Oleh : Taufiqurrahman Redaktur Arab MINA
Perang Suriah telah memasuki usia kedelapan. Rentang waktu yang begitu lama. Hasilnya? Hampir setengah juta jiwa melayang, lima juta lebih warganya mengungsi dan 6,3 juta menjadi pengungsi di negerinya sendiri. Dengan kata lain, hampir setengah penduduk Suriah menjadi imigran.
Sebanyak 27,605 anak dan 12,648 wanita meninggal. Ada 8,5 juta anak yang masih tinggal di Suriah. 5,3 juta diantaranya butuh bantuan kemanusiaan, 1,2 juta tinggal dalam area konflik dan 170,000 hidup dalam blokade. Dari total jumlah tersebut 1,75 juta anak usia 5-17 putus sekolah dan 1,35 juta lainnya terancam pendidikannya. Demikian beberapa data yang penulis peroleh diantaranya dari laporan Human Right Watch, Unicef, The Lancet Journal dan organisasi kemanusiaan Iam Syria. Beberapa sumber lainnya menyebutkan data yang kurang lebih sama.
Kerusakan parah terjadi di sejumlah wilayah. Diantaranya yang terparah adalah Aleppo dan Ghouta. Hampir separuh wilayah tersebut luluh lantak. Bom tidak hanya menyasar titik perlawanan tetapi juga rumah warga dan fasilitas publik seperti pasar, sekolah bahkan rumah sakit.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Amnesty Internasional dalam laporan terbarunya mencatat masing-masing pihak yang terlibat langsung perang di Suriah baik dari kubu Rezim maupun oposisi bertanggungjawab atas segala pelanggaran hukum internasional terkait perang. Keduanya telah melakukan kejahatan perang dan layak diseret ke mahkamah internasional.
Rapor Merah Rezim Suriah
Konflik Suriah lahir dari tindakan represif pemerintah Suriah atas demonstrasi rakyat yang mulai bergejolak pada pertengahan Maret 2011. Demo yang berlangsung di beberapa wilayah tersebut memprotes situasi ekonomi yang kian terpuruk. Kelambanan Rezim Assad melakukan perubahan mendorong kemarahan rakyat hingga akhirnya mereka menuntut revolusi demi melengserkan sang Presiden, Basyar al Assad. Sayangnya Assad merespon gerakan revolusi itu dengan mengerahkan militer yang justru membangkitkan perlawanan bersenjata.
Aksi protes terus melebar ke berbagai wilayah dan melahirkan kelompok-kelompok bersenjata diantaranya Front An Nushra dan Ahrar Syam. Gerakan revolusi semakin menguat usai Kolonel Riyadh al-Assad, membelot dan membentuk kekuatan perlawanan berbasis Turki dengan nama Tentara Pembebasan Suriah (FSA).
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Di tengah semakin kuatnya gerakan perlawanan rezim Suriah kian keras mempertahankan kekuasaanya. Kubu asing pun terlibat dengan kehadiran Iran dan Rusia di kubu Suriah. September 2015 Rusia untuk pertama kalinya membantu rezim Suriah dengan mengerahkan kekuatan militer menumpas gerakan perlawanan. Meski berdalih menumpas teroris ISIS, Iran dan Rusia tidak dapat menyembunyikan ambisinya memperluas pengaruhnya di Suriah.
Keterlibatan Iran dan Rusia tidak semakin memperbaiki keadaan. Pada kenyataannya korban sipil terus berjatuhan akibat gempuran militer Rusia. Meski demikian Assad terus berupaya mempertahankan tampuk kekuasaanya. Tampak Iran maupun Rusia dengan mudahnya mengintervensi Assad untuk bersikeras menduduki kursinya di tengah jumlah korban sipil yang kian bertambah.
Bahkan tanpa iba, militer Suriah berani menggunakan senjata kimia. April 2017, terjadi serangan senjata kimia yang menewaskan sedikitnya 86 orang di Khan Shaykhun yang dikuasai oposisi. Rusia menolak tim PBB dan Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) turun menyelidiki kasus tersebut. Rusia berdalih penemuan bukti bahan kimia oleh OPCW berasal dari gudang senjata kimia milik oposisi. Sebelumnya Agustus 2013 Rezim Suriah juga dituduh menggunakan senjata kimia di distrik yang dikuasai oposisi dan menewaskan lebih dari 1400 jiwa.
Tidak hanya penggunaan senjata kimia, Amnesty International mencatat Suriah dan Rusia melakukan serangan secara membabi buta yang mengakibatkan kerusakan parah pada fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah, pasar dan rumah sakit. Hingga 2018, terdapat 22 rumah sakit yang hancur akibat serangan.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Organisasi medis non pemerintah Physicians for Human Rights (PHR) menyebut serangan udara Rezim Suriah pada 19 September 2017 menghancurkan tiga rumah sakit, merusak sejumlah mobil ambulan dan fasilitas medis serta menewaskan seorang tenaga medis.
