Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tuntunan Syariat Walimatul Arus (Bagian 2)- Oleh : KH Yakhsallah Mansur

sri astuti - Sabtu, 29 Juni 2019 - 22:41 WIB

Sabtu, 29 Juni 2019 - 22:41 WIB

13 Views

Imam-Yakhsya
Imaamul Muslimin, Yakhsyallah Mansur. (Foto : Hadis/MINA)

V. Hukum Menghadirinya

Rasulullah ﷺ bersabda:

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ يَمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيْهَا وَيُدْعَى إِلَيْهَا مَنْ يَأْبَاهَا وَمَنْ لَمْ يُجِبْ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللّٰهُ وَرَسُوْلَهُ (رواه مسلم)

“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah ketika orang yang menginginkan tidak diundang dan diundang orang yang enggan memakannya. Barangsiapa tidak memenuhi undangan (walimah) maka sungguh dia telah menentang Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. Muslim).

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Berdasarkan hadis ini dan hadis-hadis lain yang semacam-nya, jumhur ulama berpendapat bahwa menghadiri undangan walimah hukumnya adalah wajib ain.

Tidak ada alasan untuk tidak menghadirinya seperti kedinginan, kepanasan, atau kesibukan. Kewajiban menghadiri undangan walimah ini, bahkan terhadap orang yang sedang puasa sekalipun tetapi dia tidak harus makan makanannya.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian diundang walimah hendaknya menghadirinya. Jika puasa hendaknya dia berdoa, jika tidak puasa hendaknya dia makan makanannya.” (H.R. Muslim).

Mengomentari hadis ini Imam Nawawi menjelaskan, jika puasa wajib atau nadzar tidak boleh dibatalkan. Jika puasa sunnah maka tetap melanjutkan puasa kecuali jika dapat menyinggung perasaan yang mengundang dia boleh membatalkan.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Apabila seseorang mendapat undangan walimah lebih dari satu hendaknya menghadiri semuanya jika memungkinkan. Jika tidak, hendaknya menghadiri yang paling dulu mengundang, kemudian paling agamis, keluarga terdekat, dan tetangga serta diundi.

Para ulama memerinci hukum menghadiri undangan wali-mah menjadi 5 (lima):

1. Wajib

Undangan walimah, wajib dihadiri apabila undangan dituju-kan secara pribadi baik lewat tulisan atau utusan yang diutus menyampaikan undangan.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Sebaliknya apabila undangannya bersifat umum, tanpa menyebut nama tertentu maka tidak ada kewajiban menghadirinya.

2. Fardhu Kifayah

Apabila sebagian orang sudah ada yang menghadirinya, maka bagi mereka yang tidak menghadirinya tidak berdosa.

3. Sunnah

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Beberapa ulama yang mendukung pendapat ini antara lain ulama mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan salah satu versi mazhab Hanabilah. Ibnu Taimiyah termasuk yang berpendapat sunnah.
Dasar pendapat ini karena menghadiri walimah berarti makan atau mengambil harta milik orang lain. Dan seseorang tidak diwajibkan mengambil harta orang lain yang tidak diinginkan.

4. Makruh

Ulama Hanabilah berkata, “Dimakruhkan menghadiri undangan orang yang di dalamnya terdapat harta haram. Kemakruhan ini melemah dan menguat sesuai banyak sedikitnya harta haram yang ada di dalamnya.”

5. Haram

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Menghadiri walimah, haram hukumnya apabila di dalamnya terdapat kemungkaran yang sudah disepakati hukumnya seperti judi, mabuk-mabukan, dansa laki-perempuan dan sebagainya.

VI. Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan

Walimatul Arus adalah ibadah, oleh karenanya harus dijaga dari hal-hal yang menyimpang dari ibadah.

Di antara hal-hal yang perlu diperhatikan dalam walimatul arus tersebut antara lain:

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

1. Bersih dari maksiat

Prosesi walimah harus bersih dari hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat Islam, seperti perjudian, khamr (minuman keras), pamer aurat, dan sebagainya.

2. Tidak menghadirkan hiburan yang dilarang oleh syariat

Adapun hiburan yang tidak melanggar syariat, itu diperbolehkan. Dari Amir bin Saad dia berkata, “Saya masuk ke rumah Quradhah bin Kaab ketika hari pernikahan Abu Mas’ud Al-Anshari. Tiba-tiba beberapa anak perempuan bernyanyi. Lalu aku berkata, “Bukankah Anda berdua adalah sahabat Nabi ﷺ dan pejuang Badar, mengapa ini terjadi di hadapan Anda?” Maka mereka menjawab, “Jika Anda suka, maka boleh Anda mendengarkannya bersama kami, dan jika Anda tidak suka maka boleh Anda pergi. Karena kami diberi kelonggaran untuk mengadakan hiburan pada acara pernikahan.” (H.R. An-Nasa’i dan Hakim).

