Oleh Nur Rahma Az Zahra, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta (PNJ)
Pena adalah alat menulis di atas kertas. Tanpanya, manusia tidak memiliki catatan. Tanpa pena pula kertas sepi tanpa goresan. Begitu pun sebaliknya, tanpa kertas, pena sendiri kehilangan makna. Betapa berharganya sebuah pena, sampai-sampai seorang Rohana Kudus mewariskan untuk anak cucunya, anak penerus bangsa.
Lahir dari keluarga yang tidak tergolong rakyat biasa, ayahnya bernama Mohamad Rasjad Maharadja Soetan dan ibunya Kiam. Ayahnya merupakan pencetus sekolah rakyat khusus bagi pribumi di Koto Gadang. Rohana tidak pernah mengenyam pendidikan formal seperti kebanyakan anak-anak Indonesia saat ini. Tapi, ia belajar langsung kepada sang ayah.
Siapa sangka, ternyata Rohana merupakan kerabat dekat para tokoh besar bangsa ini yang namanya terpatri harum dalam sejarah politik dan sastra Indonesia. Ia adalah kakak tiri dari Sutan Syahrir, bibi dari penyair ternama Chairil Anwar, dan sepupu dari tokoh perjuangan H. Agus Salim. Lingkungan agamis dan cendekialah yang berperan besar melahirkan sosok mengagumkan seperti Rohana Kudus.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Rohana Kudus dilahirkan pada 20 Desember 1884 di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Nama aslinya Siti Rohana, Kudus merupakan nama belakang suaminya, Abdullah Kudus. Mereka membangun rumah tangga pada 1908. Pernikahannya bisa dibilang telat bagi wanita usia 24 tahun pada zamannya.
Masa kecil Rohana dihiasi dengan ilmu pengetahuan yang ia serap dari majalah berbahasa Belanda yang sering dibawakan oleh ayahnya. Pada usia 8 tahun, ia mulai membagikan pengetahuan kepada teman sebayanya. Nalurinya memang telah terasah sejak kecil. Kemampuannya pun tak kalah baik dengan siswa yang sekolah formal. Ini semua berkat kebiasaan baik yang terbentuk dari kecil, yakni membaca.
Semangat dan pantang menyerah menyerap ilmu yang diajarkan oleh ayahnya, menjadikan Rohana lebih pesat dalam penguasaan materi hitungan, bacaan, tulisan, bahasa Melayu, Arab dan Belanda. Kepribadian hangat juga mengantarkannya untuk mampu menjahit, menenun, merajut, menyulam, dan memasak. Keterampilan ini ia dapatkan dari pertemananannya dengan isteri pejabat Belanda.
Tak hanya materi keputrian, ia pun mendapatkan majalah terbitan Belanda. Dari sana ia mengetahui berita sosial, politik, budaya, pendidikan dan gaya hidup bangsa Eropa. Kegemarannya membaca majalah Belanda tak menuntunnya melupakan agama. Rohana gemar berguru dengan alim ulama di surau dan masjid.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Meniti kehidupan sejak buaian hingga dewasa di dalam lingkungan yang bijak, menumbuhkan sosoknya menjadi wanita yang cerdas, berani, dan kontributif. Rohana pun turut berjuang untuk melawan kejahilan (kebodohan) yang dihadapkan pada kaum perempuan. Rohana bersusah-payah untuk mengubah nasib perempuan Indonesia.
Berbeda dengan R.A. Kartini, perjuangan yang dilakukan oleh Rohana bukanlah untuk menyamakan derajat antara laki-laki dengan perempuan. Baginya, perputaran zaman tak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Hal yang seharusnya diubah adalah pendapat miring mengenai pendidikan bagi perempuan.
Perempuan harus sehat fisik dan mental, berakhlak, dan taat beribadah. Namun, apa jadinya jika perempuan dibatasi dengan pendidikan yang tidak memadai karena larangan sekolah bagi kaum hawa saat itu. Padahal, sejatinya semua keharusan tersebut dapat terpenuhi dengan adanya ilmu pengetahuan dan segala perkembangannya di dunia.
Emansipasi bukanlah persamaan, melainkan pengukuhan fungsi alami perempuan berdasarkan kodratnya. Fungsi tersebut dapat berjalan diiringi dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Hal inilah yang diperjuangkan oleh Rohana Kudus.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Berjuang dengan Tulisan
Rohana berjuang dengan tulisan. Ia merupakan jurnalis, wartawati pertama Indonesia. Tidak mudah menulis pada zaman ketika akses perempuan untuk meraih pendidikan sangat dibatasi. Namun, ia tetap gigih mengungkapkan ide-ide perjuangannya lewat surat kabar Sunting Melayu yang berada di bawah kepemimpinannya.
Sebelum terjun di dunia jurnalistik, ia membangun sekolah khusus bagi kaum perempuan. Pada 1911, Sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) didirikannya. Materi yang diajarkan meliputi tulis-menulis, budi pekerti, dan keterampilan wanita. Hasil kerajinan murid didikannya diekspor ke Eropa dan menjadikan sekolah ini berbasis industri rumahan. Koperasi simpan-pinjam dan jual-beli pun dibentuk dengan anggota seluruhnya adalah perempuan.
Bukan hanya sekolah, Rohana juga menerbitkan surat kabar Sunting Melayu pada 10 Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Dikatakan surat kabar perempuan sebab pemimpin redaksi, redaktur, penulis, seluruhnya adalah perempuan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Sunting Melayu terbit atas kerjasama dengan Dt. St. Mahara, pimpinan surat kabar Utusan Melayu. Surat kabar ini menampakkan perjuangan Rohana yang memedulikan kaumnya. Tulisannya tajam, cerdas, dan mencerminkan cita-cita untuk memajukan perempuan Indonesia. Lewat tulisannya, ia berusaha mengubah stigma masyarakat yang menganggap perempuan sebagai makhluk tak berdaya.
Perjuangan yang ia rintis selama hidupnya, cita-cita mulia yang telah diraih mengantarkan Rohana pada berbagai penghargaan dari pemerintah, diantaranya penghargaan “Wartawati Pertama Indonesia” dari Pemerintah Sumatera Barat pada 17 Agustus 1974, “Perintis Pers Indonesia” dari Menteri Penerangan pada 9 Februari 1987, dan “Bintang Jasa Utama” dari Pemerintah Indonesia pada 2008 silam.
Seperti kata pepatah, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading. Sosok Rohana Kudus meninggalkan sejarah baik di hati masyarakat yang mendukung kemajuan kaum perempuan. Sang pewarta perempuan pertama ini mewariskan pena runcingnya kepada jurnalis muda di masa mendatang. (T/M01/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?