Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ustaz di Depan, Tapi Rapuh di Malam Sunyi

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 43 menit yang lalu

43 menit yang lalu

7 Views

Ilustrasi

DI PANGGUNG-panggung dakwah, ia lantang bersuara. Mikrofon adalah senjatanya, dalil-dalil ia lecutkan tajam, seolah tak ada ruang bagi kebatilan. Jutaan kata ia lontarkan, menggetarkan barisan jamaah. Tapi, di malam yang sunyi, adakah sujudnya menggema di langit?

Betapa banyak yang pandai menasihati, tapi lalai menasihati diri. Berapa banyak yang sibuk membangun citra di depan kamera, tapi lupa membangun hubungan dengan Rabb-nya di sepertiga malam? Ustaz, engkau memang berdiri paling depan di siang hari, tapi di malam hari, adakah engkau juga bersimpuh paling awal?

Malam tidak butuh ceramahmu. Ia hanya menuntut airmata. Allah tidak menunggu postinganmu, tapi rintihanmu dalam sujud panjang. Apa gunanya menjadi panutan manusia jika tak menjadi kekasih Allah? Apa maknanya dielu-elukan di bumi, jika tak dikenal di langit?

Jangan bangga dengan undangan tabligh, jika engkau jarang “mengundang” Allah dalam tahajud. Jangan terlalu sibuk di forum, sampai lupa bahwa malam sunyi adalah forum paling agung bersama Tuhan. Jangan merasa cukup berdakwah di YouTube, kalau belum pernah berdialog dalam diam bersama Al-Khaliq.

Baca Juga: Masjid Ibrahimi Warisan Nabi dan Wakaf Umat Islam

Bukan hanya ilmu yang menyejukkan umat, tapi juga ruhani yang kuat. Kekuatan itu tak lahir dari banyak bicara, tapi dari banyak diam dalam sujud. Bukan pada jumlah followers, tapi jumlah munajat yang membuat hati tak sombong dan lisannya jujur.

Wahai ustaz, engkau mulia karena menyampaikan kebenaran. Tapi jangan jadi “penyampai” yang tak ikut “menapaki”. Jangan hanya menyerukan orang bangun malam, sedang engkau pulas di ranjang empuk, bermimpi tentang jadwal ceramah berikutnya.

Engkau bukan entertainer. Engkau adalah pewaris Nabi. Tapi Nabi tidak hanya bicara. Ia bangun malam hingga kakinya bengkak. Ia menangis hingga janggutnya basah. Ia lebih banyak diam di hadapan Allah, daripada bersuara di hadapan manusia.

Ingatlah, bukan sorak-sorai manusia yang menentukan akhir kita. Tapi bagaimana Allah menilai kesunyian kita. Saat semua diam, dan hanya engkau dan Allah yang tahu: engkau sedang bersujud atau sedang tidur.

Baca Juga: Sejarah, Islam dan Budaya Masyarakat Kazakhstan: Abai sebagai Inspirasi Bangsa

Ustaz, jangan hanya tajamkan lidahmu untuk menegur umat. Tajamkan hatimu untuk merintih pada Allah. Jangan hanya menjadi pahlawan di siang hari, tapi juga jadilah hamba di malam hari. Sebab di situlah kemuliaan sejati tumbuh. Dalam sunyi. Dalam sujud. Dalam air mata yang tak terlihat kamera.

Ustaz, bangunlah… sebelum engkau dibangunkan dalam kubur yang sunyi tanpa amal malam sebagai teman.

Tausiyah Tak Bertuah

Betapa tragis, jika ilmu hanya tinggal di lisan, tapi tak pernah menyusup ke dada. Lalu kita jadi ustadz yang tajam menasehati, tapi tumpul ketika diuji. Kita bercerita tentang sabar, tapi sedikit pun tak punya waktu untuk tafakur. Kita berbicara tentang ikhlas, tapi tak pernah mengoreksi niat sebelum berdiri di mimbar.

Baca Juga: Boikot Produk Terafiliasi Zionis Tinjauan Fatwa Ulama

Di mana tangisan malam kita? Di mana zikir yang membasahi lidah kita setelah jamaah bubar? Jangan-jangan, setelah dakwah usai, kita lebih sibuk menghitung amplop, bukan menghitung dosa. Kita terlalu pandai mengatur jadwal ceramah, tapi tak pandai menyisihkan waktu untuk bermesra dengan Al-Qur’an.

Satu rakaat malam bisa jadi lebih berharga daripada seribu ceramah yang penuh riya. Tapi kenapa kita justru memilih kasur ketimbang karpet sajadah? Apa gunanya bangga disebut ustadz besar, jika hati ini kecil di hadapan Allah?

Jangan hanya mencetak jamaah yang rajin ke masjid, tapi diri sendiri malas menghadap Rabb semesta. Jangan hanya membentuk halaqah, tapi tak pernah membentuk kedekatan dengan langit. Jangan hanya sibuk mengatur strategi dakwah, tapi tidak punya strategi mendekat kepada Allah.

Ketahuilah, kekuatan dakwah bukan pada retorika, tapi pada ketulusan. Dan ketulusan itu diuji bukan di depan manusia, tapi di tengah keheningan malam. Di sana, semua topeng jatuh. Semua gelar lenyap. Yang tersisa hanya engkau dan Allah. Dan saat itu, siapa dirimu yang sebenarnya akan tampak jelas.

Baca Juga: Medsos, Ladang Amal Shaleh Yang Terlupakan

Apakah engkau pejuang atau penjual dakwah? Apakah engkau pemikul risalah atau hanya penikmat popularitas? Apakah engkau benar-benar hamba Allah, atau hanya budak pujian dan sorotan?

Wahai ustaz, jangan tunggu ajal untuk sadar. Jangan tunggu tua untuk menangis. Jangan tunggu reputasi runtuh untuk kembali ke sajadah. Malam ini, saat semua terlelap, bangkitlah. Karena bisa jadi, malam ini adalah undangan terakhir dari Allah untukmu.

Jika engkau ingin dakwahmu menyentuh langit, maka sujudmu harus lebih dahulu menyentuh bumi. Karena lidah yang basah dengan dzikir di malam hari, akan lebih tajam dari pidato yang paling lantang sekalipun. Bangunlah, sebelum Allah membuatmu benar-benar tak bisa bangun lagi.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Jama’ah Adalah Benteng Terakhir di Tengah Badai Fitnah

 

Rekomendasi untuk Anda

Kolom