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

3. Menghindari Ikhtilat (percampuran) antara tamu pria dan wanita yang bukan muhrim.

Hal ini bisa dilakukan dengan beberapa cara misalnya walimah diselenggarakan pada waktu yang berbeda antara pria dan wanita, atau menggunakan dua tempat yang berbeda, atau dengan tempat yang sama tetapi dipisah dengan hijab (tabir).

Di antara dalil pemisahan pria dan wanita dalam walimah adalah hadis yang diriwayatkan Abu Daud dari Aisyah , dia berkata, “Rasulullah ﷺ mengawiniku pada usia tujuh tahun dan kami mengadakan hubungan di usia sembilan tahun dan tatkala aku pindah ke Madinah segolongan wanita mempersiapkan majlis perkawinanku dan tidak pernah sekali-kali mereka maupun aku bercampur dengan pria di dalam rumah yang dipenuhi wanita. Pihak wanita menyambutku dan pihak pria menyambut Rasulullah ﷺ dan kemudian kami masuk rumah.”

Dengan adanya pemisahan ini maka mempelai terhindar dari penampilan di depan lawan jenis sehingga tidak terjadi tabarruj yang tidak sesuai dengan syariat.

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

4. Memudahkan para undangan untuk bisa makan dan minum secara syar’i.

Tidak diperbolehkan makan dan minum dengan berdiri. Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum dengan berdiri.” Ditanyakan, “Bagaimana dengan makan?” Beliau menjawab, “Itu lebih buruk lagi.” (H.R. Muslim).

5. Tidak mengundang orang-orang tertentu saja

Yaitu hanya orang kaya dan terhormat dan tidak mengundang fakir miskin dan rakyat biasa. Walimah bersifat elit adalah jamuan makan yang paling buruk, sebagaimana disebut pada hadis di atas. (H.R. Muslim).

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

6. Memilih Bulan Syawal

Aisyah berkata:

تَزَوَّجَنِى رَسُوْلَ اللهِ فِى شَوَّالٍ وَبَنَى بِى فِى شَوَّالٍ (رواه مسلم)

“Rasulullah ﷺ menikahi Aku di bulan Syawal dan membangun rumah tangga denganku di bulan Syawal pula.” (H.R. Muslim).

Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa

Perawi berkata, “Aisyah senang menikahkan para wanita di bulan Syawal.”

Imam An-Nawawi ketika menjelaskan hadis ini berkata, “Di dalam hadis ini terdapat anjuran untuk menikahkan, menikah dan membangun rumah tangga pada bulan Syawal. Para ulama kami (Syafi’iyah) telah menegaskan anjuran tersebut berdasarkan hadis ini. Dan Aisyah menceritakan, hal ini bermaksud membantah apa yang diyakini masyarakat Jahiliyah dahulu dan anggapan takhayul orang awam pada masa kini yang menyatakan kemakruhan menikah, menikahkan, dan membangun rumah tangga di bulan Syawal karena bulan Syawal adalah bulan sial.”

7. Boleh menyelenggarakan lebih dari satu hari

Imam Al-Bukhari berpendapat bolehnya mengadakan walimah sampai tujuh hari. Pendapat beliau ini ditunjukkan dalam salah satu bab dalam kitab Shahihnya dengan judul:

بَابُ حَقُّ إِجَابَةِ الْوَلِيْمَةِ وَالدَّعْوَةِ وَمَنْ أَوْلَمَ سَبْعَةَ أَيَّامٍ وَنَحْوِهِ وَلَمْ يُؤَقِتْ النَّبِىُّ ﷺ يَوْمًا وَلَا يَوْميْنِ

“Bab wajibnya menghadiri walimah dan undangan, dan orang yang mengadakan walimah selama tujuh hari dan Nabi ﷺ tidak membatasi waktu walimah sehari atau dua hari.”
Di antara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah kisah pernikahan Sirin yang mengundang para sahabat selama tujuh hari.

Ketika tiba giliran hari orang Anshar, beliau mengundang Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit dan Muaz. Ketika itu Ubay sedang berpuasa. Ketika disuguhkan makanan, beliau mendoakan kebaikan dan diamini orang di sekitarnya. (H.R. Ibnu Abi Syaibah).

Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Qudamah. Sebagian ulama melarang menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari. Hanya hadis digunakan sebagai dalil, (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah) derajatnya dipertentangkan oleh para ulama dan dinilai dhaif oleh Imam Nashiruddin Al-Albani.

8. Memberi hadiah (kado) pengantin

Diperbolehkan memberi hadiah (kado) kepada pengantin, sebagaimana yang dilakukan oleh Ummu Sulaim , yang memberi hadiah kepada Rasulullah ﷺ ketika beliau menikah dengan Zainab. (H.R. Bukhari). (A/Ast/RI-1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Tausiyah
Breaking News
Breaking News