Oleh: Dr. Adian Husaini, Ketua Umum DDII (www.adianhusaini.id)
Dalam buku “55 Tahun Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia” (Jakarta: DDII, 2022), sejarawan Dr. Tiar Anwar Bahtiar mengungkapkan data menarik seputar kebijakan para pemimpin umat Islam di zaman pra-kemerdekaan. Di tengah cengkeraman penjajah Belanda, para tokoh umat Islam ketika itu melahirkan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), pada 21 September 1937.
Organisasi ini merupakan federasi dari gerakan-gerakan Islam, baik yang bersifat modernis maupun tradisionalis, antara lain: Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Sarekat Islam, Persatuan Islam, Al-Irsyad, dan lainnya. Penggagas organisasi ini adalah K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah), K.H. Muhammad Dahlan dan K.H. Wahab Hasbullah (NU), serta W. Wondoamiseno (Sarekat Islam). Saat pembentukan, selain hadir berbagai organisasi Islam, baik yang bersifat lokal maupun nasional. Dalam musyarawah pertama disetujui penanggungjawab sekterariat federasi ini adalah: W. Wondoamiseno (sekretaris), Mas Mansur (bendahara), Dahlan dan Wahab (anggota). (Deliar Noer, 1996: 262).
Didirikannya organisasi ini sebagai respon terhadap perselisihan furu’iyyah di kalangan umat Islam saat itu yang berpotensi memecah belah umat Islam. Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persatuan Islam (Persis), melakukan beberapa kritik terhadap praktik-praktik peribadatan yang selama ini sering dijalankan oleh kalangan pesantren (kaum tradisionalis).
Baca Juga: Prabowo Klaim Raih Komitmen Investasi $8,5 Miliar dari Inggris
Di antara tema-tema yang paling banyak diperdebatkan antara lain: perayaan Maulid Nabi Saw., perayaan Isra dan Mi’raj, upacara kematian, talaffuzh bin-niyat, qunut subuh, talqin untuk mayit, pembacaan Yasin untuk mayit, dan semisalnya. Kritik-kritik terhadap praktik keagamaan kalangan tradisional ini telah sering menimbulkan ketegangan yang tidak perlu. Oleh sebab itu, para pemimpin berbagai organisasi, terutama Muhammadiyah, NU, dan SI berinisiatif mendirikan federasi ini untuk menghimpun kekuatan umat Islam, terutama dalam rangka menghadapi kaum kolonial.
Dalam platform organisasi ini disetujui bahwa federasi ini akan menjadi “tempat permusyawaratan, suatu badan perwakilan yang terdiri dari wakil-wakil atau utusan-utusan dari berbagai perhimpunan yang berdasarkan agama Islam di seluruh Indonesia.” Tujuannya ialah: “untuk membicarakan dan memutuskan soal-soal yang dipandang penting bagi kemaslahatan ummat dan agama Islam, yang keputusannya itu harus dipegang teguh dan dilakukan bersama-sama oleh segenap perhimpunan-perhimpunan yang menjadi anggotanya…”.
Penjelasan itu tercantum dalam statuta organisasi ini yang disetujui dalam musyawarahnya pada tanggal 14-15 September 1940. Intinya organisasi ini didirikan mengingat perlunya persatuan kaum Muslimin di tanah air dan dunia. Organisasi ini berperan untuk mendamaikan manakala terjadi perselisihan di antara organisasi-organisasi Islam yang ada di Indonesia ini. (Noer, 1996: 263).
Ada sekitar 21 organisasi Islam yang bergabung dengan MIAI hingga tahun 1942, antara lain: Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Al-Islam (Solo), Persyarikatan Ulama (Majalengka), Hidayatul Islamiyah (Banyuwangi), Al-Khairiyah (Surabaya), Persatuan Islam (Persis), Al-Irsyad, Jong Islamitien Bond, Al-Ittahadul-Islamiyah (Sukabumi), Partai Islam Indonesia (PII), Partai Arab Indonesia (PAI), Persatuan Ulama Seluruh Aceh (Sigli), Musyawarat At-Thalibin (Kandangan, Kalimantan), Al-Jami’atul Washliyah (Medan), Nurul Islam (Tanjung Pandan Babel), Majelis Ulama Indonesia (Toli-Toli), Persatuan Muslimin Minahassa, Al-Khairiyah (Surabaya), Persatuan Putera Bornes (Surabaya), Persatuan India Putera Indonesia, dan Persatuan Pelajar Indonesia-Malaya di Mesir.
