Bermewah-mewahan akan Menghancurkan Sebuah Negeri

Oleh: (Pimpinan AQL Islamic Center)

ALLAH Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا أَرَ‌دْنَا أَن نُّهْلِكَ قَرْ‌يَةً أَمَرْ‌نَا مُتْرَ‌فِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْ‌نَاهَا تَدْمِيرً‌ا

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS Al-Isra` [17]: 16).

Ada beberapa tafsiran ulama mengenai ayat di atas. Pertama, yang dimaksud dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang-orang yang hidup mewah (أَمَرْ‌نَا مُتْرَ‌فِيهَا) dalam ayat ini adalah ketentuan atau takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka dan segala sesuatu itu dimudahkan melakukan apa yang ditakdirkan bagi mereka.

Jadi maksud ayat ini adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan mereka untuk melakukan kemunkaran-kemunkaran yang mereka inginkan sehingga mereka pantas mendapatkan azab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kedua, yang dimaksudkan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat ini adalah Dia memerintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu untuk melakukan ketaatan, tetapi mereka malah melakukan kefasikan dan kemunkaran, sehingga negeri itu pantas mendapatkan murka dan azab. Tafsiran ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Sa’id bin Jubair, dan merupakan pendapat jumhur ulama.

Ketiga, ada yang membaca ayat ini dengan ammarna (أَمَّرْنَا) dengan mentasydidkan mim sehingga maknanya adalah kami menjadikan orang-orang yang hidup mewah itu sebagai pemimpin dan penguasa di negeri itu. Lalu mereka berbuat kemaksiatan dan kemunkaran  sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menghancurkan negeri itu karena kemaksiatan mereka. Ini diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas, Abu al-“aliyah, Mujahid, al-Rabi’ bin Anas dan Hasan al-Basri.

Keempat, bahwa yang dimaksudkan dengan amarna (أَمَرْ‌نَا) dalam ayat ini adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala memperbanyak orang-orang yang hidup bermewah-mewahan di negeri itu, lalu mereka berbuat kefasikan dan kemunkaran. Sehingga negeri itu dibinasakan karena dosa-dosa mereka. Ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ikrimah, Hasan al-Basri, al-Dhahhak, Qatadah dan al-Zuhri.

Mungkin timbul pertanyaan dalam diri kita, kenapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa azab dan kehancuran itu akan meliputi semua negeri itu? Padahal yang melakukan kefasikan dan kemunkaran itu hanyalah orang-orang yang hidup mewah di antara penduduk negeri itu. Para ulama menjelaskan bahwa hal itu mungkin dijawab dengan dua jawaban. Pertama, hal itu karena masyarakat bawah atau kelompok masyarakat lain menjadi pengikut dari kelompok elit tersebut. Sebagaimana firman-Nya.

وَقَالُوا رَ‌بَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَ‌اءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا

Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Ahzab [33]: 67).

وَبَرَ‌زُوا لِلَّـهِ جَمِيعًا فَقَالَ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُ‌وا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنتُم مُّغْنُونَ عَنَّا مِنْ عَذَابِ اللَّـهِ مِن شَيْءٍ

Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: “Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja?” (QS. Ibrahim [14]: 21).

Kedua, karena jika sebagian orang dalam suatu masyarakat atau bangsa melakukan kemunkaran, sedangkan yang lainnya tidak melarang dan mencegahnya, maka azab Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menimpa mereka seluruhnya, sesuai dengan firman-Nya.

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّـهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (Surat Al-Anfal [8]: 25).

Melampuai Batas

Bermewah-mewahan yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-taraf (الترف) berarti melampaui batas dalam menikmati dan menggunakan nikmat yang dianugerahkan AllahSubhanahu wa Ta’ala. Atau dalam kata lain nikmat Allah yang digunakan secara berlebih-lebihan dan melampaui batas serta diikuti dengan keangkuhan dan perbuatan zalim.

Sehingga orang yang hidup bermewah-mewahan adalah orang yang melampuai batas dalam menggunakan dan membelanjakan rezeki yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya demi untuk kesenangan duniawi, selalu ingin lebih dari yang lain dalam segala hal, dan selalu berusaha untuk mencapai puncak dalam hal yang bersifat dunia, seperti dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal, serta kendaraan.

Dan ketika at-taraf (bermewah-mewahan) ini disebut dalam Al-Qur’an, maka ayat-ayat Al-Qur`an selalu menunjukkan bahwa al-taraf ini merupakan sikap dan mental yang tercela, dan selalunya kelompok mutrifun (مترفون) inilah yang menyebabkan kehancuran suatu kaum atau bangsa.

