Oleh Agus Sudarmaji, Pemerhati Global Leadership Behavior
ANNE Kelly, mengangkat issue yang sensitif di The Guardian tentang andil para pemimpin negara-negara di dunia terhadap krisis global. Jurnalis pemenang anugrah pejuang hak asasi manusia (HAM) tersebut menegaskan bahwa berbagai pelanggaran HAM terjadi karena banyak pemimpin tersebut gagal menegakkan hukum.
Kelly mengutip laporan Human Right Watch (HRW) tahun 2024 bahwa para politisi yang sedang berkuasa di berbagai negara justru menjadi pengawal standard ganda. Hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas.
Dalam laporan tersebut, Tirana Hassan sebagai Direktur Eksekutif HRW membeberkan bahwa, “Terjadi serangan terus-menerus terhadap hak asasi manusia yang menyebar di seluruh dunia karena pemerintah di berbagai negara mengabaikan kewajiban hukum mereka terkait hak asasi manusia demi keuntungan politik jangka pendek dan berupaya mengonsolidasikan kekuasaan.”.
Baca Juga: Kemerdekaan Indonesia dan Janji untuk Palestina
Para penguasa negara justru menjadi pihak yang paling tidak dipercaya oleh rakyatnya sendiri dalam hal penegakkan hukum dan keadilan. Para hakim sudah kehilangan wibawa karena bisa dibeli oleh orang-orang besar dan nyata-nyata mengalahkan kepentingan rakyat karena tidak bisa menebus keadilan. Di berbagai negara orang mulai takut untuk sekedar bersuara apalagi menuntut haknya.
Tim HRW menemukan berbagai praktek pelanggaran HAM justru dilakukan oleh negara yang katanya sebagai pengawal nomor wahid demokrasi modern, yaitu Amerika Serikat (USA). Sudah menjadi rahasia umum bahwa USA sering seenaknya sendiri melakukan aksi polisional dengan menyerang negara-negara ketiga dengan alasan anti terorisme. Sekutu USA di Arab Saudi, Mesir dan India memiliki catatan panjang pelanggaran HAM yang berat.
Dalam konteks hubungan internasional, adanya sikap diam (silence) para pemimpin dunia terhadap pelanggaran HAM berat oleh negara-negara besar. Kasus penindasan terhadap etnis minoritas di China, Ukraina dan Afghanistan masih terus berlangsung. Juga ditemukan bukti bahwa sejumlah negara anggota Uni Eropa mengusiri para pencari suaka dan pengungsi dari negara-negara yang sedang dalam konflik seperti Suriah, Iraq dan Sudan. Mereka mendesak kesekapatan dengan Turki dan Libya untuk mengembalikan imigran yang masuk ke Eropa ke negara asalnya.
Puncak pelanggaran HAM, menurut HRW, adalah kekejaman Israel terhadap warga Palestina. Meskipun sudah demikian nyata bukti kekejaman tersebut dari banyaknya korban jiwa (sekarang pun terus berlangsung) dan kehancuran yang dahsyat di Gaza, masih ada banyak negara yang mendiamkan tindakan Israel. Sikap diam berarti menyetujui. Istilah “Tacit Exceptance” demikian terkenal dan hampir selalu terjadi di forum Sidang Umum (General Assembly) PBB saat terjadi voting untuk mengambil sikap terhadap kekejaman Israel. Tacit Exceptance adalah sikap diam, tidak bersuara, atau abstain yang dinterpretasikan sebagai penerimaan bahkan dukungan terhadap kejahatan Israel.
Baca Juga: Ulama Asal Palestina Dikirim oleh Turki Utsmani ke Aceh
Gagalnya para Pemimpin untuk Menghambat Kerusakan Lingkungan
Gagalnya para pemimpin dunia untuk mencegah terjadinya krisis global juga terjadi di ranah lingkungan. Hal ini disoroti sangat serius oleh Presiden Colombia, Gustavo Petro. Dalam pidatonya di Sidang Umum PBB akhir September 2024 selama 20 menit, Petro mengecam kehancuran kehidupan manusia dan hewan yang disebabkan oleh keserakahan oligarki global. Kelompok oligarki global ini jumlahnya kecil namun pengaruhnya sangat kuat (karena didukung kekuatan militernya). Mereka menguasai berbagai project multinasional yang mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah.
Mayoritas warga dunia telah bersuara sangat lantang, dari negeri-negeri, dari berbagai ras dan etnis, jutaan turun ke jalan, jutaan berteriak di media sosial. Namun kejahatan terhadap kemanusiaan dan lingkungan terus berlanjut. Sesungguhnya kelompok oligarki global itulah yang memiliki kapasitas untuk menghentikan krisis global. Yang terjadi justru sebaliknya, karena mereka punya kepentingan yang sangat besar dari semua konflik dan peperangan, dari setiap pencemaran dan kerusakan di darat, laut dan udara. Dan tentu saja dari genosida di Gaza.
Mereka memaksa dunia ketiga yang terlilit hutang luar negeri untuk bersikap diam terhadap kejahatan global mereka. Tidak sedikit masyarakat intelektual dan pemimpin lintas agama bersuara agar perang dihentikan dan warga dunia dapat berkonsentrasi pada transformasi ekonomi global yang cepat dan menyelamatkan umat manusia. Namun semua itu diabaikan, bahkan dibungkam.
Baca Juga: Al-Aqsa dan Istiqlal: Dua Pilar Kesadaran dan Kemerdekaan Umat Islam
Akhirnya Presiden Petro menyimpulkan bahwa kekuasaan suatu negara di dunia tidak lagi dijalankan oleh jenis sistem ekonomi, politik atau ideologi yang dimilikinya, tetapi ditentukan oleh seberapa besar kapasitas yang dimilikinya untuk menghancurkan umat manusia. Beliau pun menyerukan agar warga dunia bersatupadu memulai revolusi global untuk menghentikan pengrusakan bumi.
Para pemimpin Muslim juga diam, mengapa?
Di tengah krisis global, muncul pertanyaan: di mana peran para pemimpin negara-negara Islam? Organisasi Kerjasama Islam (OKI) pun tidak luput darinya. Selama ini OKI dituding tidak mampu untuk memperjuangkan maksud utama pendiriannya.
Pendirian OKI dilatarbelakangi peristiwa pembakaran Masjid Al Aqsa oleh ekstrimis Yahudi Bernama Dennis Michael Rohan pada 21 Agustus 1969. Peristiwa yang dikenal sebagai “Black Day” tersebut direspon oleh para pemimpin sejumlah negara Islam dengan penyelenggaraan Konferensi di Rabat, Maroko, pada 22 – 25 September 1969. Saat itulah disepakati Deklarasi Rabat yang menegaskan dibentuknya OKI. Jumlah anggota OKI adalah 57 negara yang sebenarnya mewakili sepertiga kekuatan populasi dunia.
Baca Juga: Catatan Rencana Pengobatan Warga Gaza di Pulau Galang
OKI dianggap “tak berdaya” karena terbatasnya kemampuan dalam mengambil tindakan tegas terhadap konflik dan krisis yang dihadapi negara-negara anggotanya. Berbagai persoalan internal negara-negara anggota OKI konflik bernuansa ekonomi, sosial dan politik berdampak pada sulitnya mereka untuk mengkonsolidasi kekuatan bersama untuk tindakan kolektif sesuai visi misi OKI.
Tidak mustahil ada sebagian dari para pemimpin negara-negara OKI terperangkap pada permainan oligarki global yang menjalankan transactional diplomacy di tengah krisis. Walhasil, Gaza terus dibombardir dan masjid Al Aqsa diserbu kaum penista. Semua terjadi dengan sangat jelas di depan mata, namun para pemimpin OKI hanya terdiam. Desakan rakyat di setiap negara anggota OKI sangat kuat melalui berbagai jalur demokrasi, di parlemen, media sosial dan jalanan. Seolah rakyat dan pemerintah mereka hidup di dua dunia yang berbeda: satu berteriak dalam tangis dan kemarahan, satu lagi diam dalam senyap dan ketidakberdayaan.
Bangkit Kembali, Memimpin dengan Kehormatan
Tak ada yang lebih menyedihkan daripada pemimpin yang tidak berdaya. Hanya mampu diam saat menyaksikan kekuatan besar oligarki global membuat berbagai kerusakan di tingkat global bahkan di dalam negerinya sendiri. Menurut Sayyid Qutb ada solusi kunci agar para pemimpin dunia terutama pemimpin Islam bangkit kembali dari kehilangan marwah kepemimpinan yaitu dengan menjalankan prinsip-prinsip kepemimpinan Islam.
Baca Juga: Kaitan Gunung Muria di Kudus dan Moriah di Palestina
Dalam tafsir Fizhilalil Qur’an Surah Shad 26, Qutb menyimpulkan prinsip-prinsp kepemimpinan Islam dari teguran Allah ‘Azza wa Jalla kepada Nabi Daud sebagai berikut:
يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۢ بِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِࣖ
“Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.”
Ada tiga prinsip utama dari pesan Tuhan tersebut yaitu prinsip mandat langit, prinsip penegakkan hukum dan keadilan di atas dasar kebenaran asasi, dan prinsip kemerdekaan jiwa dari hawa nafsu. Pelanggaran terhadap ketiga prinsip ini menjadi penjelasan terhadap ketidakberdayaan para pemimpin OKI dan seluruh dunia.
Baca Juga: Sunan Kudus Mendirikan Masjidil Aqsa Menara Kudus
Pertama, sejatinya memimpin adalah menjalankan amanah dari Tuhan pemilik bumi dan langit. Pemimpin diberi mandat untuk melindungi bumi dari dua ancaman azasinya yaitu pengrusakan oleh tangan manusia dan pertumpahan darah di antara mereka. Amanah ini berlaku bukan saja pada pemimpin tertinggi di suatu negeri, melainkan semua pemimpin karena ancaman terhadap bumi dan manusia ada di segala lini dan level kepemimpinan.
Kedua, pemimpin bertanggungjawab kepada Tuhan dan seluruh manusia untuk menjamin tegaknya hukum dan keadilan berdasarkan kebenaran (al Haqq). Kebenaran di sini dikembalikan kepada aslinya kebenaran (genuine truth) yang menjadi dasar penciptaan langit dan bumi. Kebenaran asli yang cakupannya tidak sekedar menerapkan hukum di Tengah manusia, melainkan lebih luas darinya. Kebenaran yang meliputi inti penciptaan dunia dan akhirat serta menjadi sebab turunnya risalah Tuhan.
Ketiga, pemimpin haruslah berjiwa merdeka dan dilarang mengikuti hawa nafsu yang berakibat kesesatan dari jalan Tuhan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhawatirkan kesesatan mengikuti syahwat dalam sabdanya:
إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ شَهَوَاتِ الْغَيِّ فِي بُطُونِكُمْ وَ فُرُوجِكُمْ وَمُضِلَّاتِ الْفِتَنِ
Baca Juga: Tantangan Parenting di Era Serba Digital
“Sesungguhnya di antara yang aku takutkan atas kamu adalah syahwat mengikuti nafsu pada perut kamu dan pada kemaluan kamu serta fitnah-fitnah yang menyesatkan.” [HR. Ahmad dari Abu Barzah Al-Aslami]
Ketundukan kepada hawa nafsu yang berbentuk syahwat perut, syahwat kemaluan dan semua dorongan yang menyesatkan seperti ingin mengkonsolidasikan kekuasaan agar langgeng. Dengan menuruti semua hawa nafsu tersebut seorang pemimpin akan tergadai jiwanya, terpasung kesadarannya dan terperangkap tindakannya hanya terfokus kepada kesenangan dunia. Akibatnya dia kehilangan kendali atas dirinya sendiri dan menjadi boneka yang digerakkan tuhan-tuhan kecil yang mengelilinginya. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Sunan Kudus Menantu Ulama Palestina