Hambali bin Husin, putra ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Husin dan Hasanah, lahir di Negararatu, Natar, Lampung Selatan, pada 10 November 1952. Sebagai warga asli Lampung, Hambali tumbuh dalam keluarga yang hidup dengan sederhana, namun penuh keteguhan.
Pada awal tahun 1973, sebuah kelompok warga dari Pringsewu, Lampung, yang dipimpin oleh Ustaz Saefudin Adjukarsa, memulai perjalanan hijrah menuju barat Desa Negararatu, Natar. Mereka bertekad mendirikan sebuah kampung madani, di mana masyarakatnya dapat menghidupkan ajaran Islam yang Rahmatan Lil Alamin.
Dalam perjalanan hijrah tersebut, kelompok ini memulai dengan membangun sebuah masjid dan rumah-rumah di tengah lahan kebun yang dipenuhi semak belukar setinggi lebih dari satu meter. Suasana alam yang masih liar di sana, dengan binatang-binatang seperti babi hutan dan monyet berkeliaran, menjadi tantangan besar bagi para pendiri kampung yang penuh semangat itu.
Saat itu, usia Hambali baru 23 tahun, ia memperhatikan dengan saksama aktivitas kelompok yang hadir di desanya. Kelompok ini, yang oleh warga sekitar dijuluki sebagai Islam Muhajirun, dikabarkan memiliki afiliasi dengan Komando Jihad (Komji) di Sumbar Jaya, Lampung Barat. Berbagai isu dan fitnah berkembang pesat kala itu. Menurut Hambali, kelompok ini bahkan dituduh merencanakan makar terhadap pemerintah Indonesia.
Baca Juga: Kisah Muchdir, Rela tak Kuliah Demi Merintis Kampung Muhajirun
Salah satu gosip yang paling aneh adalah bahwa setelah Shalat Isya, para pria dan wanita di kelompok ini disebut-sebut berjoget bersama. Bukannya membuatnya takut, isu-isu tersebut justru semakin membangkitkan rasa penasaran Hambali. Kelompok macam apa sebenarnya mereka ini?
Cerita aneh lainnya juga beredar, seperti bayi-bayi yang baru lahir dimandikan di kolam, atau anggapan bahwa anggota kelompok tersebut tidak akan meminum minuman yang disajikan orang lain. Warga bahkan diperingatkan agar tidak menerima minuman dari mereka, karena konon akan terkena pelet jika diminum.
Fitnah-fitnah yang beredar justru semakin membangkitkan rasa penasaran Hambali, hingga ia pun mulai lebih sering berinteraksi dengan kelompok tersebut. Namun, semakin sering ia bertemu dan bergaul dengan mereka, semakin jelas bahwa semua isu yang berkembang tidaklah benar.
Hambali menghabiskan waktu cukup lama untuk mempelajari kelompok ini, sekitar tiga tahun ia berinteraksi langsung dengan mereka. Akhirnya, ia memutuskan untuk bergabung dengan kelompok yang belakangan diketahui bernama Jama’ah Muslimin.
Baca Juga: Bashar Assad Akhir Rezim Suriah yang Berkuasa Separuh Abad
Yang menarik, Hambali mengakui bahwa keputusannya untuk bergabung tidak berdasarkan dalil pada awalnya, melainkan karena terkesan dengan pengamalan hidup sehari-hari mereka. Ketika berjalan di depan rumah-rumah mereka, selalu ada yang menyapa dengan salam dan menawarkan untuk mampir sekadar menikmati secangkir kopi atau teh. Kehangatan ini membuatnya merasa sejuk tinggal di lingkungan tersebut.
Meski masyarakat di sana hidup sederhana, terkadang hanya makan singkong, Hambali melihat kebahagiaan yang tulus dalam ketaatan mereka kepada Allah. Tidak ada kesedihan di wajah mereka, hanya ketentraman dan kegembiraan yang terpancar dari kehidupan yang penuh pengabdian.
Saat itu, Jama’ah tengah merintis pembangunan Pondok Pesantren Shuffah Hizbullah dan Madrasah Al-Fatah. Hambali, yang sebelumnya tinggal di kampung induk Negararatu, memutuskan untuk hijrah ke kampung baru yang kelak dikenal sebagai Kampung Muhajirun. Ia menempati rumah sederhana berukuran 4×6 meter, berdinding geribik, beralaskan lantai tanah, dan beratapkan alang-alang, dengan hanya satu kamar.
Selama bertahun-tahun tinggal di kampung yang tertib dan teratur, Hambali merasakan ketenangan dalam ketaatan. Kehidupan yang penuh disiplin dan kekompakan di antara warga membuatnya semakin teguh. Namun, ketaatannya sempat diuji sekitar tahun 1987.
Baca Juga: Nama-nama Perempuan Pejuang Palestina
Saat itu, Hambali bekerja sama dengan pelaku UMKM di Pringsewu. Ia memasarkan produk berupa roti bolu dan kue jipang hingga ke pelosok-pelosok Lampung. Permintaan yang semakin meningkat membuatnya harus menggunakan dua kendaraan: sebuah truk dan sebuah mobil minibus. Minibus tersebut dibelinya dengan sebagian dana yang diperoleh dari Pembina Utama Ponpes Al-Fatah, Imaam Muhyiddin Hamidy, dengan niat untuk mengembangkan usaha bersama.
Suatu hari, setelah memuat barang di Pringsewu, Hambali melanjutkan perjalanan menuju Menggala, Tulang Bawang, Lampung. Karena waktu sudah larut malam, ia memutuskan untuk singgah di Kampung Muhajirun dan menginap semalam, sebelum melanjutkan perjalanan keesokan paginya.
Usai shalat subuh, Hambali dipanggil oleh Pembina Ponpes Al-Fatah Lampung saat itu, Ustaz Damiri, bersama beberapa staf. Ada pesan penting yang harus disampaikan kepada Hambali dari Imaam Muhyiddin Hamidy.
“Ham, ada amanah dari Imaam. Kamu harus ke Jakarta hari ini, bawa mobil minibus ini dan jual di sana,” kata Ustaz Damiri, menirukan pesan yang disampaikan Imaam.
Baca Juga: Sosok Abu Mohammed al-Jawlani, Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham
Mendengar pesan itu, Hambali merasa berada dalam dilema. Selama berada di Jama’ah, ia diajarkan untuk selalu siap dalam ketaatan. Namun, kondisinya saat itu sulit; mobilnya sudah penuh dengan roti bolu yang akan dipasarkan di Menggala, dan barang-barang tersebut belum dibayar. Tugas mendadak ini terasa berat untuk segera dilaksanakan. Hambali pun meminta kebijaksanaan Ustaz Damiri.
“Ustaz, Saya sudah memuat roti dan hendak mengantarkannya ke Menggala. Roti ini belum dibayar. Mana mungkin Saya bongkar begitu saja. Saya akan ke Jakarta, tapi izinkan Saya mengantarkan roti terlebih dahulu,” pinta Hambali.
Dengan tenang, Ustaz Damiri menjawab, “Terserah kamu, yang penting amanah dari Imaam sudah Saya sampaikan.”
Hambali menafsirkan kata “terserah” sebagai izin, sehingga ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan memasarkan roti terlebih dahulu. Setelah berhasil menjual semua roti, dalam perjalanan pulang, ia singgah di rumah temannya di Unit 6, Tulang Bawang, Lampung, tempat di mana ia biasa berhenti untuk makan dan beristirahat sejenak.
Baca Juga: Abah Muhsin, Pendekar yang Bersumpah Jihad Melawan Komunis
“Teman saya biasa transit di Unit 6, dan saya sering makan di sana,” ujar Hambali. Setelah makan, temannya meminta bantuan. Anak angkatnya di Simpang Randu, Unit 5, hendak pindah dan butuh bantuan untuk mengangkut barang-barangnya.
Terlena dengan situasi, Hambali lupa akan amanah dari Imaam Muhyiddin Hamidy untuk segera ke Jakarta. Akhirnya, ia memuat barang-barang milik anak temannya itu ke mobil. Suami istri yang akan pindah ikut serta dalam mobil tersebut—sang suami duduk di belakang, sementara istrinya duduk di depan sambil menggendong anak mereka yang masih berumur dua tahun.
Dalam perjalanan menuju Unit 6, saat melintasi jalan yang menikung dan menurun, Hambali kehilangan kendali atas mobil. Mobil tersebut terperosok ke dalam siring dan terbalik hingga keempat rodanya berada di atas. Kecelakaan itu mengakibatkan anak berumur dua tahun yang digendong sang ibu akhirnya meninggal dunia setelah sempat mendapatkan perawatan di puskesmas terdekat.
Setelah mengurus segala sesuatu terkait korban kecelakaan, Hambali kembali ke Natar. Ia tiba di Kampung Muhajirun pada malam hari. Belum sempat mandi atau mengganti baju, istrinya, Siti Nurani, menyampaikan kabar yang membuatnya terpukul. Anak-anak mereka yang baru pulang dari masjid menangis karena diolok-olok teman sebayanya dengan perkataan, “Bapak kamu ditahkim (dihukum).”
Baca Juga: Pangeran Diponegoro: Pemimpin Karismatik yang Menginspirasi Perjuangan Nusantara
Ketaatan yang Teruji
Saat itu, setelah pengumuman di masjid, Hambali menyadari bahwa dirinya ditahkim oleh Pembina Ponpes, Ustaz Damiri. Warga pun dilarang untuk memberikan salam atau menjawab salam darinya. Hambali paham, keputusan ini dijatuhkan karena dirinya tidak segera menaati perintah untuk berangkat ke Jakarta. “Biarlah, saya memang salah,” pikirnya.
Namun, ujian belum berakhir. Setelah shalat subuh, Ustaz Anshor, pemilik rumah tempat Hambali tinggal, tiba-tiba mengetuk pintu. Tanpa menunggu dipersilakan masuk, Ustaz Anshor langsung berkata, “Ham, sudah tahu belum rumah ini sudah dijual ke Pak Rukman? Rumah ini kan rumah saya, dan saya butuh uang, jadi saya jual. Rumah ini mau diangkat, mau dibongkar.”
Dalam hati, Hambali berpikir bahwa Ustaz Anshor sedang mengusirnya. “Ya sudah, insya Allah hari ini saya keluar,” jawab Hambali dengan tenang. Pagi itu juga, Hambali memutuskan untuk kembali ke rumahnya di Negararatu. Namun, meski demikian, ia tetap menerima tahkim ini dengan lapang dada. “Saya taat, karena saya memang salah,” ucapnya.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Hambali tidak merasa sakit hati terhadap Ustaz Anshor maupun Ustaz Damiri. Ia justru mengagumi ketaatan warga Jama’ah. “Suatu ketika, saya berpapasan dengan salah seorang warga Muhajirun yang sedang naik becak, sementara saya naik sepeda. Ketika saya memberi salam, dia tidak menjawab. Saya tidak marah atau sakit hati, justru saya salut karena mereka taat pada keputusan pimpinan,” kenangnya.
Meski dalam keadaan ditahkim, Hambali tetap aktif menghadiri setiap kegiatan pengajian di Ponpes Al-Fatah. Suatu ketika, setelah taklim, ia bertemu dengan pimpinan Ponpes saat itu, Ustaz Hasyim. Ketika Hambali ingin bersalaman, tangannya ditepis.
Hambali merasakan kebahagiaan melihat betapa taatnya Ikhwan terhadap keputusan pimpinan. “Saya merasa khianat. Saya sadar ini adalah peringatan. Bukan salah Ustadz Damiri, tetapi kesalahan saya dalam mengolah amanat,” ungkapnya.
Selama enam tahun, Hambali menjalani masa tahkim. Di tahun keenam, ia akhirnya bertemu dengan Imaam Jama’ah Muslimin, pembina utama jaringan Ponpes Shuffah Hizbullah dan Madrasah Al-Fatah saat itu, Imaam Muhyiddin Hamidy. Dalam momen penuh emosi itu, mereka berpelukan, saling menangis, dan meminta maaf. Setelah pertemuan yang mengharukan tersebut, Hambali kembali aktif di ponpes yang telah memiliki lebih dari 30 cabang, tersebar dari Sumatera hingga ke Indonesia bagian timur.
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Hambali menyampaikan pesan penting, “Jihad tidak akan terwujud tanpa ketaatan. Jihad ini adalah perintah dari pimpinan. Saat itu, saya tidak merasa sakit hati terhadap Ustadz Anshor dan Ustadz Damiri. Bahkan, saya memuji Ustadz Damiri yang berani mengambil keputusan tahkiman,” ujarnya dengan tegas.
Ia menekankan pentingnya ketaatan sebagai pakaian sehari-hari, karena kita telah mengangkat pemimpin. “Inti dari mengangkat kepemimpinan adalah ketaatan. Kita sudah memiliki Imaam dan telah berjanji untuk taat kepada Imaam. Modal utama untuk taat adalah ilmu dan keikhlasan. Tanpa ilmu, keikhlasan tidak akan ada maknanya. Begitu juga sebaliknya, ilmu tanpa keikhlasan adalah sia-sia,” tegasnya.
Untuk menjaga keikhlasan dalam ketaatan, Hambali mengingatkan agar kita selalu memeriksa amanah yang diberikan, apakah sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. “Jika tidak menyalahi, tidak ada jalan lain selain taat. Jika tidak ada dalil, kita mengikuti ijtihad pimpinan. Ketika mendengar Haq, kita harus mengatakan ‘sami’na wa athona’—tidak ada pilihan lain. Mengenai ketaatan ini, kita perlu saling mengingatkan terus menerus,” ujarnya.
Ketika sudah berniat untuk menaati pimpinan, seharusnya kita semua berambisi untuk berada di garis depan, berlomba-lomba dalam melakukan ibadah yang terbaik. Kita harus saling berebut untuk menjadi yang terdepan dalam perjuangan, dengan dasar ketaatan dan keikhlasan kepada Allah dan Rasul-Nya.[Nur Hadis]
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
Mi’raj News Agency (MINA)