Jakarta, 14 Sya’ban 1437/21 Mei 2016 (MINA) – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memberikan rekomendasi kepada daerah-daerah untuk mencabut Perda miras karena dianggap tumpang tindih, tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi, dan menghambat investasi.
Aktivis wanita, Fahira Idris, Ketua Gerakan Nasional Anti Miras (Genam) menganggap keputusan pemerintah itu tidak berdasar dan mencerminkan tidak adanya sensitivitas pemerintah terhadap maraknya kejahatan akibat miras yang terjadi belakangan ini.
“Saya mau ingatkan, yang paling bahaya dari sebuah pemerintahan adalah jika dia sudah kehilangan sensitivitasnya terhadap persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Ada aturan saja, miras masih jadi momok, apalagi kalau aturan mau dicabut. Saya nggak habis pikir, pemerintah ini maunya apa sih?” tukas Fahira Idris, di Jakarta dalam keterangan pers yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Sabtu.
Menurut Fahira, yang juga Wakil Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD), ini sudah kali kedua pemerintah mencoba-coba melonggarkan aturan mengenai miras.
Pertama dengan merelaksasi Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (Dirjen Dagri) No. 04/PDN/PER/4/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A, yang sempat membuat gaduh dan kemudian dianulir.
Kedua, dengan merekomendasi pencabutan perda-perda miras yang saat ini mulai bergulir.
“Masyarakat lelah dan bisa marah, kalau pemerintah terus test the water soal miras. Janganlah dalih investasi dijadikan alasan untuk mencabut perda-perda miras. Presiden kan sudah sampaikan tidak masalah negara kehilangan triliunan rupiah karena pelarangan penjualan miras. Karena jika dibiarkan kerugian yang akan ditanggung negara ini lebih besar.”
“Tetapi kenapa Instruksi Presiden ini tak dihiraukan bawahannya. Lagi pula, pendapatan negara dari miras tidak signifikan. Yang signifikan itu kerusakannya,” ujar Fahira yang adalah cucu dari KH Hasan Basri yang semasa hidupnya pernah menjadi Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia (MUI) dan Imam Besar Masjid Agung Al-Azhar.
Baca Juga: Sertifikasi Halal untuk Lindungi UMK dari Persaingan dengan Produk Luar
Menurut Fahira, alasan Perda miras tumpang tindih dan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi juga tidak berdasar. Saat ini, lanjut Fahira, aturan Pemerintah Pusat soal Miras masih Perpres No.74/2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol.
Ada poit khusus dalam Perpres ini, di mana kepala daerah diberikan wewenang untuk mengatur peredaran miras sesuai dengan kondisi kulturnya. Artinya, daerah bukan hanya punya wewenang membuat Perda yang mengatur miras, tetapi juga diberi ruang untuk membuat perda anti miras.
Kedua, Permendag No.06/2015 yang melarang total semua minimarket/toko pengecer di Indonesia menjual segala jenis minol.
“Itulah kenapa Papua membuat Perda Anti Miras yang mengharamkan segala aktivitas miras di daerahnya, karena Perpres membolehkan. Terus kalau sekarang Perda-perda miras mau dicabut, dasarnya apa? Setiap kebijakan pemerintah itu, harus memenuhi aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis. Kebijakan pencabutan ini, sama sekali tidak memenuhi ketiga aspek tersebut,” tegasnya.
Baca Juga: Menko Budi Gunawan: Pemain Judol di Indonesia 8,8 Juta Orang, Mayoritas Ekonomi Bawah
Untuk itu, lanjut Fahira, Kemendagri harus menjelaskan secara terbuka kepada publik, keterdesakan apa yang membuat perda-perda miras di Indonesia harus dicabut secara filosofis, yuridis, sosiologis.
“Saya dorong Kemendagri menjelaskan kebijakannya ini ke publik secara terbuka dan langsung. Jangan coba-coba batalkan perda miras kalau tidak ada alasan yang logis,” tegas Fahira. (T/P005/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Hingga November 2024, Angka PHK di Jakarta Tembus 14.501 orang.