Bekal Utama Keluarga Islami

Allah Ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An Nisa: 1)

Melalui ayat diatas Allah mengingatkan kita akan kuatnya hubungan antara taqwa kepadaNya dengan kehidupan sosial. Kehidupan sosial kita bermula dari hubungan antara Adam dan Hawa. Lalu dari keduanya Dia mengembangbiakkan umat manusia hingga sekarang. Mereka saling berinteraksi satu sama lain demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan itu mereka menjaga hubungan sosial yang harmonis. Dan diantara hubungan yang paling penting dijaga adalah hubungan kekerabatan.

Semua itu terjadi atas kuasa Allah Ta’ala yang menciptakan manusia, mengembangbiakkannya, memenuhi segala hajat mereka serta menjaga hubungan sosial diantara mereka. Dengan demikian kita menyadari ketergantungan kita yang begitu kuat kepadaNya dalam menjalani kehidupan di dunia. Dan kita tidak akan berhasil mewujudkan hubungan sosial yang harmonis tanpa taqwa kepadaNya.

Dan diantara hubungan sosial yang menjadi perhatian utama kita adalah hubungan kita dengan pasangan kita.

Saat menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsirnya, mengutip sebuah hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah, di mana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ، فَإِنَّ المَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ”

“Berwasiatlah (dalam kebaikan) pada wanita, karena wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah pangkalnya. Jika kamu coba meluruskan tulang rusuk yang bengkok itu, maka dia bisa patah. Namun bila kamu biarkan maka dia akan tetap bengkok. Untuk itu nasihatilah para wanita”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hajar al Asqalani mengomentari hadits tersebut

قِيلَ فِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ حَوَّاءَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعِ آدَمَ الْأَيْسَرِ وَقِيلَ من ضلعه الْقصير أخرجه بن إِسْحَاقَ…   

Artinya: “Disebutkan bahwa hadits di atas adalah isyarat bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang kiri, dan ada pula yang mengatakan tulang rusuk yang pendek, sebagaimana dicatat Ibnu Ishaq… (Ibnu Hajar al Asqalani. Fathul Bari Syarah Shahih al Bukhari. Beirut – Darul Ma’rifah juz 6 hal. 368)

Baik secara harfiah maupun kiasan, keterangan di atas mengungkapkan betapa eratnya hubungan kita dengan pasangan kita. Rasul mengaitkan perintah nasihat dengan hakikat hubungan kita dengan pasangan. Seperti halnya Allah mengaitkan perintah taqwa dengan hakikat hubungan kita dengan pasangan..

Itu berarti hubungan yang terjadi antara kita dengan pasangan bukanlah hubungan manusiawi biasa. Untuk itulah di ayat lain Allah menyebut hubungan kita dengan pasangan sebagai ‘mitsaqan ghalidhan’:

{ وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُۥ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظًا }

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An Nisa: 21)

Atas dasar akad nikah yang Allah sebut sebagai mitsaqan ghalidan inilah kita saling menghalalkan diri kita dengan pasangan yang sebelumnya untuk menyentuh dan menatapnya lama pun haram bagi kita. Dengan mitsaq ghalida itulah kita saling berbagi dengan pasangan, saling mencurahkan perhatian, saling menumbuhkan dan saling berkorban.

Bahkan bermula dari mitsaqan ghalizan itulah kita membangun keluarga yang lebih besar, yang di dalamnya terjadi hubungan silaturahim yang beragam. Ada hak dan kewajiban yang diutamakan untuk ditunaikan di dalamnya lebih dulu dibandingkan hak dan kewajiban terhadap non kerabat.

Maka dari itu kita lalu memahami adanya semangat pertanggungjawaban yang besar baik sebagai seorang suami, istri, ayah, ibu, anak, saudara ataupun kerabat, bahkan sesama muslim dan sesama manusia. Semangat itu lahir dari kita yang dilahirkan melalui pernikahan dan terus bertumbuh saat kita menikah dan menjalani kehidupan rumah tangga.

Semangat pertanggungjawaban ini menjadi energi yang mendorong kita untuk terus mengembangkan diri, memberi, mencurahkan perhatian, merawat hubungan dan menumbuhkan pasangan kita, anak-anak kita dan keluarga kita.

Kita butuh sumber energi yang besar untuk menjalaninya. Dan sumber energi itu tidak lain adalah taqwa kepada Allah Ta’ala. Sebab kepadaNya kita berharap semua bentuk pertanggungjawaban itu mengantarkan kita, keluarga dan kerabat kita dan semua orang-orang tercinta di sekitar kita bertemu, berkumpul di surga di hadapan Allah Ta’ala.

{ٱدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ أَنتُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ تُحْبَرُونَ}

“Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan”. (Az Zukhruf: 70).

Semoga Allah Ta’ala ciptakan ketenangan, cinta dan kasih sayang diantara kita dan Dia anugerahkan kepada kita kebahagian hidup, bukan hanya di dunia tapi juga di Akhirat. (RA 02)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.