Oleh: Ali Farkhan Tsani, Penulis Redaktur Senior MINA (Mi’raj Islamic News Agency), Da’i Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor, Jabar
Gerhana Matahari Total (GMT) diprediksi akan menyambangi wilayah Indonesia pada Rabu 9 Maret mendatang. Fenomena alam tersebut sangat menarik perhatian wisatawan mancanegara untuk menyaksikannya secara langsung di Indonesia. Beberapa hotel dilapokan sudah dibooking oleh pemesan turis luar negeri.
Sampai-sampai Wakil Presiden Jusuf Kalla pun meminta warga untuk tidak menyia-nyiakan fenomena alam langka tersebut.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
“Kami mengajak masyarakat untuk menyaksikannya meski harus menggunakan alat khusus,” ujar JK di kantor Wapres, Jl Medan Merdeka Utara, Jakpus, Senin.
PATA Indonesia Chapter pun mengundang beberapa wakil kepala daerah yang akan dilintasi oleh GMT Mereka bersepakat untuk bersinergi mengemas wisata GMT ini menjadi sesuatu yang menarik.
“Dari hasil kesepakatan, mereka (kepala daerah) berencana akan mengemasnya dengan kolaborasi budaya dan mitos. Akan ada sendratari atau upacara-upacara adat yang akan digelar sebagai pertunjukan saat GMT. Lalu setelahnya bisa dilanjutkan dengan membawa mitos atau dongeng-dongeng zaman dulu saat GMT berlangsung,” ungkap CEO PIC, Poernomo Siswoprasetijo.
Pergelaran budaya dan mitos-mitos yang kembali ditampilkan saat GMT tiba diharapkan dapat menunjukkan identitas kota tersebut.
Baca Juga: Malu Kepada Allah
GMT diprediksi akan melintasi tujuh kota di Indonesia. Antara lain, Belitung, Balikpapan, Palangkaraya, Bengkulu, Ternate, Palembang, dan Palu.
gmt-brownspaceman.jpg" alt="gmt brownspaceman" width="259" height="194" />Kekuasaan Allah
Dahulu pada jaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, peristiwa gerhana matahai pernah juga terjadi. Disebutkan dari Mughirah bin Syu’bah, berkata: Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terjadi gerhana matahari, bertepatan dengan hari meninggalnya Ibrahim (putera Rasulullah). Karena itu orang banyak berkata,” Terjadinya gerhana matahari karena meninggalnya Ibrahim.” Maka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan, “Sesungguhnya terjadinya gerhana matahari dan gerhana bulan bukanlah karena kematian atau kelahiran seseorang. Apabila kita melihatnya, maka shalatlah dan berdoalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”.
Pada riwayat lain disebutkan, yang artinya, “Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Kedua gerhana itu tidak terjadi karena kematian seseorang dan bukan pula karena hidupnya seseorang. Maka jika kalian melihat peristiwa tersebut berdoalah kepada Allah dan bertakbirlah, serta laksanakan shalat dan bershadaqahlah.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-19] Jagalah Allah, Pasti Allah akan Menjagamu
Terjadinya gerhana merupakan tanda keagungan Allah yang Maha Kuasa, menggerakkan setiap planet di jagat raya ini, untuk saling berada pada satu garis, saat gerhana.
Di dalam ayat disebutkan:
وَمِنۡ ءَايَـٰتِهِ ٱلَّيۡلُ وَٱلنَّهَارُ وَٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُۚ لَا تَسۡجُدُواْ لِلشَّمۡسِ وَلَا لِلۡقَمَرِ وَٱسۡجُدُواْ لِلَّهِ ٱلَّذِى خَلَقَهُنَّ إِن ڪُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah kalian sujud (menyembah) matahari atau bulan, tapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika memang kalian beribadah hanya kepada-Nya.” (Q.S. Fushilat [41]: 37).
Baca Juga: Mengembangkan Pola Pikir Positif dalam Islam
Pada ayat lain Allah menyatakan:
وَهُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلَّيۡلَ وَٱلنَّہَارَ وَٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَۖ كُلٌّ۬ فِى فَلَكٍ۬ يَسۡبَحُونَ
Artinya: “Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya. (Q.S. Al-Anbiya [21]: 33).
Begitulah Allah menciptakan alam semesta ini dengan seluruh keteraturannya sebagai bukti keagungan, kebesaran dan kesempurnaan-Nya. Salah satu fenomena alam semesta luar biasa yang Allah tampakkan kepada manusia di antaranya adalah adanya gerhana, saat itu salah satu benda langit menutupi benda langit lainnya.
Baca Juga: Tadabbur QS. Thaha ayat 14, Dirikan Shalat untuk Mengingat Allah
Termasuk Fenomena Gerhana Matahari (GMT) yang insya-Allah akan menyambangi wilayah Indonesia. Allah bermaksud memberikan pelajaran dengan peristiwa tersebut agar manusia beribadah kepada Allah, menyembah Allah, tidak menyembah matahari atau bulan.
Shalat Gerhana
Prof. Dr. Susiknan Azhari, guru besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menyebutkan, dalam berbagai literatur studi Islam, Gerhana Matahari biasa diistilahkan dengan “kusuf” dan Gerhana Bulan dengan istilah “khusuf”.
Menurutnya, ditemukan hampir semua kitab fikih membahas gerhana. Hal ini menunjukkan perhatian para ulama sangat besar terhadap peristiwa gerhana. Pada umumnya pembahasan meliputi pelaksanaan salat gerhana beserta tatacaranya yang bersumber dari berbagai hadis. Jumhur ulama berpendapat bahwa salat gerhana hukumnya sunah muakad (sunah yang sangat dianjurkan, seperti shalat Idul Fitri dan Idul Adha).
Baca Juga: Terus Berjuang Membela Palestina
Prof. Susiknan mengingatkan, agar memang peristiwa itu tidak boleh terlewatkan begitu saja. Namun bukan semata pada sekadar melakukan pengamatan. Justru perlu digalakkan gerakan nasional shalat Gerhana Matahari Total, lalu memperbanyak berdzikir, bershadaqah, dan beramal salih, berbuat kebajikan.
Adapun tatacara melaksanakan shalat gerhana adalah secara berjama’ah. Seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abbas saat shalat gerhana bulan di Bashrah mengimami penduduk setempat, dan mengatakan bahwa ia melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melakukannya demikian.
Hadits itu maknanya, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berdiri (untuk shalat di masjid) pada hari terjadi gerhana matahari. Lalu Nabi mengadakan shalat gerhana dan membaca bacaan yang panjang (seukur seratus ayat surat al-Baqarah). Kemudian Nabi mengangkat kepala (setelah ruku’) dan mengucapkan “Sami’ Allahhu Liman Hamidah”, dan berdiri lagi lalu membaca bacaan yang panjang, sedang bacaan (dalam berdiri yang kedua) ini sedikit berkurang daripada bacaan yang pertama. Kemudian Nabi ruku’ kembali dengan ruku’ yang panjang, sedang ruku’ ini berkurang dari ruku’ pertama. Kemudian (setelah berdiri dari ruku’) Nabi sujud dengan sujud yang panjang (bertasbih seukur bacaan seratus ayat). Lalu Nabi bertindak sepadan demikian (rakaat pertama) itu pada rakaat yang akhir (kedua). Selanjutnya Nabi mengakhiri shalatnya dengan salam. Sementara gerhana matahari berakhir. Lalu (setelah shalat) Nabi berkhutbah kepada manusia. “Pada gerhana matahari dan bulan, sesungguhnya keduanya adalah dua tanda (kebesaran) di antara tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidaklah terjadi gerhana karena kematian seseorang, tidaklah pula karena kehidupan seseorang. Maka apabila kalian melihat keduanya (gerhana) maka bersyukurlah dengan shalat gerhana.” (H.R. Al-Bukhari).
Ringkasnya adalah: shalat gerhana dilakukan dua rakaat seperti shalat sunah pada umumnya, hanya sedikit perbedaannya adalah ruku’nya dua kali pada riap rakaat, juga dengan dua kali membaca surat Al-Fatihah, dan bacaan-bacaannya relatif panjang.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-18] Tentang Taqwa
Berbeda dengan shalat Idul Fitri dan Idul Adha yang disunahkan dilakukan di lapangan terbuka, shalat gerhana disunahkan dilakukan di masjid, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melakukannya di masjid. Namun jika tidak dilakukan di masjid pun, misalnya di rumah, perkantoran, lapangan, halaman, dll, maka tetap sah, karena masjid bukan syarat keabsahannya.
Pada shalat gerhana tidak disyariatkan adzan dan Iqamat seperti juga pada shalat Id. Untuk mengawali shalat gerhana, imam cukup menyerukan misalnya dengan kalimat, “Ashshalaatu jaami’ah, shalatlah berjama’ah”.
gmt-300x225.jpg" alt="gmt" width="269" height="202" />Hikmah Gerhana
Dengan adanya gerhana matahari ataupun bulan, menunjukkan tanda keagungan Allah, bahwa Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu, termasuk berkuasa menggerakkan bulan dan matahari. Semata karena kehendak-Nya, bukan mitos karena sesuatu, matinya atau hidupnya seseorang.
Baca Juga: Mahsyar dan Mansyar: Refleksi tentang Kehidupan Abadi
Wujud dari pengagungan kepada Allah itu adalah dengan melaksanakan shalat gerhana, memperbanyak takbir (bacaan Allahu Akbar), memaknai bahwa hanya Allah yang Maha Besar. Selain itu juga dengan memperbanyak istighfar (astaghfirullaahal ‘adzim, memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung), memperbanyak bershadaqah dan amal shalih (berbuat baik).
Begitulah, Dialah Allah yang berhak dan mampu mengatur semuanya. Dialah Allah yang mempergilirkan siang dan malam, mengatur perjalanan dan pergerakan benda-benda angkasa raya, mulai dari yang paling kecil sampai yang paling besar. Serta dialah Allah yang mendatangkan gerhana kapanpun Dia berkehendak. Semua makhluk pun tunduk kepada-Nya.
Sungguh, terjadinya gerhana memberikan pelajaran dan sekaligus peringatan bagi kita manusia agar segera bertaubat dari dosa-dosa dan segera beramal kebajikan, melakukan berbagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, di antaranya adalah dengan melakukan shalat gerhana wujud ketundukan kita kepada-Nya.
Itu akan jauh lebih mulia dibandingkan dengan wisata beramai-ramai nobar (nonton bareng) gerhana. Apalagi jika disertai dengan mitos dan acara yang melanggar syariat Allah, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, acara yang membuka aurat, dan perkataan yang jauh dari rasa tawadhu (merendahkan diri) di hadapan Allah Yang Maha Kuasa. Wallahu a’lam bish shawwab. (P4/P2)
Baca Juga: Sujud dan Mendekatlah
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)