Oleh: Tim Koresponden Mi’raj Islamic News Agency (MINA) di Jalur Gaza-Palestina
“Jika Kamu melihat atap sebuah bus milik Israel meledak dan hancur, pastikanlah bahwa yang melakukannya adalah Al-Qassam”.
Kalimat itu selalu terngiang di telinga Abu Muhammad, salah seorang murid binaan langsung dari Abdul Aziz Rantisi. Ia menuturkan, perjuangan Abdul Aziz Rantisi masih membekas sekali padanya, karena tak bisa dipungkiri bahwa terusirnya Yahudi dari Gaza merupakan peran besar Rantisi dalam memotivasi para pejuang kala itu.
Abu Muhammad menceritakan, Abdul Aziz Rantisi adalah sosok yang tak kenal kompromi, dalam pikirannya hanyalah melawan Zionis Israel hingga titik darah penghabisan. Inilah yang membuat zionis Israel dengan segala cara mencoba menghentikan perjuanganya. Keikhlasan dan ketawadhuanya tercermin saat ia diminta untuk menggantikan posisi Shaikh Ahmad Yasin yang gugur akibat serangan Zionis Israel. Shaikh Ahmad Yasin memang seorang pemimpin karismatik. Dengan posisinya, Shaikh Yasin memimpin Hamas, memimpin Qassam, memimpin semuanya, disegani semua orang, baik kawan maupun lawan. Rantisi merasa tidak pantas memimpin Hamas, namun dengan tawadhu dan merasa itu adalah sebuah amanah, maka ia menerima dengan sabar.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Menurut Abu Muhammad, Pertama kali yang difikirkan oleh Rantisi adalah bagaimana membangun kembali Hamas pasca kehilangan Shaikh Yasin, karena sangat berat kehilangan seorang pemimpin seperti Shaikh Yasin. Di sisi lain dia harus mengkoordinasikan pula pasukan Brigade Izzudin Al-Qassam yang sedang mempersiapkan pembalasan untuk zionis Israel atas tindakan biadabnya itu. Sungguh sebuah beban yang sangat berat yang harus dia pikul kala itu. Namun dengan mohon pertolongan Allah beliau melakukan segala persiapan, melakukan konsolidasi dengan berbagai pihak di internal Hamas sehingga membangkitkan dan menggelorakan kembali semangat untuk berjihad, serta tidak larut dalam kesedihan akibat meninggalnya Shaikh Ahmad Yasin. Hal inilah yang membuat Rantisi dipandang sangat berbahaya oleh zionis Israel sehingga mereka dengan segala upayanya berusaha membunuh Rantisi.
Dulu, kata Abu Muhammad, jika ada serangan Israel terhadap Gaza, maka Rantisi akan mengambil tindakan balasan seketika dalam waktu maksimal 48 jam. Dalam kurun waktu itu para pejuang harus membalasnya dengan segenap kekuatan. Banyak kenangan yang teringat oleh Abu Muhammad dari sosok pejuang satu ini, setidaknya ada dua sifat mulia yang tercermin dalam tingkah laku sang “singa ini”. Pertama, Rantisi sangat dihormati di Gaza, ia juga rendah hati dan menghormati semua orang dari segala lapisan, baik Hamas, Fatah, Jihad Islami ataupun yang lainnya. Kedua, sebagai dokter anak, dia sangat jarang mengambil tarif dari setiap anak-anak yang berobat kepadanya. Sangat qanaah, karena sebagai dokter anak dan dosen pengajar di IUG (Islamic University of Gaza), hingga akhir hayatnya beliau tidak memiliki rumah pribadi melainkan hanya ngontrak di sebuah rumah kecil di bilangan Shaikh Ridwan.
“Bergabung dengan Hamas sejak usia 17 tahun, membuatnya ditempa dengan berbagai situasi. Ketika hampir semua orang merahasiakan jati dirinya sebagai anggota hamas, Rantisi justru tidak gentar sedikitpun untuk menyatakan secara terang-terangan bahwa dia adalah anggota dari pergerakan perlawanan tersebut,” kata Abu Muhammad kepada Miraj Islamic News Agency di Gaza City.
Menjadi murid Al Rantisi dari tahun 2000 hingga 2004 menyisakan kenangan tersendiri dalam diri Abu Muhammad. Banyak ilmu yang didapat dari Rantisi. Abdul Aziz Rantisi adalah orang yang tepat waktu, sesibuk apapun Abdul Aziz Rantisi ia akan berusaha menepati jika ia sudah mempunyai janji.
Rantisi sangat serius dan komitmen dalam segala hal, “saat dia mengajar kita merasa dia seperti saudara, bahkan ayah buat kita, menganggap muridnya semua sama sehingga tidak pernah membanding-bandingkan sesama muridnya”, tutur Abu Muhammad. Rantisi meyakini bahwa syahidnya seseorang adalah tanda kebangkitan islam, ini sebuah optimisme dari Abdul Aziz Rantisi. Ketika semua orang beranggapan bahwa kematian merupakan akhir dari segalanya, namun tidak bagi Rantisi, tumpahnya darah seorang Syuhada adalah sebuah optimisme akan bangkitnya Islam.
Pertemuan mingguan dengan Rantisi selalu mengkaji Qur’an, Hadits dan fiqih. Sesibuk apapun Rantisi ia selalu hadir tepat waktu untuk membina generasi muda kala itu. ‘Singa’ Palestina ini sangat keras terhadap Israel, bahkan setiap dia berbicara tentang Israel dia tidak pernah menyebutkan Israel, namun mengatakan “apa yang mereka sebut israel”, karena dia tidak pernah dan tidak akan pernah mengakui Israel. Dalam setiap orasinya Rantisi selalu mengacungkan AK (Automatic Klashinkove) 47 sebagai tanda bahwa untuk merebut masjid Al Aqsha dan Palestina ke pangkuan muslimin adalah dengan perlawan, dengan senjata, bukan dengan negosiasi atau dengan kompromi. Selain itu percaya dirinya sangat tinggi, hanya bergantung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, kata Abu Muhammad menceritakan dengan semangat. “Kematian tidak pernah maju ataupun mundur walau sedetik, dia tidak pernah takut akan ancaman musuh-musuh Allah, karena sebagai orang yang dianggap paling berbahaya, Israel akan melakukan segala cara untuk membunuhnya”, kata Abu.
Meskipun demikian kata Abu, Abdul Aziz Rantisi adalah orang yang selalu menolak dikawal oleh bodyguard. Keberanian itulah yang membuat Israel menargetkan Abdul Aziz Rantisi sebagai orang taget utama yang harus dibunuh. karena Israel meyakini jika “Singa Palestina” ini terbunuh, maka Hamas sebagai organisasi perlawan akan berubah. Benar saja dua tahun setelah meninggalnya Shaikh Ahmad Yasin dan Abdul Aziz Rantisi, Hamas bergabung kedalam dunia perpolitikan dan ikut serta dalam pemilu Palestina. padahal dua orang yang paling menentang keras masuknya Hamas ke dalam dunia politik adalah Shaikh Ahmad Yasin dan Abdul Aziz Al Rantisi. Mereka meyakini ketika masuk kedunia perpolitikan “maka sama saja kita masuk ke dalam perangkap musuh musuh Allah”. Rantisi menyadari betul : “Jika kita bergabung ke dalam dunia perpolitikan artinya kita akan duduk bersama dengan musuh, mengakui keberadaan musuh, dan kita akan seperti “sampah” di Palestina ini. Tanggung jawab kita mengembalikan Aqsa dan Palestina ke pangkuan Muslimin, bukan untuk Palestina saja tapi untuk MMuhammad, sang murid, uslimin seluruhnya.”
Hari itu, 25 Shafar 1425 H atau 17 April 2004 M terdengar kabar bahwa Abdul Aziz Rantisi syahid akibat ditembak Apatche Israel. Abu Muhammad yang kala itu sedang berada di rumahnya, di Jabaliya. Seketika itu juga Abu Muhammad, sang murid, berlari menuju ke bilangan Shaikh Ridwan yang jauhnya 3 km. Dia tidak memperdulikan apapun saat itu, ia hanya ingin memastikan apa yang terjadi dengan gurunya. Sampai di kebilangan Shaikh Ridwan ternyata tubuh Abdul Aziz yang penuh luka sudah dibawa ke Rumah Sakit Syifa, namun setibanya Abu Muhammad di RS Syifa, “Sang Singa” Palestina, telah tiada.
Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis
Demikian kisah yang dituturkan oleh Abu Muhammad secara langsung kepada wartawan Mi’raj Islamic News Agency di Gaza City. Pastinya, Allah lebih sayang kepada hambanya dan ingin segera bertemu kepada hamba-NYA yang selalu merindukan syahid.
Ada kutipan menarik yang pernah disampaikan oleh Rantisi semasa hidup, “by killing or by cancer, the same thing, we are all waiting for the last day of our life, nothing will be change, if it is by apatche or by cardiac arrest, I prefer to be by apatche”.
“Dengan terbunuh atau dengan penyakit kanker, sama saja, kita semua sedang menunggu hari terakhir dalam hidup kita, tidak akan ada yang berubah, jika itu dengan apathce atau serangan jantung, Saya memilih (terbunuh) dengan Apatche,” dan dr. Abdul Aziz Rantisi benar meninggal dengan dihantam rudal oleh helikopter jenis apatche milik zionis Israel. (L/KJ/P015/IR)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina