Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bicara Pribumi Melanggar SARA? (Oleh Yayan DNS)

Ali Farkhan Tsani - Senin, 23 Oktober 2017 - 16:24 WIB

Senin, 23 Oktober 2017 - 16:24 WIB

300 Views

Oleh  YAYAN DNS, Pemerhati Politik dan Sejarah Islam

Jangan tergesa-gesa dituding SARA, kalau penulis atau siapapun menyebut kata pribumi atau pendatang dalam kancah sejarah perjuangan bangsa.

Istilah “pribumi dan pendatang” tidak ada hubungannya dengan nuansa politik. Ini adalah realita sejarah yang tidak bisa ditepis atau dikesampingkan.

Sejarah perjuangan bangsa mencatat dengan tinta emas atau dengan tetesan darah dan air mata, bahwa “doeloe” dari abad penjajahan, abad ke-16 sampai dengan abad ke-19-20, selama 350 tahun. Dari saat penjajah menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Sunda Kelapa, hingga pecahnya Perang Dunia ke-2 dan berakhir di front Barat dan di front Timur. Pejuang-pejuang kemerdekaan adalah pribumi dari semua suku bangsa, agama dan daerah, bukan pendatang. Berceritera tentang pribumi dan pendatang bukanlah ceritera tabu atau “dongeng larangan” tempo doeloe.

Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata

Jangan berceritera tentang “Nyi Blorong di malam Jumat kliwon”, kata kakek dan nenek, saat penulis masih kecil. Berceritera tentang Pribumi dan Pendatang, bukan “dongeng larangan”, tetapi realita sejarah yang harus dan wajib diketahui, jangan ditabukan

Beda Visi

Semboyan “Merdeka atau mati”, saat itu berkumandang di mana-mana sebagai refleksi dan manisfetasi dari butir butir yang terkandung dalam semangat Sumpah Pemuda. “Satu bangsa, bangsa Indonesia. Satu bahasa, bahasa Indonesia. Satu Tanah Air, Tanah Air Indonesia”.

Adalah kenyataan sejarah, bahwa Sumpah Pemuda yang merupakan motor penggerak dari perjuangan anak bangsa adalah terdiri dari suku suku bangsa pribumi, yang bertujuan untuk menentang kolonialisme Belanda secara bersama sama. Mereka pribumi bukan dari suku bangsa Arab, India atau etnis Cina. Mereka bukan suku bangsa yang terjajah.

Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga

Mereka disibukkan dengan kegiatan berniaga, sesuai dengan tujuan mereka sebagai seorang perantau di negeri orang, tidak peduli pada kegiatan politik kekuasaan. Konsentrasi nafas kehidupan mereka hanya pada berniaga, tidak peduli siapa yang berkuasa.

Hal ini senafas dan sejalan dengan rumusan pandangan hidup Yahudi diaspora (yahudi perantauan) yang disampaikan oleh Mayer Hamzel Rothchilt dari Dinasti kerajaan Banker Rothchilt sebagai seorang kapitalis yang sangat agresif.

Semboyannya, “Give me over economic control nations and Idon’t care who right its law”. Berikan kesempatan kepada kami untuk mengendalikan ekonomi suatu bangsa dan kami tidak peduli siapa yang berkuasa.

Dari rumusan itu dapat disimpulkan, bahwa mereka  hanya butuh kesempatan untuk mengendalikan ekonomi suatu bangsa, bukan kekuasaan politik. Tapi dalam perkembangan berikutnya, kendali ekonomi sering kali bertabrakan dengan kebijakan penguasa, maka terpanggilah mereka untuk memegang kendali kekuasaan melalui berbagai tahapan.

Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia

Tahap pertama, mereka menguasai birokrasi penguasa dengan budaya suap. Semua urusan kebutuhan perniagaan diselesaikan dengan suap. Walaupun pelaku dan penerima penyuapan dijadikan tumbalnya. Namun mereka tidak pernah sadar, terlena dalam buaian “mimpi indah”, ingin cepat kaya.

Tahap kedua, mereka terjun dalam politik praktis dengan pencitraan lebih nasionalis dari pejuang pejuang nasionalis sejati atau numpang beken lewat loby-loby intensif dengan tokoh-tokoh kenamaan. Mereke terjun dengan berbekalkan uang pelicin dan dengan target mencapai suatu posisi kekuasaan.

Superioritas Ekonomi

Tidak terlepas dari pengaruh politik global, superioritas ekonomi yang telah ada dalam genggaman dan peluang menggapai kekuasaan sangat terbuka melalui pintu gerbang “demokrasi” yang dimaknai sebagai kebebasan dan persamaan hak. Hal itu telah memanggil etnis Cina untuk terjun di arena politik kekuasaan untuk sama sama membangun negri ini untuk kepentingan seluruh anak bangsa.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah

Terlalu naif kalau ada tuduhan atau kecurigaan, bahwa kekuasaan politik Cina hanya berorientasi untuk memproteksi seluruh kepentingan etnis Cina. Sama dengan perilaku Yahudi diaspora untuk melindungi kaumnya. Nah tuduhan seperti itu (buruk sangka) baru  termasuk pada katagori melanggar SARA.

Pandangan Konserfatif

Orang Barat yang mengaku dirinya, sebagai kaum intelektual dan kampiun demokrasi, ternyata masih berpandangan konserfatif, “Anti kulit berwarna”. Realitanya, anti kulit hitam dan “Anti bahaya kuning”. Maksudnya anti Cina dan Jepang yang diangganya sebagai rival kebuyutan dalam kompetisi perniagaan. Atau juga anti Islam dengan stigma Islam teroris musuh demokrasi dan musuh seluruh ummat manusia.

Bangkrutnya Eropa dan Amerika disebut-sebut sebagai akibat lengah terhadap apa yang disebut sebagai “Bahaya kuning”. Mungkin juga ada benarnya dari sudut pandang kekalahan kompetisi bidang pasar ekspor, terutama dalam bidang elektonik dan outo motiv. Tetapi, penyebab runtuhnya ekonomi Amerika dan Eropa secara fundamental adalah permainan kaum kapitalisme Yahudi  yang secara total memegang kendali mesin ekonomi Barat.

Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir

Kini bermunculan di negeri kita kader-kader bangsa dari etnis Cina, jangan dituding ada kaitannya dengan RRC dan Singapura. Mereka menganut sistem politik yang berbeda, Singapura berhaluan kapitalis dan RRC berhaluan komunis. Sekalipun dalam bidang ekonomi kepentingannya sama. Adapun ada hubungan harmonis dengan kedua negara tersebut hanya bersifat hubungan bilateral biasa, tidak ada kaitan ideologis sebagai missi konspirasi, sekali lagi tidak.

Salahkah Melindungi Etnis

Penulis adalah dari suku Sunda, siapa yang bisa menyalahkan dan melarang penulis bila penulis mencintai bahasa, seni dan budaya serta kuliner khas Sunda yang penulis sukai?

Demikian pula bila ada kader kader pemimpin bangsa dari etnis Cina, mencintai bahasa, seni, budaya dan makanan khas Cina. Apa harus dilarang karena takut dituduh melanggar SARA. Budaya takut SARA terkadang akan melahirkan karakter kepura-puraan dan munafik.

Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah

Mencintai etnis sendiri adalah keniscayaan kultural, kalau belum bisa dikatakan sebagai fitrah manusia, tidak perlu diancam dengan isu SARA.

Adapun yang dilarang adalah mengabaikan dan menganaktirikan suku bangsa lain, sinter klas. Kader pemimpin seperti itu harus dugulingkan dari kursinya, apapun etnisnya. Semoga sampai di sini penulis tidak dituding sebagai melanggar SARA.

Salahkah Pribumi Traumatis

Banyak pelajaran atau ibroh bagi generasi yang datang kemudian dari berbagai peristiwa berikut, yang telah terjadi dalam dinamika sejarah panjang umat manusia di berbagai belahan bumi.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah

  1. Secara bertahap dan sistematis, bangsa Afrika Selatan yang Muslim digeser oleh kaum Katolik, baik kulit berwarna, maupun kulit putih, hanya dalam tempo satu abad, abad ke-19 ke abad ke-20. Konflik pura-pura Iant Smith versus Nelson Mandela.
  2. Secara bertahap dan sistematis, penduduk asli Benua Amerika, Indian, digeser oleh kaum emigran dari Eropa ;
  3. Secara bertahap dan sistematis, orang Melayu, penghuni P.Singapura tergeser oleh etnis Cina yang datang dari Tiongkok.
  4. Secara bertahap dan sistrmatis, bangsa Palestina terusir oleh kaum Yahudi, terpojok di Jalur Gaza yang sempit.
  5. Secara bertahap dan sistematis, penduduk asli Benua Australia. Aborijin tergeser oleh kaum emigran dari Eropa.
  6. Philipina, berasal dari nama Putra mahkota kerajaan Spanyol, Pangeran Philipus 2, semula bernama Gadis Malaya Darussalam atau orang Barat menamakannya dengan panggilan Malaya Virgin. Di mana kaum muslimin secara bertahap dan sistematis digeser dan berganti agama menjadi penganut agama Katolik.

Lalu, bolehkah pribumi belajar dari sejarah bangsanya dan bangsa-bangsa lain yang tergeser dan tergusur oleh pendatang dari negeri seberang?

Kalau tidak boleh atau dilarang, siapakah yang melarangnya? Atau inikah yang disebur Froxy war, perang siluman, musuh (penjajah) yang tidak nampak. Atau sebagai “Neo kolonialisme”, Penjajahan bentuk baru?

Walau secara formal tidak ada yang melarang, tapi situasi dan kondisi itu cepat atau lambat pasti terjadi. Yang penting kita hidup dalam kemajemukan, “Bhinneka Tunggal Ika”.

Ini adalah sebuah konsekwensi hidup dinamis berbangsa dan bernegara, tanpa SARA.

Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi

Wallahu A‘lam Bishshawwab. (A/RS2/RS3)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan

Rekomendasi untuk Anda