Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis

MINA, Jogjakarta – Di seri pertama tulisan wawancara ini, Prof Abdul Fattah El Awaisi melihat Indonesia sebagai negara yang punya peran penting bagi perjuangan pembebasan Baitul Maqdis. Ia menguraikan berbagai langkah  strategis yang bisa Indonesia lakukan diantaranya mendirikan pusat-pusat studi Baitul Maqdis di penjuru Indonesia.

Di seri ke 2 tulisan ini, Prof Abdul Fattah El Awaisi menjawab diantaranya pertanyaan terkait peran organisasi-organisasi sosial dan agama dalam membebaskan Baitul Maqdis.

Wartawan MINA, Taufiqurrahman dan Ali Farhan Tsani berkesempatan mewawancarai Abdul Fattah El Awaisi di sela-sela kesibukannya mengisi sejumlah seminar di Jogjakarta, Sabtu, (4/5) pagi. Tulisan wawancara ini dibagi ke dalam 3 seri. Berikut seri yang kedua:

Bagaimana mengoptimalkan peran organisasi-organisasi peduli Baitul Maqdis?

Saya yakin, yayasan-yayasan tersebut memiliki dua sisi pekerjaan. Yakni sisi yang bersifat langsung atau segera dan sisi yang bersifat strategis. Kedua sisi itu harus berdiri di atas ilmu dan pengetahuan. Yayasan yang bekerja untuk memberikan bantuan-bantuan sosial tentu membuat persiapan ilmu dan pengetahuan. Sebab jika dipersiapkan ilmunya maka yayasan itu bisa menemukan cara yang tepat mengumpulkan donasi, sedekah dan hadiah. Tapi jika tidak dipersiapkan ilmunya, maka aktifitas itu tidak bisa dipastikan keberhasilannya.

Jadi langkah pertama, semua kegiatan sosial kemanusiaan yang dilakukan yayasan-yayasan peduli Baitul Maqdis dan Palestina di Indonesia, harus membuat persiapan ilmu dan pengetahuan.

Yang kedua, yayasan-yayasan tersebut harus juga memikirkan langkah yang bersifat segera dan yang strategis. Yang saya maksud dengan langkah yang bersifat segera dan kekinian adalah saat ini ada kebutuhan mendesak di Gaza. Gaza mengalami pembantaian, holocaust, genosida dan segala penderitaan yang belum pernah dialami bangsa Palestina sebelumnya.

Untuk itu harus segera ada bantuan pada saudara kita semampunya dan mengarahkan semua harta, sedekah, zakat dan hadiah ke saudara kita di sana. Sebab 2/3 Gaza saat ini telah hancur, keluarga-keluarga tercerai berai, wanita-wanitanya menjanda dan anak-anak jadi yatim. Maka keadaan itu membutuhkan aksi yang bersifat segera.

Itulah bentuk aksi yang bersifat segera di Gaza. Demikian juga ada aksi serupa di Tepi Barat, di Baitul Maqdis, yang membutuhkan fokus perjuangan juga. Sayangnya, di Baitul Maqdis, mereka (Zionis Israel) dengan bebas melakukan Yahudisasi dan menguasainya. Di sana ada bangunan-bangunan warga yang dihancurkan dan butuh direnovasi kembali. Bangunan di samping Al Aqsha juga butuh perbaikan. Bantuan juga dibutuhkan untuk para murobith yang ada di dalam kawasan Al Aqsha. Mereka butuh dukungan dan bantuan. Indonesia bisa berperan di situ.

Bantuan itu tidak mesti dalam bentuk fisik seperti pengadaan makanan buka puasa di Al Aqsha selama Ramadhan. Sebenarnya saudara kita di Baitul Maqdis tidak terlalu butuh hal itu. Mereka justru butuh bantuan yang bersifat segera di sisi ini. Itulah sisi bantuan yang sifatnya segera dan sementara.

Tapi ada sisi lain yang bersifat strategis, yang harus kita fikirkan untuk jangka panjang yang bisa memberikan satu cara atau lainnya dalam pembebasan Baitul Maqdis. Seperti yang dilakukan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang memberikan wakaf untuk Tamim Ad Dari di Baitul Maqdis sebelum dikuasai umat Islam.

Di sisi strategis ini yayasan-yayasan itu juga harus memikirkannya secara serius.

Mengapa jumlah umat Islam yang besar tidak mampu menghadapi jumlah Yahudi yang sangat sedikit?

Ini seperti apa yang digambarkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam saat ia bersabda:

بل أنتم غثاء كغثاء السيل

“Justru kalian itu buih, seperti buih di lautan,”

Dua milyar Muslim itu adalah buih. Mereka tidak mampu memasukkan air yang bagus untuk saudara-saudara kita di Gaza. Mereka tidak sanggup memasukkan obat-obatan untuk saudara kita di Gaza. Apa sebabnya?

Sebabnya, sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yakni cinta dunia dan takut mati.

Hasan Al Banna menyebut dalam tulisannya di tahun 30an di tengah revolusi Palestina tahun 1936 istilah menciptakan kematian. Sebagaimana hidup itu diciptakan, maka kematian itu juga diciptakan.

Kita tidak ingin mati sia-sia. Kita umat yang mencintai kehidupan. Kita umat yang punya kepentingan memakmurkan bumi. Peran kita adalah sebagai khalifah di tanah ini. Kita harus makmurkannya.

Akan tetapi ketika tanah itu dijajah, ketika tempat Isra Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam itu dijajah, ketika kiblat pertama umat Islam itu dijajah, kita rupanya diam. Apa masalahnya?

Sebabnya karna umat ini seperti buih. Selama 107 tahun mereka tidak mampu terbebas dari penjajahan Inggris di tanah yang diberkahi itu. Mereka (umat Islam) tak mampu membebaskannya.

Oleh karena itu, umat yang punya orang-orang berakal ini harus menggunakan akalnya. Allah Ta’ala berfirman:

{فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ }

“Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama?” (QS At Taubah: 122)

Kita kembali ke pertanyaan pertama, kita butuh orang-orang yang belajar, memahami Al Qur’an, memahami sejarah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Mereka mengutamakan ilmu yang bermanfaat yang melahirkan pemikiran strategis dan perencanaan strategis.

Saya sendiri heran mengapa umat ini selama 107 tahun tidak memiliki rencana strategis untuk membebaskan Masjid al Aqsha. Allah Akbar. Bayangkan 107 tahun umat ini tidak memproduksi satu pun rencana strategis untuk membebaskan Al Aqsha.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di masanya setelah menyelesaikan masanya di Makkah, usai Isra dan Mi’raj, beliau menetapkan sebuah rencana strategis.

Sebagai individu, sebagai ulama, sebagai yayasan dan organisasi kita harus sungguh-sungguh memikirkan itu. Kita harus menginvestasiskan di akal-akal umat Islam yang memproduksi sebuah rencana strategis untuk membebaskan Al Aqsha.

Apakah itu berarti umat Islam tidak butuh jumlah besar untuk membebaskan Baitul Maqdis? Tapi cukup butuh kelompok kecil yang punya rencana strategis untuk membebaskannya?

Tidak diragukan lagi. Yang memimpin dunia ini, memimpin milyaran manusia haruslah kelompok elit yang terdiri dari ulama di bidang Al Qur’an dan Hadits, ilmuan di bidang perencanaan strategis, ulama pakar Baitul Maqdis dan ulama-ulama di berbagai bidang lainnya.

Mereka harus bersatu memikirkan satu rencana strategis dan melahirkan satu rencana strategis untuk membebaskan Masjid Al Aqsha.

Bukan rencana yang bersifat kepedulian saja. Selama ini sepanjang 107 tahun yang kita fikirkan baru sebatas bersifat empati. Kita cinta masjid Al Aqsha, kita ingin membebaskannya. Lalu bagaimana membebaskannya? Tidak ada satu rencana strategis sebagaimana dilakukan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, diteruskan Abu Bakar dan dipetik buahnya oleh Umar bin Khatthab. Kelompok elit itu yang mlakukan tugas ini.

Seperti pada perang Salib, saat itu umat Islam tercerai-berai lebih banyak dibanding seperti saat ini. Siapa yang memulai saat itu? Para ulama yang rabbani, ulama yang lahir dari generasi gemilang. Mereka memulai dengan menanamkan kedudukan penting Baitul Maqdis dan mengumpulkan banyak orang menyadarinya. Sehingga lahirlah kemudian generasi Imadudin yang melahirkan generasi Nuruddin lalu melahirkan di akhirnya generasi Shalahuddin yang berhasil membebaskan Baitul Maqdis.

Shalahuddin adalah satu bagian dari generasi. Kita butuh melahirkan generasi Shalahuddin. Melahirkan generasi Umar bin Khatthab. Jika kita berhasil melahirkan generasi seperti ini maka merekalah yang kelak membebaskan Masjid Al Aqsha. Tapi sebelum itu kita harus punya rencana strategis untuk membebaskan Masjid Al Aqsha. (LA/RA 02)

Wartawan: توفيق

Editor: توفيق