Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El-Awaisi (3): Kita Butuh Persatuan untuk Bebaskan Baitul Maqdis

Yogjakarta, MINA – Keberadaan organisasi-organisasi Islam internasional seperti OKI dan Liga Arab nyatanya hingga kini tak berdaya menghentikan Zionis Israel melakukan pembantaian umat Islam di Gaza, Palestina. Tak satupun dari negara-negara muslim dan negara Arab di kedua organisasi itu yang berani melakukan perlawanan militer melawan Zionis Israel.

Alhasil, jumlah korban genosida Zionis Israel di Gaza terus bertambah. Keprihatinan yang sama, Baitul Maqdis yang jadi core operasi Thaufan Al Aqsha faksi-faksi perlawanan Palestina, semakin terancam kesuciannya.

Di tulisan ke tiga wawancara dengan tokoh yang pernah 3 tahun lebih mengajar di Masjid Al Aqsha, yakni Prof. Dr Abdul Fattah El Awaisi ini, terungkap analisis tajamnya menjawab mengapa fenomena di atas bisa terjadi dan bagaimana umat Islam bisa membebaskan Baitul Maqdis tanpa bergantung pada negara-negara Islam.

Wartawan MINA, Taufiqurrahman dan Ali Farhan Tsani berkesempatan mewawancarai Pendiri Studi Baitul Maqdis di Turki dan Inggris itu di sela-sela kesibukannya mengisi sejumlah seminar di Jogjakarta, Sabtu, (4/5) pagi. Tulisan wawancara ini dibagi ke dalam 3 seri. Berikut seri yang ketiga atau terakhir :

Apakah untuk membebaskan Baitul Maqdis Umat Islam harus bersatu terlebih dahulu ataukah kita cukup membutuhkan satu kelompok yang fokus dan punya militansi seperti di masa Shalahuddin Al Ayubi agar bisa membebaskan Baitul Maqdis?

Ulama ushul mengatakan hukum bisa berubah karena perubahan waktu dan tempat. Tidak diragukan bahwa zaman Nabi ﷺ berbeda dengan zaman Shalahuddin Al Ayubi dan zaman sekarang. Tapi pokok yang paling asas dalam pembebasan itu sama. Di Zaman Rasulullah ﷺ rencana strategis beliau dibangun di atas 3 pondasi: persiapan pengetahuan, persiapan politik dan persiapan militer.

Demikian halnya di masa Imaduddin, Nuruddin dan Sholahuddin mereka bertopang pada 3 pondasi tersebut. Hanya saja metodenya bisa berbeda. Akan tetapi semuanya melakukan pokok yang sama. Mereka membuat persiapan pengetahuan, persiapan politik dan persiapan militer.

Yang kita butuhkan adalah mengembangkan rencana strategis yang dibangun di atas 3 pondasi ini menyesuaikannya dengan masa dan tempat yang kita hidup di dalamnya.

Kita tidak butuh menciptakan roda lagi. Sebab roda itu sudah dibuat Nabi ﷺ dan diteruskan oleh ulama di masa Imaduddin, Nuruddin dan Sholahuddin. Yang kita butuhkan hanya menggunakan prinsip-prinsip itu, mengembangkannya dan serius mengerjakannya sesuai dengan situasi waktu dan tempat kita sekarang sehingga akhirnya berujung pada satu rencana strategis yang sesuai dengan masa dan tempat kita yang bisa membebaskan Masjid Al Aqsha.

Kita perlu bertanya pada diri kita sebagai kelompok elit itu apakah kita ingin membebaskan Masjid Al Aqsha ataukah tidak mau? Ada perbedaan antara harapan dengan aksi nyata. 23.44.62

Baca Juga:  Duta Al-Quds: Sirah Nabawiyah Perkuat Pembebasan Al-Aqsa

Umat berharap Masjid Al Aqsha terbebas. Tapi sudahkah dibuat rencana aksi yang strategis menuju pembebasan itu? Sangat disayangkan, tidak ada.

Saya berbicara tentang mereka yang tinggal di luar Baitul Maqdis. Sebab yang membebaskan Baitul Maqdis bukan umat yang ada di dalam Baitul Maqdis. Ini diantara sunnah Allah dalam kejadian. Jika kita lihat sejarah penjajahan sebelumnya, belum pernah Baitul Maqdis dibebaskan dari dalam.

Ketika umat itu berdiri dan membantu saudara mereka yang ada di dalam Baitul Maqdis dan Palestina dengan izin Allah insyaAllah itu akan berhasil.

Jadi yang pertama kita harus punya cita-cita yang sejati untuk membebaskannya. Bukan sekedar angan-angan kosong. Kedua, kita konversikan cita-cita itu dalam bentuk rencana strategis.

Umat itu bisa berasal dari Indonesia, Malaysia, negara-negara Arab, Amerika dan Inggris atau umat muslim lainnya. Semuanya harus menyatukan akal-akal mereka.

Ayahku -rahimahullah- pernah berkata padaku, “Pikirkanlah dengan akalmu, lalu mintalah saudaramu untuk menyumbangkan saham peikirannya, juga kepada saudarimu untuk menyumbangkan pikirannya. Sehingga ketika umat itu bersama-sama dengan akal mereka, pasti tercapai.”

Umat ini punya akal-akal yang cerdas, sayangnya tidak digunakan dengan cara yang tepat. Sekiranya kita bisa mengarahkannya dengan benar, tentu akan menghasilkan sebuah rencana pembebasan itu, insyaAllah.

Apakah mungkin kelompok yang anda sebut sebagai elit atau umat itu berhasil membebaskan Baitul Maqdis, jika tidak melalui negara?

Kita butuh front Islami untuk membebaskan Al Aqsha. Front itu jauh dari negara-negara, jauh dari pemerintahan-pemerintahan. Saya sebut front ini sebagai kelompok elit. Kita butuh kelompok elit ini dari negeri-negeri muslim. Mereka semua berkumpul pada satu prinsip yang sudah lama saya serukan yakni pembentukan kelompok Islam untuk pembebasan Al Aqsha. Bukan kelompok kebangsaan, atau kepalestinaan. Yang kita butuhkan adalah kelompok Islam dari seluruh penjuru dunia Islam. Semua akal-akal muslim itu harus bersatu dan memikirkan rencana strategis itu.

Tentu tidak mungkin Masjid Al Aqsha terbebas begitu saja dengan hanya terbentuknya kelompok itu. Semua akal-akal dalam kelompok itu, baik namanya front, gerakan, jama’ah atau nama-nama lain, terserah. Sebab nama tidaklah terlalu penting. Yang penting komunitas ini menghasilkan rencana strategis yang bisa diterapkan untuk mewujudkan pembebasan Al Aqsha.

Tapi apakah mungkin kelompok itu bergerak tanpa ada kerjasama dengan negeri-negeri muslim?

Menurut keyakinan saya, jika kita menguasai pengetahuan yang bermanfaat, kita bisa menghasilkan rencana strategi situ. Kita jangan terlalu fokus bergantung pada negeri-negeri muslim itu. Sebab negeri-negeri muslim itu punya hubungan politik yang menghalangi lahirnya pemikiran sejati bagi pembebasan Masjid Al Aqsha.

Baca Juga:  AWG Adakan Pameran Pojok Baitul Maqdis di Wonogiri

Negeri-negeri itu punya keterikatan satu sama lain. Saya juga seorang pengajar hubungan internasional. Saya tahu negeri-negeri itu, sayangnya, ada di bawah hegemoni Barat, baik Amerika atau Eropa. Begitu juga dengan Cina dan Rusia. Semua punya pengaruh bagi negeri-negeri muslim.

Di tahap akhir, kelompok elit itu tetap harus bekerja. Saya merasa punya tanggungjawab pribadi bahwa kelak di hari kiamat saya akan ditanya.

{وَكُلَّ إِنسَٰنٍ أَلْزَمْنَٰهُ طَٰٓئِرَهُۥ فِى عُنُقِهِۦ ۖ وَنُخْرِجُ لَهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ كِتَٰبًا يَلْقَىٰهُ مَنشُورًا (  ) ٱقْرَأْ كِتَٰبَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ ٱلْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا (   ) مَّنِ ٱهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِى لِنَفْسِهِ … الآية}

“Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka (  ) “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu (  ) Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri;…”. (QS Al Isra: 13-15)

Saya punya tanggungjawab pribadi untuk berjuang dan berkontribusi dalam pembebasan Masjid Al Aqsha. Begitu juga dengan organisasi-organisasi dan yayasan-yayasan punya peran melakukan yang serupa. Saya yakin yang paling penting saat ini adalah semuanya harus mengarah pada satu titik di mana pembebasan Baitul Maqdis menjadi wawasan bersama.

Kita tidak butuh negeri-negeri itu. Kita tidak butuh para menteri. Kita tidak butuh raja-raja. Kita tidak butuh pemimpin-pemimpin negeri. Kita tidak butuh raja-raja. Kerja-kerja pengetahuan itu tidak membutuhkan mereka sama sekali, sebagaimana dilakukan Rasulullah ﷺ.

Jika kita mampu melahirkan apa yang diciptakan Rasulullah ﷺ, yang saya sebut sebagai wawasan Baitul Maqdis di masyarakat, sebagaimana dilakukan beliau ﷺ di Madinah, maka obsesi setiap individu, obsesi para kelompok dan obsesi masyarakat muslim adalah pembebasan Baitul Maqdis. Jika kita lakukan itu, kita berarti melangkah lebih maju menuju pembebasan Baitul Maqdis.

Saya ingin mengingatkan di sini, pembebasan Baitul Maqdis sebenarnya bukanlah tujuan akhir. Pembebasan Baitul Maqdis merupakan jalan menuju apa yang disampaikan Rasulullah ﷺ terwujudnya Khilafah.

Khilafah Rasyidah tidak mendahului pembebasan Baitul Maqdis. Usai pembebasan Baitul Maqdis itu, seperti disebut Rasulullah ﷺ, maka turunlah Khilafah Rasyidah di tanah yang disucikan.

Oleh karena itu kita harus bekerja membebaskan Baitul Maqdis sampai ditegakkan Khilafah Rasyidah di Baitul Maqdis. Seperti dikatakan para ulama bahwa pusat kekhilafahan tidak di Indonesia, di Mesir, di Suriah tidak pula Irak. Pusat kekhilafahan itu nanti sebagaimana dikatakan Rasulullah ﷺ ada di Baitul Maqdis. Dan Khilafah itu berada di atas Minhaj dan Sunnah.

Baca Juga:  AWG Adakan Pameran Pojok Baitul Maqdis di Wonogiri

Jadi pembebasan Baitul Maqdis akan mendorong berdirinya Khilafah. Dan berdirinya Khilafah akan melahirkan kemakmuran di muka bumi, kemakmuran di Baitul Maqdis, sebagaimana ada di hadits Rasulillah ﷺ.

Apakah kelompok elit itu bisa bergerak membebaskan Al Aqsha padahal mereka tidak punya kekuasaan sebagaimana negara?

Dalam hubungan internasional, yang namanya pengetahuan adalah kekuatan. Politik bukanlah satu-satunya kekuatan. Yang berkuasa adalah pengetahuan. Knowledge is power. Sehingga yang kita butuhkan adalah pengetahuan, knowledge. Jika kita punya ilmu dan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran, jika kita fokus pada kekuatan besar ini, kita akan bisa menciptakan keajaiban.

Sayangnya yang kita bayangkan kekuasaan itu ada pada kekuasaan politik. Tidak benar. Ada kekuatan lain yang Namanya kekuatan pengetahuan. Ini kita pelajari dalam ilmu hubungan internasional.

Bahkan saat Allah Ta’ala berfirman

{وَأَعِدُّوا۟ لَهُم مَّا ٱسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ … الآية}

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi…” (QS Al Anfal: 60)

Apa yang dimaksud kekuatan pada ayat itu? Kekuatan itu ada dua. Sayangnya kita terlalu fokus pada hard power, kekuatan militer dan kekuatan politik, lalu kita melupakan soft power yakni kekuatan ilmu dan pengetahuan.

Oleh karenanya kita harus fokus حembangunan asas ilmu dan pengetahuan yang merupakan kekuatan besar yang akan bisa membuat perubahan.

Sebab itu, diantara jargon yang saya yakini sepanjang 30 tahun ini, jargon yang bisa diterapkan, yakni pengetahuan pasti memimpin perubahan dan pemakmuran, dengan izin Allah Ta’ala.

Apakah cara seperti itu yang membuat Yahudi berhasil menguasai Al Aqsha? Dan apakah kita punya keyakinan yang mirip dengan mereka yang menguasai Al Aqsha sebagai wasilah turunnya Sulaiman yang mereka yakini?

Kesimpulan yang bagus. Zionis sebelum mendirikan negara mereka tahun 1948, mereka mendirikan universitas Ibrani di tanah Baitul Maqdis. Tepatnya di tahun 1921. Negara mereka didirikan oleh Inggris tahun 1948. Universitas ini termasuk universitas paling maju di dunia. Bahkan termasuk top rangking dunia seperti Harvard, Oxford dan Cambridge.

Yang ingin saya katakan dengan kemiripan yang anda simpulkan itu adalah fokuslah pada ilmu dan pengetahuan. Sebab mereka tahu bahwa ilmu dan pengetahuan adalah power, kekuatan yang mengerikan sekali. Siapa yang memilikinya, maka ia akan menguasai dunia.

Sayang sekali umat Islam, kelompok Islam dan akal-akal muslim tidak memiliki pengetahuan yang kuat dan mendalam. Oleh karenanya saya menyerukan di pertemuan yang diberkahi bersama anda ini, kita butuh pengetahuan yang melahirkan perubahan, pembebasan dan pemakmuran insyaAllah. (LA/RA 02)

Wartawan: توفيق

Editor: Widi Kusnadi