DUNIA hari ini seperti kehilangan nurani. Seakan tuli terhadap jeritan anak-palestina/">anak Palestina yang kehilangan orang tua. Seakan buta terhadap tumpukan mayat di reruntuhan Gaza. Seakan bisu terhadap genosida yang terang-terangan disiarkan di layar kaca. Di tengah gemuruh sorak dunia yang mengaku cinta damai, ada satu bangsa yang terus terkoyak jiwanya—Palestina. Dan di balik semua penderitaan ini, berdirilah ideologi kelam yang berlumur darah dan kebencian: Zionisme.
Zionisme bukan sekadar gerakan politik. Ia adalah ideologi supremasi, kolonialisme modern yang dibungkus narasi keagamaan dan keamanan. Ia merampas tanah dengan paksa, menghancurkan rumah, membunuh tanpa rasa bersalah, dan memenjarakan tanpa pengadilan yang adil. Namun ironisnya, dunia menyebut ini sebagai “hak membela diri.”
Lihatlah Gaza, negeri sekecil genggaman tangan itu kini hanya tinggal puing-puing. Rumah-rumah rata dengan tanah, sekolah-sekolah luluh lantak, masjid dan gereja pun tak luput dari rudal. Bayi-bayi dikeluarkan dari perut ibunya yang sudah tak bernyawa, anak-anak bermain di antara genangan darah saudaranya. Mereka bukan korban konflik. Mereka korban kejahatan terencana yang diberi nama “hak mempertahankan negara Israel.”
Di antara debu dan abu, jeritan ibu-ibu memenuhi langit yang tak lagi biru. Mereka bukan hanya kehilangan anak, tapi juga harapan. Satu demi satu keluarga musnah. Dalam satu malam, satu keluarga utuh bisa lenyap dari muka bumi, hanya menyisakan nama dalam daftar syuhada. Namun siapa yang peduli? Dunia memilih memalingkan wajahnya, membiarkan penderitaan ini menjadi rutinitas tahunan, seolah-olah kematian massal rakyat Palestina adalah hal yang wajar.
Baca Juga: Mindset Tauhid, Dasar Kesuksesan Menurut Al-Qur’an
Dunia Bungkam, Padahal Neraka Itu Nyata di Palestina
Media mainstream internasional mengaburkan fakta. Mereka menyebut serangan brutal sebagai “bentrok,” seakan dua pihak bersenjata saling berperang dengan seimbang. Padahal ini bukan perang. Ini pembantaian satu arah. Palestina diserang, dihancurkan, dan dijajah. Tapi karena pelakunya adalah Zionis Israel, dunia memilih membungkam lidah, menutup mata, dan melipat tangan.
Lembaga-lembaga internasional yang konon menjunjung tinggi HAM hanya bisa mengeluarkan “kekhawatiran mendalam.” Sementara jet-jet tempur Israel terus menumpahkan bom fosfor putih yang membakar tubuh-tubuh mungil anak-anak. Bukankah ini bentuk nyata dari terorisme? Tapi karena pelakunya adalah negara yang mendapat dukungan superpower, maka terorisme itu diberi label lain: “perlawanan terhadap teror.”
Lebih menyakitkan lagi, banyak negara Islam justru terperangkap dalam permainan narasi ini. Mereka terjebak dalam diplomasi kosong, kecaman basa-basi, dan konferensi tanpa solusi. Padahal darah yang tumpah itu adalah darah saudara seiman. Anak-anak yang terbunuh itu adalah anak-anak umat Muhammad. Tapi kepentingan politik dan ekonomi seakan lebih suci daripada nyawa manusia tak berdosa.
Baca Juga: Mencintai Al-Aqsa: Identitas Muslim Sejati
Zionisme tak hanya membunuh tubuh, ia membunuh harapan. Ia menghancurkan generasi. Ia menjadikan anak-palestina/">anak Palestina hidup dalam trauma dan duka sejak mereka bisa mengenal kata “ibu.” Mereka bangun tidur dengan suara ledakan, bermain di antara puing-puing, dan belajar menghitung bukan dengan angka, tapi dengan jumlah keluarga yang wafat.
Di balik semua ini, satu pertanyaan besar harus kita jawab: Di mana hati nurani dunia? Apakah nilai-nilai kemanusiaan hanya berlaku untuk ras dan negara tertentu? Mengapa penderitaan Palestina tak dianggap darurat? Mengapa Zionis yang nyata-nyata menjajah dan membantai malah terus didukung dengan dana, senjata, dan legitimasi politik?
Di sudut kota Rafah, seorang anak kecil duduk di atas tanah, memeluk boneka yang sudah hangus sebagian. Ia tak menangis. Matanya kosong. Ia telah kehilangan semua: ibu, ayah, rumah, sekolah. Tapi dunia menyebutnya “kolateral kerusakan.” Seolah-olah nyawanya tak lebih berharga dari sebutir pasir di tengah padang.
Apakah anak itu yang dianggap ancaman bagi eksistensi Israel? Apakah tangisannya adalah bentuk terorisme? Padahal yang ia lakukan hanya bertahan hidup. Tapi sayangnya, bertahan hidup di tanah Palestina kini dianggap tindakan radikal.
Baca Juga: Serangan Zionis Malah Hidupkan Kembali Nasionalisme Iran
Kita hidup di zaman di mana membela keadilan dianggap tindakan ekstrem. Di mana menyuarakan kebenaran dituduh sebagai propaganda. Di mana berdiri di sisi tertindas malah membuat kita dicap sebagai pembela kekerasan. Dunia telah terbalik. Keadilan dikubur hidup-hidup bersama korban-korban kebiadaban Zionis.
Zionisme adalah wajah asli dari kolonialisme modern. Ia menggunakan logika rasisme dan mitos superioritas bangsa untuk membenarkan perampasan hak dan kehidupan orang lain. Ia menjadikan Palestina bukan hanya medan tempur, tapi ladang eksperimen kejahatan kemanusiaan yang dibiarkan tanpa sanksi.
Ketika Gaza hancur, ketika Masjid Al-Aqsha diinjak-injak tentara Israel, ketika para pemuda Palestina ditembak mati di jalanan, saat itulah kita sedang menyaksikan wajah asli dari terorisme yang sesungguhnya: terstruktur, terorganisir, didanai, dan dilegalkan.
Hari ini, kita tidak hanya menyaksikan penderitaan Palestina. Kita sedang menyaksikan matinya nurani dunia. Kita sedang menyaksikan kejahatan yang dibungkus diplomasi. Kita sedang menyaksikan sejarah kelam yang suatu hari nanti akan ditanya oleh Allah: Di mana kamu saat saudaramu disiksa? Apa yang kamu lakukan saat anak-anak itu menjerit meminta pertolongan?
Baca Juga: Peluncuran Kalender Hijrah Global: Langkah Strategis Menyatukan Umat Islam
Mereka tak butuh iba. Mereka butuh tindakan. Mereka tak meminta belas kasihan. Mereka hanya ingin hidup sebagai manusia, di tanah air mereka sendiri, tanpa dihantui rudal dan peluru. Tapi selama Zionisme dibiarkan hidup, selama dunia masih memilih bisu, maka penderitaan itu akan terus mengalir. Air mata Palestina adalah luka bagi seluruh umat manusia.
Dan selama dunia masih buta terhadap terorisme yang dilakukan Zionis, maka darah yang tumpah di bumi para nabi akan terus bersaksi tentang pengkhianatan dunia terhadap keadilan dan kemanusiaan. Palestina menangis. Tapi dunia memilih tertawa di atas luka mereka.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Kutukan Dekade ke-8, Isyarat Runtuhnya Negara Yahudi