakin berkembang menjadi pusat keilmuan Islam. Keteguhannya dalam mendidik santri tak surut hingga akhir hayat. Setelah beberapa lama sakit, beliau wafat pada 18 November 1975, meninggalkan warisan keteladanan dan pesan tentang keikhlasan dalam pengabdian.
Mahrus Aly: Ulama Pejuang dan Pembaru
Sosok ketiga yang memperkokoh Lirboyo adalah KH. Mahrus Aly, ulama asal Gedongan, Cirebon, yang lahir pada tahun 1906. Sejak muda, beliau dikenal cerdas, tegas, dan berjiwa pemimpin. Ia menuntut ilmu di berbagai pesantren besar: Panggung Tegal, Kasingan Rembang, hingga akhirnya datang ke Lirboyo pada 1936 untuk tabarrukan. Namun karena keilmuannya yang mendalam, beliau justru dipercaya membantu mengajar santri dan menjadi pengurus pesantren.
Baca Juga: Sunan Ampel, Pelita Peradaban Islam di Tanah Jawa
Pada tahun 1938, KH. Abdul Karim menikahkan KH. Mahrus Aly dengan Nyai Zaenab, putrinya. Setelah Mbah Manab wafat, KH. Mahrus Aly bersama KH. Marzuqi Dahlan memimpin Lirboyo dan membawa pesantren itu menuju masa keemasan. Di bawah kepemimpinannya, Lirboyo menjadi pesantren besar yang melahirkan tokoh-tokoh bangsa.
Peran KH. Mahrus Aly tak hanya di bidang pendidikan, tapi juga perjuangan. Ia mengirim 97 santri pilihan ke Surabaya dalam peristiwa 10 November 1945, ikut menumpas pemberontakan PKI, serta turut mengokohkan Nahdlatul Ulama hingga dipercaya menjadi Rais Syuriah PWNU Jawa Timur selama hampir tiga dekade.
Puncak pengabdiannya ditandai dengan berdirinya Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Lirboyo tahun 1966, cikal bakal pendidikan tinggi di lingkungan pesantren. KH. Mahrus Aly wafat pada 26 Mei 1985 (6 Ramadhan 1405 H) di usia 78 tahun.
Tiga tokoh pendiri Pesantren Lirboyo mewariskan sesuatu yang lebih dari sekadar lembaga pendidikan: mereka menanamkan ruh keikhlasan, kesederhanaan, dan cinta ilmu. Mbah Manab menyalakan api pertama, KH. Marzuqi memelihara bara ketulusan, dan KH. Mahrus Aly menyalakan kembali semangat jihad intelektual dan perjuangan kebangsaan.
Baca Juga: Atif Dudakovic; Bosnia dan Gaza
Dari ketiganya, lahirlah tradisi ilmiah yang hingga kini menjadi ciri khas Lirboyo, pesantren yang tetap teguh di jalur Ahlussunnah wal Jama’ah, namun senantiasa membuka diri pada kemajuan zaman. [berbagai sumber]
Baca Juga: Abu Paya Pasi; Ulama Kharismatik Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Aceh