وَمَا أَرْ‌سَلْنَا فِي قَرْ‌يَةٍ مِّن نَّذِيرٍ‌ إِلَّا قَالَ مُتْرَ‌فُوهَا إِنَّا بِمَا أُرْ‌سِلْتُم بِهِ كَافِرُ‌ونَ

Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatanpun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (Surat Saba` [34]: 34).

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mengingatkan umatnya agar jangan sampai jatuh kepada gaya hidup bermewah-mewahan ini.

عن عَمْرو بْنَ عَوْفٍ الأنصاري رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ إِلَى الْبَحْرَيْنِ يَأْتِي بِجِزْيَتِهَا ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ صَالَحَ أَهْلَ الْبَحْرَيْنِ ، وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ الْعَلَاءَ بْنَ الْحَضْرَمِيِّ , فَقَدِمَ أَبُو عُبَيْدَةَ بِمَالٍ مِنْ الْبَحْرَيْنِ فَسَمِعَتْ الْأَنْصَارُ بِقُدُومِ أَبِي عُبَيْدَةَ ، فَوَافَوْا صَلَاةَ الْفَجْرِ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَلَمَّا انْصَرَفَ تَعَرَّضُوا لَهُ , فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ رَآهُمْ ، ثُمَّ قَالَ : ” أَظُنُّكُمْ سَمِعْتُمْ أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ قَدِمَ بِشَيْءٍ ” ، قَالُوا : أَجَلْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، قَالَ : ” فَأَبْشِرُوا وَأَمِّلُوا مَا يَسُرُّكُمْ , فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ , فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ

Dari ‘Amru bin ‘Auf al-Anshari ra. Bahwa Rasulullah SAW mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ke Bahrain untuk mengambil jizyahnya. Rasulullah SAW membuat perjanjian damai dengan penduduk Bahrain, beliau mengangkat Al-Ala` bin Al Hadhrami sebagai pemimpin mereka. Lalu Abu Ubaidah datang dengan membawa harta dari Bahrain, kaum Anshar pun mendengar kedatangan Abu Ubaidah, lalu mereka shalat shubuh bersama Rasulullah SAW. Seusai shalat beliau beranjak pergi, namun mereka menghadang beliau, maka Rasulullah SAW tersenyum saat melihat mereka, setelah itu beliau bersabda: “Aku kira kalian mendengar bahwa Abu Ubaidah datang membawa sesuatu. Mereka menjawab: ‘Benar, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda: “Bergembiralah dan berharaplah terhadap sesuatu yang dapat memudahkan kalian, demi Allah bukan kemiskinan yang aku takutkan pada kalian, tapi aku takut dunia dibentangkan untuk kalian seperti halnya dibentangkan pada orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba meraihnya sebagaimana mereka berlomba-lomba, lalu dunia itu membinasakan kalian seperti halnya membinasakan mereka.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim).

Dalam al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta’ala  juga mengingatkan hamba-Nya tentang hal itu:

وَلَوْ بَسَطَ اللَّـهُ الرِّ‌زْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْ‌ضِ وَلَـٰكِن يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ‌ مَّا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ‌ بَصِيرٌ‌

Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (Surat Asy-Syura [42]: 27).

Melihat kondisi bangsa kita dan bagaimana gaya hidup golongan elit masyarakat kita, baik dari pemimpin politik, pejabat, pengusaha bahkan dari sebagian kalangan yang menyebutkan diri mereka sebagai ustadz atau ulama, maka mungkin kita bisa mengambil i’tibar dari ayat di atas.

Mungkin golongan masyarakat kita yang hidup bermewah-mewahan sudah demikian banyaknya, mereka juga yang memegang kendali pemerintahan dan penentu kebijakan, dan mereka sama sekali tidak lagi mempedulikan seruan Allah agar mereka taat dan menjauhi perbuatan fasik dan kezaliman.

Sebaliknya mereka malah semakin larut dalam kenikmatan duniawi tanpa peduli lagi akan halal dan haramnya. Sehingga Allah SWT. menimpakan kepada bangsa ini bencana demi bencana yang tidak ada seorangpun yang mampu menolak dan mencegahnya.

Semoga masyarakat bangsa kita tercinta ini bisa mengambil pelajaran dan itibar sehingga dapat kembali kepada Allah Ta’ala dengan meninggalkan gaya hidup materialistis dan hedonis yang sudah menggerogoti budaya dan nilai-nilai luhur bangsa ini. (A/R4/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)