Lahir di Kampung Bukit Badong, Kuala Selangor pada 8 Oktober 1958, Dato’ Rusly Abdullah, atau lebih dikenal sebagai Chef Li, memiliki latar belakang yang menginspirasi. Gelar Doktor Falsafah (PhD) dalam bidang Sains Kulinari dari AWU Iowa University, USA, tidak hanya menegaskan keahliannya dalam dunia kuliner, tetapi juga menandai perjalanan panjang yang membawanya dari bank ke dapur, hingga menjadi penulis sukses.
Inspirasi Chef Li untuk menekuni dunia kuliner dan menjadi penulis bermula dari pengalamannya saat bekerja di sebuah bank di Malaysia. Selama bertahun-tahun, ia menyaksikan kesenjangan yang mencolok dalam tabungan masyarakat. Orang Cina mendominasi simpanan, diikuti oleh India dan pendatang, sementara kaum pribumi (Melayu) terlihat jauh tertinggal. Chef Li melihat bahwa perbedaan ini disebabkan oleh pola penghasilan harian yang dimiliki oleh orang Cina dan India melalui bisnis kecil, sementara kaum pribumi hanya bergantung pada gaji bulanan.
Tertarik dengan fenomena tersebut, Chef Li mulai mendekati para nasabah bank untuk mencari tahu rahasia di balik kesuksesan finansial mereka. Ternyata, banyak dari mereka menjalankan bisnis rumahan sederhana (home base), seperti produksi paw, atau kecap. Salah satu cerita yang paling menginspirasinya datang dari seorang pengusaha yang menyebut mereka “membuat uang sambil tidur.” Pengusaha tersebut menjelaskan bahan makanan seperti sotong (cumi-cumi) jika direndam semalaman, maka nilainya akan meningkat hingga empat kali lipat jika dijadikan bahan untuk rujak sotong dengan saus hitam. Konsep ini mengajarkan Chef Li tentang pentingnya value adding atau menambah nilai pada barang atau bahan baku awal.
Setelah bekerja di bank selama lebih dari sepuluh tahun, Chef Li menyadari betapa pentingnya memiliki bisnis untuk bisa menabung setiap hari. Ia mendapatkan sebuah pelajaran penting dari seorang pengusaha Tionghoa yang mengatakan, untuk menjadi jutawan, seseorang harus menabung 550 ringgit sehari selama lima tahun, dengan syarat memiliki setidaknya lima kios untuk jualan. Walaupun sulit mencapai target jutaan ringgit, pengusaha itu menegaskan, tidak mencapai target bukan berarti gagal. Sebaliknya, akumulasi tabungan yang terus terkumpul sudah membuat seseorang lebih kaya dibandingkan mereka yang tidak menabung sama sekali.
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Pengalaman-pengalaman ini akhirnya dituangkan Chef Li dalam buku berjudul Jutawan Senyap. Buku ini mengisahkan perjalanan para pengusaha kecil dan pedagang pinggir jalan yang ia temui selama bekerja di bank. Chef Li merasa rintangan dalam hidup tidak seharusnya menjadi penghalang, melainkan tantangan yang harus dihadapi dengan sikap proaktif. Menurutnya, kesuksesan finansial tidak terjadi secara kebetulan. Dibutuhkan usaha yang disengaja, disertai dengan sifat-sifat seperti rajin, berani, dan sabar.
Chef Li meyakini kekayaan adalah hasil dari pilihan dan usaha. Dengan memilih sifat-sifat positif dan menghindari rasa takut dan malas, seseorang dapat menjadikan kehidupan yang lebih baik. Filosofi inilah yang terus ia sebarkan melalui buku dan aktivitas bisnisnya, menginspirasi banyak orang untuk terus berusaha meraih kesuksesan.
Hidup Dibayar, Bukan Membayar
Menurut Dato’ Rusly Abdullah, hidup idealnya adalah “dibayar,” bukan “membayar.” Membayar, menurutnya, adalah jalan menuju kemiskinan, sementara “dibayar” adalah kunci menuju kekayaan. Untuk mencapai posisi “dibayar” dalam kehidupan, seseorang harus menjadi manusia multi fungsi, artinya ia harus memiliki keterampilan yang bernilai, dan mampu meningkatkan nilai dari apa yang ia miliki. Dengan begitu dirinya layak untuk dibayar bukan membayar.
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
Prinsip yang dipegang teguh oleh Dato’ Rusly adalah konsep Tambah Nilai Sumber (TNS). Contoh sederhana yang sering ia gunakan adalah sotong yang direndam semalaman tadi, membuat nilainya bertambah keesokan harinya. Filosofi ini ia terapkan tidak hanya dalam kehidupan pribadi, tetapi juga dalam kursus-kursus yang ia adakan bagi mereka yang ingin meraih kesuksesan finansial. Dari kursus tersebut, lahirlah banyak “jutawan senyap” yang hanya diketahui oleh Chef Li dan istrinya. Kunci kesuksesan mereka, menurut Chef Li, terletak pada formula yang diadopsinya dari masyarakat Cina, dengan menabung sebagai elemen utama.
Sebagai seorang pengusaha kuliner, Dato’ Rusly juga menekankan pentingnya dakwah. Baginya, dakwah adalah ajakan menuju kebaikan, namun ia lebih memilih pendekatan yang disebutnya sebagai dakwah fungsional. Ia mengkritik kenyataan bahwa umat Islam sering kali memperkaya pihak non-Muslim dalam kegiatan besar. Di Malaysia, misalnya, ia menyebut bahwa sekitar 20 miliar ringgit dibelanjakan setiap bulan, dan 99 persen dari uang tersebut mengalir ke kantong non-Muslim. Hal ini terjadi karena mereka mengamalkan prinsip TNS, sehingga Dato’ Rusly percaya bahwa konsep ini juga bisa digunakan sebagai sarana dakwah.
Lebih lanjut, Dato’ Rusly berpendapat bahwa perjuangan untuk Palestina bisa dilakukan melalui bisnis kuliner. Negara-negara kuat di dunia telah menerapkan prinsip TNS, serupa dengan yang diterapkan oleh komunitas Cina. Menurutnya, upaya ini seharusnya sudah dimulai sejak 50 tahun yang lalu, tetapi belum terlambat untuk memulainya sekarang. Konsep TNS tidak hanya diterapkan pada barang-barang fisik, tetapi juga bisa diterapkan pada manusia, menjadikan mereka insan fungsional yang memberikan dampak positif bagi masyarakat.
Dalam pandangan Dato’ Rusly, kekayaan bukan hanya soal finansial, tetapi juga tentang bagaimana seseorang mampu menambah nilai pada dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Prinsip inilah yang terus ia bagikan kepada orang lain, baik melalui dakwah maupun dunia kuliner, dengan harapan masyarakat bisa lebih mandiri secara ekonomi dan memberi dampak yang lebih besar.[Fathur & Nisa]
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia