Jakarta, MINA – Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) meminta pemerintah untuk segera mereformasi kebijakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) 100 persen untuk melindungi peserta didik dari varian Omicron sekaligus sebagai upaya mitigasi gelombang ke-3.
Demikian Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (25/1). “Sejak awal kebijakan diluncurkan IDEAS sudah memprediksi bahwa pelaksanaan PTM 100 Persen akan menjadi eksperimen yang beresiko tinggi,” kata Yusuf
Dan kini, katanya di tengah lonjakan kasus Covid-19 dan penularan Omicron yang semakin meluas, terus memaksakan PTM 100% di semua jenjang pendidikan adalah sebuah kebebalan kebijakan.
“Membuka kembali sekolah adalah keharusan dan tidak terhindarkan di banyak wilayah dengan keterbatasan kemampuan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Namun dengan merebaknya claster sekolah seiring PTM terbatas, semakin tingginya mobilitas masyarakat seiring pelonggaran aktivitas sosial-ekonomi, dan ancaman varian Omicron, terus memaksakan kebijakan PTM 100 persen adalah eksperimen yang sangat beresiko bagi peserta didik,” katanya.
Berbagai studi menghasilkan konsensus terjadinya penurunan kualitas pendidikan Indonesia secara signifikan dibawah BDR (Belajar Dari Rumah) yang diterapkan sejak awal pandemi.
Pelaksanaan BDR yang cenderung tidak efektif dan ketimpangan kemampuan PJJ daring yang lebar antar sekolah dan peserta didik, telah menciptakan learning loss (hilangnya pengalaman dan capaian belajar) dan juga learning poverty (hilangnya kemampuan belajar) pada peserta didik, dengan dampak negatif terbesar dialami oleh peserta didik dari kelompok sosial-ekonomi terbawah.
“Namun, dengan pandemi masih bersama kita dan ancaman serangan Omicron yang semakin nyata, alih-alih terburu-buru mengejar PTM 100 persen, memperbaiki dan menyempurnakan pelaksanaan PTM terbatas serta menyiapkan desain BDR yang lebih nyaman, menyenangkan, dan terjangkau, jauh lebih prioritas dan mendesak,” ujarnya.
BDR merupakan substitusi yang jauh dari sepadan dengan PTM. Dalam pelaksanaan BDR selama pandemi, guru banyak menggantungkan diri pada PJJ daring.
Baca Juga: Imaam Yakhsyallah Mansur: Ilmu Senjata Terkuat Bebaskan Al-Aqsa
Berdasarkan hasil survei IDEAS Metode belajar daring paling populer yang dipilih umumnya adalah diskusi virtual melalui aplikasi WhatsApp Group atau Google Classroom. Sedangkan pertemuan daring melalui aplikasi Zoom dan Google Meet, yang efektivitas-nya lebih tinggi dari diskusi virtual, terlihat masih menjadi pilihan yang sulit dan mahal.
Diskusi virtual dengan efektivitas rendah menjadi pilihan utama PJJ secara sederhana karena ia jauh lebih terjangkau dan murah baik bagi guru maupun peserta didik. Lebih jauh, belajar daring semakin tidak efektif ketika frekuensi dan durasinya juga terbatas.
Dampak redistributif BDR di masa pandemi sangat mencemaskan yaitu si anak miskin dan rentan semakin jauh tertinggal, semakin rendah keahlian dan ketrampilannya, semakin lemah daya saingnya di pasar tenaga kerja, dan akan semakin sulit memperbaiki kesejahteraannya di masa depan. Masa depan menjadi semakin suram bagi si lemah dan marjinal
“Karena pelaksanaan BDR yang tidak efektif selama ini, maka PTM sekarang ini di tengah wabah yang semakin mengganas, seharusnya diprioritas dan difokuskan pada upaya memulihkan learning loss bagi peserta didik miskin dan rentan,” tutur Yusuf.
Baca Juga: Kunjungi Rasil, Radio Nurul Iman Yaman Bahas Pengelolaan Radio
Berfokus memulihkan learning loss pada peserta didik yang lemah akan memastikan mereka mampu mengikuti pembelajaran normal sekaligus mengikis kesenjangan antar peserta didik di dalam sekolah. Peserta didik yang lemah disini adalah mereka yang sejak awal bersekolah (sebelum pandemi) capaian belajarnya sudah rendah, diikuti kemudian peserta didik dari keluarga miskin, dan peserta didik dengan kedua orang tua bekerja.
“PTM yang berfokus pada kelompok miskin dan rentan ini dapat dilakukan dengan cara mendorong sekolah dan guru melakukan pemetaan ulang kemampuan peserta didik (diagnostic assessment) dan merancang pengajaran sesuai kemampuan peserta didik yang berbeda (differentiated teaching),” imbuhnya.
Lebih jauh Yusuf berpendapat, sangatlah krusial untuk secepatnya mereformasi BDR agar senyaman dan sepadan dengan PTM. Kombinasi PTM terbatas dan BDR yang menyenangkan adalah pilihan yang paling diinginkan peserta didik. Reformasi BDR terpenting adalah meningkatkan kemampuan guru menyiapkan bahan ajar yang menyenangkan dan tidak bergantung sepenuhnya pada kuota internet.
“PJJ tanpa kuota internet dan inovasi pembelajaran berbasis luring untuk mereka yang minim akses pembelajaran daring, menjadi krusial. Mencetak berbagai bahan ajar daring dan mendistribusikannya kepada seluruh peserta didik, menjadi salah satu pilihan terbaik untuk kenyamanan dan keterjangkauan,” ujarnya.
Faktor pamungkas adalah pelibatan orang tua yang intensif dalam pelaksanaan BDR. Membangun komitmen orang tua dalam menemani anak belajar, dengan dukungan komunitas, tokoh masyarakat dan aparat pemerintah lokal, menjadi salah satu praktek terbaik yang bisa direplikasi.
“Menjadi krusial pula bagi pihak sekolah untuk memiliki program pengasuhan untuk mendukung orang tua mendampingi anak selama BDR,” kata Yusuf. (R/R4/RS2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Sertifikasi Halal untuk Lindungi UMK dari Persaingan dengan Produk Luar