Baca Juga: Fun Run Solidarity For Palestine Bukti Dukungan Indonesia kepada Palestina
Saat kedatangan Jepang tahun 1942, MIAI termasuk yang dipaksa bubar. MIAI berhasil melaksanakan Kongres Al-Islam atau Kongres Umat Islam yang menghimpun perwakilan seluruh gerakan Islam di Indonesia dan membicarakan mengenai masalah-masalah penting yang dihadapi umat Islam, baik di dalam maupun di luar negeri.
Kongres pertama berhasil dihelat pada 26 Februari sd 1 Maret 1938 di Surabaya. Kongres Al-Islam kedua diadakan di Solo tanggal 2-7 Mei 1939. Kongres ketiga dilaksanakan di Solo, 7-8 Juli 1941. Dalam kongres-kongres tersebut dibicarakan berbagai hal yang menyangkut persatuan umat Islam di Indonesia, solidaritas masalah internasional, dan respon terhadap masalah-masalah aktual yang tengah terjadi saat itu.
Di masa penjajahan Jepang, MIAI dibubarkan pada tanggal 24 Oktober 1943. Satu bulan berikutnya, Novermber 1943, para pemimpin Islam, terutama yang didominasi oleh NU dan Muhammadiyah berkumpul kembali dan mendirikan satu federasi baru bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau disingkat Masyumi.
Tujuan didirikannya organisasi ini masih sama seperti MIAI, yaitu untuk “memperkuat kesatuan semua organisasi Islam”. Hanya saja, karena tekanan dari Jepang, maka dicantumkan pula tujuan lain, yaitu “membantu Dai Nippon dalam kepentingan Asia Timur Raya.” Ini satu contoh bagaimana para tokoh umat melakukan strategi dakwah di bawah tekanan penjajah.
Baca Juga: KNEKS Kolaborasi ToT Khatib Jumat se-Jawa Barat dengan Sejumlah Lembaga
Seperti MIAI, Masyumi tetap dipimpin oleh kiai pendiri NU yang kharismatik K.H. Hasyim Asy’ari. K.H. Mas Mansur dari Muhammadiyah menduduki jabatan sebagai wakil ketua umum; sedangkan K.H. Wahid Hasyim menjabat sebagai ketua harian. Pengurus-pengurus lain didominasi oleh NU dan Muhammadiyah ditambah pengurus yang mewakili dua organisasi lain yang bergabung kemudian, yaitu K.H. Ahmad Sanusi dari Persatuan Umat Islam Sukabumi dan K.H. Abdul Halim dari Perikatan Umat Islam Majalengka.
Salah satu contoh keputusan strategis Masyumi adalah memutuskan pendirian Universitas Islam yang pertama di Indonesia, pada 8 Juli 1945. Dalam buku “Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito” (Jakarta: Kompas, 2014), dikisahkan, bahwa pada akhir tahun 1944, Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) membuat dua keputusan penting.
Pertama, membentuk barisan mujahidin dengan nama Hizbullah. Kedua, mendirikan Perguruan Tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi Islam. Selanjutnya dibentuk Panitia Perencana STI yang dipimpin Muhammad Hatta. STI resmi dibuka pertama kali pada 8 Juli 1945.
Inilah satu contoh kebijakan para pemimpin umat ketika itu dalam memahami persoalan dan memberikan solusinya. Di tengah banyaknya perbedaan masalah-masalah pemahaman keagamaan, para tokoh umat ketika itu mampu menggalang persatuan. Hasilnya, sangat fantastis. Yaitu, terwujudnya kemerdekaan RI dan berjaya dalam mempertahankan kemerdekaan.
Baca Juga: [BEDAH BERITA MINA] ICC Perintahkan Tangkap Netanyahu dan Gallant, Akankah Terwujud?
Semoga kebijakan para pemimpin umat ketika itu bisa kita teladani. Sebab, tantangan yang dihadapi umat di zaman ini juga tidak kurang beratnya, dibandingkan dengan tantangan di zaman itu. (Pekanbaru, 4 Oktober 2022). (AK/R4/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Cuaca Jakarta Berawan Tebal Jumat Ini, Sebagian Hujan