Jakarta, MINA – Kontroversi seputar nikah beda agama kembali menyita perhatian publik setelah Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengesahkan atau mengizinkan pernikahan beda agama pada 20/6 lalu.
Hakim memerintahkan Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya untuk mencatat perkawinan Para Pemohon dalam Register Perkawinan setelah dipenuhi syarat-syarat perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Tholabi Kharlie, sebagaimana keterangan tertulisnya yang diterima MINA, Kamis (23/6), mengatakan putusan ini menjadi preseden lahirnya putusan-putusan serupa.
“Putusan ini membuka keran bagi pengesahan peristiwa nikah beda agama lainnya,” ujar Tholabi.
Baca Juga: Cuaca Jakarta Berpotensi Hujan Ringan Akhir Pekan Ini
Putusan PN Surabaya ini didasarkan antara lain pada Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: (a) perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan (b) perkawinan warga negara asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan warga negara asing yang bersangkutan.
Selanjutnya Pasal 36 menjelaskan, dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.
Sejumlah peristiwa nikah beda agama dalam beberapa waktu terakhir menjadi perhatian publik, bahkan dalam batas-batas tertentu telah menciptakan keresahan di sebagian kalangan, khususnya umat Islam.
“Beberapa waktu terakhir trend-nya cenderung meningkat dan pelaku nikah beda agama tak segan tampil di depan publik dengan pelbagai cara hingga mendapatkan legitimasi dari instansi terkait,” ungkap guru besar bidang Ilmu Hukum Islam ini.
Baca Juga: Hari Terakhir Pelunasan, Seluruh Kuota Haji Khusus 1446 H/2025 M Sudah Terisi
Menurut Tholabi, kontroversi nikah beda agama akan terus muncul seiring terjadinya peristiwa pernikahan beda agama yang dilegitimasi oleh negara.
“Sebenarnya sudah ratusan atau bahkan ribuan peristiwa pernikahan beda agama yang mendapatkan legitimasi dari instansi terkait, hanya saja tidak terekspos ke publik. Fakta ini menunjukkan bahwa ada persoalan krusial dari sisi norma hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia,” ujar Pengurus PBNU ini.
Dalam konteks keyakinan Islam, Jumhur ulama Muslim sepakat bahwa perkawinan beda keyakinan tidak dibenarkan. Oleh karena itu, UU Perkawinan mengakomodasinya dalam Pasal 2 ayat (1) yang meniscayakan keabsahan suatu perkawinan hanya jika dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
Demikian pula pada pasal 8 ditegaskan tentang ketidakbolehan perkawinan yang dilarang agama. Larangan ini juga sejatinya dianut oleh berbagai agama, meski dengan pengecualian atau dispensasi.
Baca Juga: Penelitian Terbaru, Gen Z di AS Pro Perjuangan Palestina dan Anti Israel
Profesor Tholabi menyebut ada sejumlah celah hukum yang dimanfaatkan pelaku nikah beda agama sehingga norma ini sering kali tidak fungsional.
“Sejumlah modus biasa dilakukan untuk keluar dari jerat hukum ini, mulai dengan mencari celah hukum, menundukkan diri pada agama salah satu pasangan, menikah di luar negeri untuk menghindari kerumitan aturan di negeri sendiri, menikah di bawah payung organisasi non pemerintah (NGOs), hingga ruang-ruang kepentingan administratif kenegaraan yang meniscayakan pencatatan dalam dokumen negara,” jelas Tholabi.
Menurut dia, benturan atau pergesekan antara keyakinan keagamaan, pemenuhan akan hak-hak dasar manusia, serta kepentingan data kependudukan akan terus terjadi dan saling menafikan. Inilah muara dari persoalan itu.
“Fakta tentang banyaknya peristiwa perkawinan beda agama yang mendapatkan legitimasi dari Catatan Sipil atau Pengadilan menunjukkan adanya keragaman tafsir dan kecenderungan pihak-pihak terkait dalam menafsirkan norma hukum nikah beda agama,” imbuh Tholabi.
Baca Juga: ICMI Resmikan Program Desa Cendikia dan Masjid Siti Aminah Hadiwardoyo
Dia menunjuk salah satu diktum menimbang putusan hakim PN Surabaya yang menyebutkan bahwa ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang sahnya suatu perkawinan apabila dilakukan menurut tata cara agama atau kepercayaan yang dianut oleh calon pasangan suami istri yang in casu hal ini tidak mungkin dilakukan oleh Para Pemohon yang memiliki perbedaan Agama.
Ketua Forum Dekan Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) se Indonesia ini menganggap perlu menyempurnakan dan sinkronisasi aturan mengenai perkawinan di Indonesia.
“Adanya dualisme terkait keabsahan di satu sisi dan keharusan mencatatkan peristiwa perkawinan dalam dokumen negara di sisi lain tampaknya harus segera diakhiri. Karena muaranya dari sini,” kata Tholabi.
Menurut dia, norma yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sangat subjektif sehingga membuka peluang untuk ditafsirkan secara beragam dan pada tataran implementasi norma ini dengan sangat mudah ‘disiasati’ agar dapat dilaksanakan dan mendapatkan legitimasi negara tanpa perlu meninggalkan agama atau kepercayaan asalnya.
Baca Juga: Dr. Rais Abdullah: Hidup Berjamaah adalah Fenomena Universal
“Saya kira dalam konteks hukum perkawinan, negara harus tetap hadir melindungi keyakinan warga negaranya, memenuhi hak-hak dasarnya, serta memberikan legitimasi terhadap semua peristiwa hukum yang dilakukan warga negaranya,” pungkas Tholabi.
Menurut dia, benturan atau pergesekan antara keyakinan keagamaan, pemenuhan akan hak-hak dasar manusia, serta kepentingan data kependudukan akan terus terjadi dan saling menafikan. Inilah muara dari persoalan itu.
“Fakta tentang banyaknya peristiwa perkawinan beda agama yang mendapatkan legitimasi dari Catatan Sipil atau Pengadilan menunjukkan adanya keragaman tafsir dan kecenderungan pihak-pihak terkait dalam menafsirkan norma hukum nikah beda agama,” terang Tholabi.
Dia menunjuk salah satu diktum menimbang putusan hakim PN Surabaya yang menyebutkan bahwa ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang sahnya suatu perkawinan apabila dilakukan menurut tata cara agama atau kepercayaan yang dianut oleh calon pasangan suami istri yang in casu hal ini tidak mungkin dilakukan oleh Para Pemohon yang memiliki perbedaan Agama.(R/R1/P1)
Baca Juga: Update: 6.000 Jamaah Sudah Hadir di Taklim Pusat 1446 H
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Nobar Edukatif Angkat Sejarah Palestina di Taklim Pusat