Naypyidawa, MINA – Pada tahun kedua kudeta militer di Myanmar, Uni Eropa dan 22 negara pada Rabu (1/2) mendesak rezim junta untuk mengakhiri kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell dan Menteri Luar Negeri dari 22 negara mengeluarkan pernyataan bersama pada peringatan tahun kedua pengambilalihan militer di negara Asia Timur yang mayoritas beragama Buddha itu. Anadolu melaporkan.
Negara-negara yang menteri luar negerinya menandatangani pernyataan bersama adalah Albania, Armenia, Australia, Bosnia-Herzegovina, Kanada, Mikronesia, Georgia, Ghana, Islandia, Liechtenstein, Montenegro, Selandia Baru, Makedonia Utara, Norwegia, Korea Selatan, Kepulauan Marshall, Palau, Serbia, Swiss, Ukraina, Inggris Raya, dan AS.
“Sejak kudeta, rezim militer dengan keras menindak segala bentuk oposisi, termasuk protes damai,” kata para diplomat tinggi, menambahkan bahwa “laporan yang kredibel menunjukkan ribuan warga sipil, termasuk anak-anak, telah dipenjara, disiksa, dan dibunuh.”
Baca Juga: Ratu Elizabeth II Yakin Setiap Warga Israel adalah Teroris
Mereka juga menggarisbawahi bukti “meningkat” menunjukkan rezim menargetkan warga sipil dengan serangan udara, pengeboman dan pembakaran massal desa serta tempat ibadah juga terjadi.
“Laporan penyiksaan dan kekerasan seksual oleh aparat keamanan tersebar luas. Konflik yang berkepanjangan telah menyebabkan ribuan korban sipil, lebih dari 17 juta orang membutuhkan, dan 1,5 juta orang mengungsi dari rumah mereka,” kata pernyataan itu lebih lanjut.
Pernyataan tersebut mendesak rezim militer segera mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan, dan menciptakan ruang bagi dialog yang bermakna dan inklusif untuk mengembalikan negara ke “jalur demokrasinya”.
Pada 1 Februari 2021, junta militer di Myanmar menggulingkan pemerintahan sekutunya Aung San Suu Kyi setelah partainya Liga Nasional untuk Demokrasi memenangkan pemilihan nasional pada November 2020.
Baca Juga: AS Pertimbangkan Hapus HTS dari Daftar Teroris
Menurut laporan PBB baru-baru ini, setidaknya 2.890 orang tewas di tangan militer dan mereka yang bekerja dengan mereka, sementara 767 orang ditahan sejak militer mengambil alih kekuasaan.
Lebih lanjut, pernyataan bersama itu juga meminta rezim militer secara efektif dan sepenuhnya melaksanakan Konsensus Lima Poin ASEAN yang mencakup penghentian segera kekerasan di Myanmar, dialog konstruktif di antara semua pihak, penunjukan utusan khusus ASEAN untuk memfasilitasi dialog, dan penyediaan bantuan kemanusiaan.
Para diplomat tinggi meminta pemerintah militer Myanmar segera membebaskan semua tahanan yang ditahan secara sewenang-wenang, termasuk Presiden Win Myint dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi.
Pernyataan itu mendesak masyarakat internasional menghentikan penjualan dan transfer senjata serta peralatan, juga mendukung semua upaya untuk meminta pertanggungjawaban mereka atas pelanggaran hak asasi manusia. (T/R7/P1
Baca Juga: Mahasiswa Yale Ukir Sejarah: Referendum Divestasi ke Israel Disahkan
Mi’raj News Agency (MINA)