Uyghur: Institut Liu Bahas Krisis Kemanusiaan dan Langkah Penanganan

Gardena, MINA – untuk Studi Asia berbasis di Gardena, California, AS, pada Senin (14/9) mengadakan panel pembahasan tentang krisis kemanusiaan dan langah penanganan Uyghur, China.

Diskusi para ahli dari berbagai institut di seluruh dunia bertemakan “Xinjiang dan Uyghur: Agama, Penindasan, dan Geopolitik”, difokuskan pada genosida dan kerja paksa penduduk Uyghur di Xinjiang dan di sekitar China, dan apa yang perlu dilakukan dunia untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia di sana. The Observer melaporkan, Selasa (15/9).

Panelis pertama Rachel Harris, seorang profesor etnomusikologi di SOAS University of London, menyampaikan laporan perjalanannya hampir 20 tahun ke wilayah otonom Xinjiang Uyghur.

Dia menjelaskan bagaimana daerah itu selalu di bawah kendali ketat, dan dia takut pada polisi dan birokrasi.

Dalam beberapa tahun terakhir, Harris merasa situasinya semakin ekstrem. Dia berbicara tentang genosida dan kerja paksa yang dialami orang-orang Uyghur.

“Kami perlu terus meningkatkan kesadaran dan menekan organisasi internasional untuk menanggapi masalah ini,” katanya.

Ia mengkhawatirkan rkan tentang pemaksaan kontrasepsi dan pencabutan komunitas yang disengaja untuk menghapus budaya dan identitas Uighur. “Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia dalam skala besar,” ujarnya.

Harris juga menyebutkan adanya genosida budaya dan penghancuran besar-besaran warisan Uyghur oleh pemerintah China.

James Millward, panelis kedua, adalah profesor sejarah antar masyarakat di Sekolah Dinas Luar Negeri Walsh di Universitas Georgetown berbicara tentang kamp penjara, kamp pendidikan ulang, sterilisasi dan kerja paksa oleh pemerintah China yang ditempatkan pada Muslim Uyghur.

Dia juga membahas interaksi antara Partai Komunis China dan Pemerintah Amerika Serikat.

Panelis ketiga, Perin Gürel, profesor studi Amerika di Universitas Notre Dame, membahas tanggapan internasional terhadap krisis Uighur, dengan fokus pada dunia Islam dan Turki pada khususnya.

Dia mengatakan Turki telah menjadi satu-satunya negara Islam yang banyak berbicara tentang implikasi hak asasi manusia dan politik, dan sifat identitas negara yang dibangun.

Mahan Mirza, Direktur Eksekutif Ansari Institute for Global Engagement with Religion bertindak sebagai moderator acara tersebut. (T/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)