Nikah Beda Agama Kembali Mencuat di Indonesia

Ulama Indonesia KH Bachtiar Nasir (Foto: UBN)

oleh KH Bachtiar Nasir

Akhir-akhir ini, kasus pernikahan beda agama kembali marak terjadi di Indonesia. Perlu kita sadari bahwa negara kita tercinta ini adalah negara yang berdasarkan kepada Pancasila yang menjadi kesepakatan para pendiri bangsa. Dalam sila pertamanya ditegaskan bahwa negara ini berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, sebagai warga negara kita harus menyadari bahwa negara ini adalah negara yang berketuhanan yang tunduk kepada ajaran dan nilai agama masing-masing rakyatnya. Bukan negara yang ingin bebas dari segala aturan dan norma.

Dan jika kita meminta negara untuk melegalkan sesuatu yang dilarang oleh hampir semua agama yang diakui di negara ini demi alasan HAM atau agar diakui dan mendapatkan kepastian hukum, berarti kita meminta negara kita ini untuk menentang dan melanggar dasar yang sudah menjadi konsensus kita bersama dalam bernegara. Hal itu sama saja kita meminta negara untuk melegalkan zina dan narkoba yang diharamkan oleh semua agama.

Dalam UUD 1945 pasal 29 ayat I ditegaskan: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan dalam ayat 2 disebutkan: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Negara yang berketuhanan ini tidak boleh membiarkan, membantu atau menganjurkan rakyatnya untuk melanggar aturan dan ajaran agama yang dianut oleh rakyatnya. Sebaliknya negara harus memberikan kebebasan, membantu dan memberikan segala kemudahan bagi rakyatnya untuk menjalankan aturan dan ajaran agama yang dianutnya tanpa hambatan dan rintangan.

Selanjutnya mengenai hukum pernikahan beda agama dilihat dari aturan dan hukum Islam, perlu ditegaskan bahwa haram hukumnya seorang wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim secara mutlak. Baik laki-laki itu dari golongan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) ataupun dari agama musyrik lainnya. Hal ini telah ditegaskan dalam Alquran dan merupakan ijma’ (konsensus) para ulama Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِ‌كِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ‌ مِّن مُّشْرِ‌كٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَـٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ‌ ۖ وَاللَّـهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَ‌ةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُ‌ونَ

“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Surat al-Baqarah [2]: 221).

Dalam tafsirnya, Imam al-Thabari menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan bagi wanita mukminah untuk menikah dengan lelaki musyrik dari jenis manapun. Maka hendaklah laki-laki beriman (para wali wanita mukminah) tidak menikahkan seorang wanita mukminah dengan laki-laki non-muslim karena itu adalah hal yang haram dilakukan. Sungguh menikahkan wanita mukminah dengan seorang budak yang beriman dan meyakini Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya serta wahyu yang dibawanya lebih baik daripada menikahkannya dengan seorang laki-laki merdeka tapi musyrik, meskipun terhormat keturunannya.

Baca Juga:  Qurban dan Keteladanan Keluarga Nabi Ibrahim

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya juga menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah janganlah kamu menikahkan seorang wanita muslimah dengan seorang laki-laki musyrik. Dan umat Islam telah berijma’ (konsensus) bahwa seorang laki-laki musyrik tidak boleh sama sekali bercampur dengan wanita muslimah karena itu merupakan bentuk merendahkan Islam.

Imam al-Baghawi dalam tafsirnya juga menegaskan bahwa merupakan ijma’ umat akan tidak bolehnya seorang wanita muslimah dengan laki-laki musyrik.

Dan dalam tafsirnya, Syaikh al-Sa’di menjelaskan bahwa ayat (وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِ‌كِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ) ini bersifat umum dan tidak ada yang mengkhususkannya.

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan:

فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْ‌جِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ‌ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka..” (Surat al-Mumtahanah [66]: 10).

Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat inilah yang mengharamkan wanita muslimah untuk laki-laki non muslim yang pada masa awal Islam diperbolehkan.

Imam al-Qurthubi juga menjelaskan dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan wanita muslimah bagi laki-laki non-muslim dan juga mengharamkan laki-laki muslim menikahi wanita musyrik.

Dalam kitabnya al-Mughni, Ibnu Qudamah ketika menjelaskan perkataan al-Khurqi ‘dan tidak boleh sama sekali menikahkan orang kafir dengan wanita muslimah’ ia berkata, “Adapun orang kafir maka ia tidak punya kekuasaan sama sekali atas wanita muslimah berdasarkan ijma’ ulama, di antaranya Imam Malik, Imam Syafi’i, Abu Ubaid dan ashhab al-ra`yi (pengikut Imam Abu Hanifah). Dan Ibnu al-Mundzir berkata, “Para ulama yang kami ketahui sepakat (ijma’) akan hukum perkara ini”.

Jelas dan terang benderang lah bagi kita bahwa haram hukumnya bagi wanita muslimah untuk menikah dengan laki-laki non muslim. Dan jika masih ada di antara wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki non-muslim maka pernikahannya batal menurut Islam dan hubungan yang mereka lakukan setelah itu adalah perzinahan dan merupakan dosa besar. Bahkan para ulama menjelaskan bahwa barangsiapa yang masih tetap melakukan hal itu, padahal dia tahu bahwa itu sesuatu hal yang diharamkan tapi dia malah menghalalkannya maka ia telah keluar dari Islam.