Rezim Suriah juga melakukan blokade pada beberapa wilayah seperti Aleppo dan Ghouta. Di Ghouta, akibat blokade Rezim lebih dari nyawa 400.000 sipil terancam. Gempuran Rezim terus-menerus mengakibatkan akses bantuan kemanusian dan medis terhambat.
Ghouta dan Aleppo dalam kesepakatan bersama antara Rusia, Turki dan Iran di Mesir pada Juli 2017 masuk pada wilayah non ekskalasi. Ini artinya Rusia dengan serangan tersebut telah melanggar kesepakatan bersama. Pelanggaran itu semakin menambah panjang daftar ketidakpatuhan Rusia dan Suriah pada hukum dan kesepatakan internasional terkait perang.
Pemerintah Suriah bersama Rusia dan Iran terus memilih opsi militer demi memperkuat pengaruhnya di Suriah meski terlihat sebagai pihak yang mendorong solusi politik. Mereka seperti tengah menggunakan opsi militer untuk menguji respon dunia internasional atas pilihan tersebut. Tatkala dunia hanya mampu mengecam, mereka tak akan berhenti melancarkan operasi militer di Suriah.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Dosa AS
Koalisi AS di Suriah setali tiga uang. Sejak terlibat aktif secara militer mendukung oposisi tahun 2014 deratan panjang dosa melumuri tangan AS di Suriah. Amnesty International mencatat AS dengan sengaja menggunakan zat fosfor putih berbahaya dalam serangannya di pemukiman warga di perbatasan Raqqa pada Juni 2017.
Sebelumnya di bulan Mei, serangan udara AS di sebuah ladang di Raqqa menyebabkan satu keluarga berjumlah 14 orang yang terdiri dari 8 wanita, 1 laki-laki dan 5 anak meninggal. Masih banyak lagi korban sipil, anak-anak dan wanita yang menjadi korban serangan-serangan koalisi AS di Suriah.
Amerika di bawah pemerintahan Obama telah memulai merusak Suriah sejak keterlibatannya mendukung oposisi. Sejak awal banyak pihak meragukan campur tangan AS akan mampu menumbangkan Assad. AS tidak serius membantu. Obama lebih takut berhadapan langsung dengan Rusia dibanding melawan ISIS.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Pengaruh Rusia yang begitu kuat membuat keberadaan Paman Sam di Suriah hanya untuk memperkecil pengaruh Beruang Merah. AS sekedar ingin mencari pengaruh di Suriah meski seadanya.
Suriah pada akhirnya telah menjadi korban perebutan pengaruh asing. Kecamuk konflik Suriah tidak akan berhenti kecuali pihak-pihak luar angkat kaki dari tanah Suriah. Tentu itu mustahil terjadi. Kekuasaan dan pengaruh sudah mencengkran muat sanubari mereka. Tidak ada ruang iba akan kemanusiaan di hati mereka.
Masa Depan Suriah
Perang sudah terjadi. Kerusakan, kematian, kelaparan dan migrasi terus berlangsung. Akankah ini berhenti ?
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Dalam sebuah ceramahnya, Syeikh Ramadhan Buthi rahimahullah menceritakan mimpi tentang konflik Suriah dan kesudahannya. Di mimpi tersebut, tuturnya, ia melihat rakyat Suriah turun ke jalan-jalan memprotes Pemerintah. Gerakan jalanan ini lantas direspon represif oleh pihak keamanan. Kedua belah pihak bentrok hingga melahirkan konflik bersenjata.
Konflik tak berkesudahan ini, lanjutnya, menarik pihak-pihak asing menawarkan dukungan. Baik rezim Assad maupun oposisi mengamini tawaran tersebut. Perang saudara pun terjadi, dibantu campur tangan asing.
Apa yang kemudian beliau khawatirkan dalam mimpi tersebut ? Di akhir mimpinya, terangnyam Suriah terpecah menjadi beberapa wilayah di bawah kekuasaan asing.
Episode demi episode kejadian dalam mimpi ulama kaliber dunia tersebut benar-benar terjadi dan menyisakan bagian akhir mimpi tersebut.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Mengakhiri ceramahnya, beliau mengingatkan ke dua belah pihak Suriah tidak akan berakhir pecah sekiranya mereka mau kembali kepada Allah. Menjadikan Al Quran dan Sunnah sebagai rujukan mengatasi perselisihan. Menggenggam kuat-kuat solusi Islam dalam mengatasi konflik dan menyelesaikan krisis secara internal dengan mengedepankan prinsip-prinsip syura dan tasamuh. Dan membuang jauh-jauh tawaran campur tangan asing. (A/RA02/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara