oleh Umar Hasan Zuhairi, Mahasiswa UIN K.H. Abdurrahman Wahid, Pekalongan Jawa Tengah.
Generasi Z, generasi yang tumbuh di tengah ledakan teknologi, sering kali dianggap sebagai penggerak utama tren digital. Dengan dunia yang berada dalam genggaman layar mereka, kehidupan Gen Z tak lepas dari bayang-bayang Fear of Missing Out (FOMO), rasa takut akan ketinggalan momen yang dianggap penting atau “keren.”
Salah satu tren yang mengemuka dalam beberapa tahun terakhir adalah fenomena mendaki gunung atau yang akrab disebut “muncak.” Aktivitas yang dulunya didominasi oleh para pecinta alam sejati kini menjelma menjadi ajang eksistensi dan ekspresi diri yang dipoles oleh budaya media sosial.
Mendaki, Antara Pengalaman Spiritual dan Pengakuan Digital
Baca Juga: Keteguhan Iman di Tengah Arus Zaman: Refleksi Islami untuk Generasi Milenial
Bagi sebagian orang, mendaki gunung adalah pengalaman spiritual. Langkah demi langkah di jalur setapak adalah meditasi yang membawa seseorang lebih dekat pada ketenangan batin. Suara angin yang menyapu pepohonan, matahari terbit yang menyentuh puncak, dan keheningan alam menjadi obat penawar dari hiruk-pikuk kehidupan modern. Seperti yang dimaksudkan dalam firman Allah QS. Ali Imran ayat 190, berbunyi:
اِ نَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ ١٩٠
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (QS. Ali Imran [3]: 190).
Ayat di atas mengingatkan kita untuk mendaki dengan tujuan merenungkan keindahan ciptaan Allah yang seharusnya menjadi pengalaman spiritual, bukan hanya ajang pengakuan digital. Namun, fenomena FOMO di kalangan Gen Z telah menggeser makna mendaki menjadi sekadar alat eksistensi di media sosial.
Baca Juga: Pembebasan Baitul Maqdis: Perspektif Geopolitik dan Spiritual Islam
Bagi banyak Gen Z, muncak bukan lagi tentang mencari kedamaian, melainkan mendapatkan likes dan komentar di media sosial. Panorama puncak gunung menjadi latar sempurna untuk konten Instagram, dan perjalanan mendaki sering kali dirancang bukan untuk menikmati keindahan, melainkan untuk menciptakan estetika visual yang mengundang decak kagum.
Ironisnya, tujuan seperti itu sering kali mengorbankan esensi dari mendaki itu sendiri. Alih-alih menjadi perjalanan bermakna, muncak berubah menjadi kompetisi eksistensi. Banyak yang mendaki hanya karena tidak ingin “ketinggalan zaman.” Bahkan, tak sedikit yang melakukannya tanpa persiapan fisik, pengetahuan teknis, atau kesadaran lingkungan.
Kebahagiaan Sejati yang Tergantikan
Ketika aktivitas yang seharusnya mendekatkan kita pada alam berubah menjadi alat pencitraan, masalah pun mulai bermunculan. Sikap ini mengingatkan kita pada firman Allah dalam QS. At-Takatsur ayat 1 dan 2, yang bunyinya:
Baca Juga: Amalan Yang Baik bagi Orang Beriman
اَلْهٰىكُمُ التَّكَاثُرُۙ ١ حَتّٰى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَۗ ٢
Berbangga-bangga dalam memperbanyak (dunia) telah melalaikanmu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. (QS. At-Takatsur: 1-2).
Dalam konteks ini, kompetisi eksistensi di media sosial tidak membawa kebahagiaan sejati, melainkan hanya kecemasan akan validasi. Waktu yang seharusnya untuk menikmati pemandangan tergantikan dengan sibuk mengatur pose, mencari pencahayaan yang sempurna, atau memilih filter yang tepat. Ketenangan berubah menjadi kecemasan: “apakah konten ini cukup bagus untuk diposting?”.
Melampaui FOMO: Menemukan Ketenangan di Ketinggian
Baca Juga: Inilah Tanda Orang Baik, Inspirasi dari Kisah Nabi Musa Belajar kepada Khidir
Di dunia yang serba cepat dan penuh distraksi ini, mendaki gunung adalah kesempatan langka untuk melambat, bernapas, dan menemukan keheningan. Namun, ketenangan itu tidak akan hadir jika kita terlalu sibuk mencari validasi di dunia maya.
Sebagai generasi yang dikenal cerdas dan adaptif, Gen Z memiliki peluang besar untuk mengubah fenomena ini menjadi lebih positif. Media sosial tidak harus menjadi musuh, melainkan alat untuk menginspirasi. Bayangkan jika setiap unggahan pendakian tidak hanya berisi foto indah, tetapi juga pesan tentang pentingnya menjaga alam, menikmati proses, dan menghargai keheningan.
Akhirnya, mendaki gunung adalah perjalanan, bukan hanya menuju puncak fisik, tetapi juga puncak batin. Jika tujuan kita adalah kebahagiaan sejati, maka kita harus berani melepaskan diri dari belenggu FOMO.
Bukan postingan yang membuat pendakian berharga, melainkan pengalaman itu sendiri. Semoga Gen Z mampu menemukan makna sejati dari mendaki, dan menunjukkan bahwa mereka bisa menjadi generasi yang bijak, baik dalam berkegiatan maupun berjejaring. []
Baca Juga: Saatnya Wanita Generasi “Z” Beraksi
Mi’raj News Agency (MINA)