Sedangkan mengenai hukum seorang laki-laki muslim menikahi perempuan non muslim, maka harus kita ketahui dulu bahwa haram hukumnya bagi laki-laki muslim menikahi perempuan kafir dan musyrik penyembah berhala, atheis (tidak bertuhan) dan perempuan murtad (yang keluar dari Islam baik masuk ke agama Yahudi dan Nasrani, ke agama lain ataupun tidak beragama sama sekali). Karena tidak mungkin ada titik temu antara akidah tauhid murni dengan akidah musyrik, penyembah berhala atau yang tidak mempercayai adanya Tuhan sama sekali. Sebagaimana ditegaskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Alquran:

Baca Juga:  11 Rekomendasi Konferensi Al-Aqsa di Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta

وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِ‌كَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمنَةٌ خَيْرٌ‌ مِّن مُّشْرِ‌كَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِ‌كِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ‌ مِّن مُّشْرِ‌كٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَـٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ‌ ۖ وَاللَّـهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَ‌ةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُ‌ونَ

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Surat Al-Baqarah [2]: 221).

وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ‌ وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ۚ ذَٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّـهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ ۚ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Surat Al-Mumtahanah [60]: 10).

Mafsadah Lebih Besar

Tetapi, ada pengecualian dari hukum umum di atas, di mana menurut jumhur ulama dibolehkan bagi laki-laki muslim untuk menikahi perempuan ahli kitab (kaum Yahudi dan Nasrani) yang baik (‘afifah) dan menjaga kehormatannya. Meskipun dibolehkan, tapi kebanyakan ulama menjelaskan bahwa meninggalkannya adalah lebih baik. Adapun dalil dibolehkannya adalah berdasarkan apa yang ditegaskan dalam Alquran:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَ‌هُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ‌ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ وَمَن يَكْفُرْ‌ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَ‌ةِ مِنَ الْخَاسِرِ‌ينَ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. ” (Surat Al-Maidah [5]: 5).

Dan diriwayatkan bahwa Huzaifah bin al-Yaman, Utsman bin Affan dan Thalhah bin Ubaidillah telah menikahi perempuan ahli kitab.

Baca Juga:  Mensyukuri Nikmat Rizki dengan Berqurban

Namun, seorang muslim yang ingin menikah dengan perempuan ahli kitab harus memperhatikan syarat-syarat yang mesti dipenuhi agar ia dapat menikahi perempuan ahli kitab tersebut, di antaranya adalah:

Pertama, perempuan itu harus panganut Yahudi atau Nasrani yang meyakini agamanya bukan orang yang atheis, keluar dari agamanya atau yang tidak beragama.

Kedua, ia harus perempuan baik-baik yang menjaga kehormatan.

Ketiga, bukan perempuan yang memerangi dan memusuhi Islam.

Keempat, tidak ada fitnah atau bahaya yang kemungkinan besar akan terjadi jika tetap dilakukan pernikahan tersebut karena sesuatu yang dibolehkan itu selalu terikat dengan kaedah ‘adam al-dharar (tidak ada mudharat) sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam لا ضرر ولا ضرار (Tidak boleh menimbulkan bahaya atau membahayakan yang lain) (HR. Ibnu Majah, Abu Daud, Ahmad dan Imam Malik).

Dan di antara mudharat atau bahaya yang mungkin timbul dari pernikahan seorang muslim dengan perempuan ahli kitab adalah:

Pertama, semakin banyaknya laki-laki muslim yang ingin menikah dengan wanita ahli kitab yang menyebabkan banyaknya perempuan muslimah yang tidak menikah.

Kedua, ditakutkan bahwa kepemimpinan dalam keluarga itu bukan di tangan laki-laki sebagaimana yang ditetapkan dalam Alquran, baik karena peraturan dan undang-undang negara ataupun adat istiadat daerahnya.

Ketiga, laki-laki muslim itu dalam posisi khawatir akan agama anak-anaknya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Thabari dalam tafsirnya bahwa di antara syarat dibolehkan seorang muslim untuk menikahi wanita ahli kitab adalah ia dalam posisi tidak khuwatir anaknya akan dipaksa untuk kafir.

Maka untuk lebih selamat dan demi kehati-hatian lebih baik seorang muslim tidak menikahi wanita ahli kitab karena sulitnya untuk memenuhi syarat-syaratnya dan karena banyaknya mudharat yang akan timbul karena perkawinan beda keyakinan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas tidak hanya menganjurkan untuk menikahi wanita muslimah saja, tapi yang agamanya baik dan sholehah.

Hal itu juga sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 yang mengharamkan pernikahan beda agama ini karena mafsadahnya lebih besar dari manfaatnya.

Sebagai muslim tentu seharusnya kita mengikuti ajaran dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menentukan kriteria yang dapat kita jadikan pasangan hidup kita. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tuntunan kepada kita bahwa yang mesti kita lihat dari calon yang akan menjadi pasangan kita adalah agama dan akhlaknya.

Karena dengan keduanya Insyaallah akan menjamin kebaikan dan kebahagiaan bagi pasangan yang menjalankannya. Seorang yang taat dalam beragama akan selalu menjalan kewajibannya kepada keluarganya dan menegakkan agama Allah dalam keluarganya. Dan orang yang bagus akhlaknya tidak akan menyakiti keluarganya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا ، وَلِحَسَبِهَا ، وَجَمَالِهَا ، وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Wanita dinikahi karena 4 hal : hartanya, kemuliaannya, kecantikannya dan agamanya. maka pilihlah yang memiliki agama maka engkau akan beruntung.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: kurnia

Editor: Widi Kusnadi