Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Amal kebaikan seseorang, tidak selamanya akan ‘abadi’ tersimpan di sisi Allah Ta’ala. Ada kalanya amal kebaikan itu akan rusak oleh sebab tertentu. Setidaknya, ada enam hal yang bisa merusak amal baik seorang hamba, seperti berikut ini.
Pertama, sibuk mengurusi aib orang lain (al istighlal bi’uyubil kholqi). Ada banyak tipe manusia yang hidup di bumi ini. Satu di antaranya adalah orang yang hidupnya hanya sibuk mengurusi aib orang lain. Orang semacam ini seperti tak pernah melihat dirinya pun banyak aib.
Dalam kitab Shifah al-Shafwah, Imam Abu al-Faraj Abdurrahman ibnu al-Jauzi (w. 597 H) mencatat nasihat yang diberikan Imam Dzun Nun al-Mishri kepada Muhammad bin Ahmad bin Salamah.
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Muhammad bin Ahmad bin Salamah berkata, “Aku mendengar Dzu Nun (al-Mishri) berkata—sesungguhnya aku memintanya memberiku nasihat saat (kami hendak) berpisah, maka dia berkata, “Jangan kau sibukkan (diri)mu pada aib orang (lain) daripada aibmu sendiri, (karena) kau tidak (punya wewenang menjadi) pemeriksa/pengawas mereka.”
Kemudian dia berkata, “Sesungguhnya hamba-hamba Allah yang paling mencintai Allah ‘Azza wa Jalla adalah mereka yang berakal (paling mengenal)-Nya. Dan, tanda kesempurnan akal seseorang dan ketawadukan dalam hal akalnya adalah dengan kebagusan (atau sikap santun)nya dalam mendengarkan orang yang berbicara meskipun dia (lebih) mengetahui (tentang isi/tema yang dibicarakan); (tanda lainnya) adalah kecepatannya dalam menerima kebenaran meskipun berasal dari orang yang (lebih) rendah darinya; (tanda lainnya lagi) adalah pengakuannya atas kesalahan dirinya jika dia memang bersalah.” (Imam Abu al-Faraj Abdurrahman ibnu al-Jauzi, Shifah al-Shafwah, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz 2, hlm. 445).
Rasulullah SAW juga melarang mengumbar aib orang lain. Sebagaimana sabdanya,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا
“Jauhilah oleh kalian prasangka, sebab prasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara.” (HR. Bukhari).
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Kedua, hatinya keras (qaswatul qulub). Orang yang keras hatinya, biasanya sulit untuk dinasehati dan menerima nasehat. Sebaliknya, dia lebih senang agar saat dia bicara, orang mendengar dan mengikuti pembicaraannya.
Di antara sebab kerasnya hati antara lain adalah; pertama, banyak bicara. Orang yang cerdas akalnya, maka akan berhati-hati dalam bicara. Nabi SAW mewanti-wanti, “Barangsiapa yang banyak bicara, maka banyak kelirunya. Barangsiapa yang banyak kelirunya, maka banyak dosanya. Barangsiapa yang banyak dosanya, maka neraka lebih baik baginya.” (HR Thabrani).
Namun tentunya, maksud banyak bicara di sini adalah bicara yang tanpa makna, sedangkan bicara yang memberi manfaat dan hikmah justru sangat dianjurkan. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka katakanlah yang baik-baik atau diam,” (HR Malik). (Lihat: Ibnu Abi ‘Ashim, al-Zuhd, Daru al-Rayyan: Kairo], 1408 H, hal. 38).
Yang menyebabkan kerasnya hati kedua, banyak makan. Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya banyak makan. Bukan tidak boleh makan ya, tapi banyak makan. Apalagi jika makan itu mengandung keharaman, tentu saja sedikit pun tidak boleh dimakan.
Baca Juga: Malu Kepada Allah
Para ulama sepakat di antara perkara halal yang dibenci adalah penuhnya perut. Ini yang halal, sudah tentu terhadap makanan yang haram lebih sangat dibenci. Karena itu salah satu pesan Luqman al-Hakim kepada putranya, “Wahai anakku, jika perutmu penuh, maka pikiranmu akan tidur, hikmah jadi tertutup, dan anggota tubuh akan lemah dibawa ibadah.”
Rasulullah SAW mengingatkan umatnya, agar tidak berlebihan mengisi perut. Sebab perut bukan wadah yang siap diisi apa saja sesuai hawa nafsu. Sekalipun ia diisi, tidak boleh berlebihan sehingga melebihi batas kemampuannya, sebagaimana dalam hadits, “Keturunan Adam tidak dianggap menjadikan perutnya sebagai wadah yang buruk jika memenuhinya dengan beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Karena itu, apa yang dia harus lakukan adalah sepertiga perutnya untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk nafas.” (HR Ahmad).
Yang ketiga, banyak bergaul dengan orang berakhlak buruk. Tentu saja bagi orang yang yakin dia tidak akan terjadi apa-apa jika bergaul dan malah memengaruhi kebaikan, maka tidak mengapa. Sebaliknya, jika iman kita lemah, maka tinggalkan bergaul bersama orang-orang yang buruk akhlaknya.
Luqman al-Hakim pernah berpesan kepada putranya, “Bergaullah dengan orang-orang saleh hamba Allah. Sebab, dari kebaikan-kebaikan mereka, engkau akan mendapatkan kebaikan. Boleh jadi, di akhir pergaulan dengan mereka, rahmat akan turun. Dan engkau mendapat rahmat itu bersama mereka. Wahai anakku, janganlah engkau bergaul dengan orang-orang buruk. Sebab, dengan bergaul dengan mereka, engkau tidak akan mendapat kebaikan. Boleh jadi di akhir pergaulan dengan mereka, siksaan turun kepada mereka. Dan engkau tertimpa siksaan itu bersama mereka.” (Ahmad ibn Hanbal, al-Zuhd, (Darul Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut], 1999, hal. 87).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-19] Jagalah Allah, Pasti Allah akan Menjagamu
Yang keempat, banyak memandang. Yang dimaksud adalah memandang dalam keburukan. Efeknya akan menimbulkan keburukan-keburukan lain; perzinahan, pemerkosaan, pembunuhan dan sederet keburukan lainnya.
Mengingat pentingnya menjaga atau menundukkan pandangan ini, maka Allah memerintahkannya langsung dalam Al-Quran, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’.” (QS al-Nur/24: 30).
Menjaga dan menundukkan pandangan bukan hanya untuk lelaki, tapi juga untuk kaum wanita Allah perintahkan agar menjaga pandangannya, “Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya’.” (QS al-Nur/24: 31).
Ketiga, cinta dunia (hubbud dunya). Dimaksud cinta dunia, adalah orang yang semata-mata menjadikan arah hidupnya hanya sebatas dunia semata. Cinta dunia merupakan kondisi seseorang yang menyukai dan mengorbankan segala yang dimilikinya demi mendapatkan kesenangan dunia baik berupa harta, wanita, atau tahta.
Baca Juga: Mengembangkan Pola Pikir Positif dalam Islam
Orang yang cinta dunia, merasa hidup di dunia ini adalah selamanya. Tidak pernah terpikir kehidupan yang sebenarnya adalah di akhirat. Cinta dunia menjadi salah satu sebab rusaknya amal kebaikan seorang hamba. Karena cinta dunia, seseorang jadi lupa mempersiapkan bekalnya untuk akhirat.
Dalam buku Tuntunan Generasi Muda terbitan Risalah Nur, Badiuzzaman Said Nursi menuliskan, mencintai dunia harus disertai dengan perenungan dan tafakur.
Nursi mengatakan, “Cintamu kepada dunia dalam bentuk yang dibenarkan agama, yakni yang disertai perenungan dan tafakur terhadap dua aspek keindahannya, sebagai ladang akhirat dan sebagai cermin yang menampakkan manifestasi Asmaul Husna.
Lantas mengapa cinta dunia bisa merusak hidup seseorang? Al Baihaqi dalam kitab Syu’ab Al Iman meriwayatkan hadis berbunyi:
Baca Juga: Tadabbur QS. Thaha ayat 14, Dirikan Shalat untuk Mengingat Allah
حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ
“Hubbuddunya ra’su kulli khathi’ah (cinta dunia adalah biang semua kesalahan).
Cinta dunia yang sudah membutakan hati mendorong seseorang berani korupsi, merampok, berjudi, dan melakukan kemaksiatan lainnya. Imam Ali bin Abi Thalib dalam Nahj Al-Balagha menyebutkan,
مَنْ لَهِجَ قَلْبُهُ بِحُبِّ الدُّنْيَا الْتَاطَ قَلْبُهُ مِنْهَا بِثَلَاثٍ هَمٍّ لَا يُغِبُّهُ وَ حِرْصٍ لَا يَتْرُكُهُ وَ أَمَلٍ لَا يُدْرِكُهُ
“Tiadalah cinta dunia itu menguasai hati seseorang, kecuali dia akan diuji dengan tiga hal, yakni cita-cita tak berujung, kemiskinan yang tak akan mencapai kecukupan, dan kesibukan yang tidak lepas dari kelelahan.”
Allah Ta’ala juga menimpakan berbagai musibah kepada suatu kaum jika cinta dunia mendominasi relung hati mereka. Rasulullah SAW bersabda,
Baca Juga: Terus Berjuang Membela Palestina
لا تزال أمّتي بخير ما لم يظهر فيهم حبّ الدّنيا في علماء فسّاق، و قرّاء جهّال، و جبابرة، فإذا ظهرت خشيت أن يعمّهم اللَّه بعقاب
“Umatku akan selalu dalam kebaikan selama tidak muncul cinta dunia kepada para ulama fasik, qari yang bodoh, dan para penguasa. Bila hal itu telah muncul, aku khawatir Allah akan menyiksa mereka secara menyeluruh.” (Lihat kitab Ma’rifat As Shahabah karangan Abi Nu’aim, juz 23 hal 408).
Rasulullah SAW mengkhawatirkan masa depan umat ini bila umatnya menguasai dunia. Beliau bersumpah:
فَوَاللَّهِ مَا الفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ، وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا، وَتُلْهِيَكُمْ كَمَا أَلْهَتْهُمْ
“Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan, tapi aku khawtir seandainya dunia ditaklukkan kamu sekalian seperti ditaklukkan orang-orang sebelum kamu, akibatnya kamu berlomba mencari dunia seperti mereka berlomba dan dunia pun menghancurkan kamu seperti menghancurkan mereka.” (HR Bukhari dan Muslim).
Mengapa cinta dunia disebut sebagai pangkal semua bentuk dosa dan kesalahan serta merusak keberagamaan seseorang? Ini bisa ditinjau dari beberapa aspek. Pertama, mencintai dunia yang berlebihan akan menimbulkan sikap mengagungkannya. Padahal, dunia di hadapan Allah sangat rendah. Mengagungkan apa yang dianggap hina oleh Allah termasuk dosa besar.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-18] Tentang Taqwa
Kedua, Allah melaknat dunia dan membencinya, kecuali dunia yang digunakan untuk kepentingan agama-Nya. Siapa mencintai yang dilaknat Allah, dia dibenci Allah dan diuji-Nya. Ad Daylami meriwayatkan hadis yang menyatakan, dosa besar yang paling besar adalah cinta dunia.
Ketiga, kalau seseorang cinta dunia berlebihan, dunia jadi sasaran akhir hidupnya. Orang itu akan menjadikan akhirat sebagai sarana mendapatkan dunia. Seharusnya, dunia ini dijadikan wasilah untuk menanam investasi akhirat.
Keempat, mencintai dunia akan menghalangi seseorang dari urusan akhirat. Selain itu, menghalangi mereka dari keimanan dan syariat. Cinta dunia bisa merintangi mereka menjalankan kewajiban atau minimal malas berbuat kebajikan.
Kelima, mencintai dunia mendorong kita menjadikan dunia sebagai orientasi hidup. Keenam, pencinta dunia disiksa berat dalam tiga tahapan. Di dunia tersiksa dengan berbagai kepayahan dalam mencarinya, di alam kubur merasa sengsara karena harta dunia yang telah dicarinya tidak dibawa ke alam barzah.
Baca Juga: Mahsyar dan Mansyar: Refleksi tentang Kehidupan Abadi
Dan di alam akhirat, dia akan menjumpai kesusahan berat saat dihisab. Siksa inilah yang ditegaskan dalam Qur’an surat at Taubah ayat 55.
فَلَا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ
“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.”(A/RS3/P2)
Bersambung…
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Sujud dan Mendekatlah