oleh: Illa Kartila*
Maksud baik ternyata tidak selalu mendapatkan respon positif jika manfaatnya jauh lebih kecil ketimbang mudaratnya dan menimbulkan polemik akibat pro kontra di kalangan masyarakat. Itulah yang terjadi terhadap wacana peraturan daerah Kabupaten Jember tentang tes keperjakaan dan keperawanan bagi para siswa sebagai syarat kelulusan ujian nasional (UN).
Menjelang pelaksanaan UN utamanya para siswa SMP dan SMA di Jember, Jawa Timur dibuat resah. Pasalnya, DPRD Jember berencana menjadikan tes keperjakaan dan keperawanan sebagai salah satu syarat kelulusan mereka.
Wacana ini mulai menghangat setelah Komisi D DPRD Jember melakukan Rapat Koordinasi Badan Legislatif bersama Dinas Pendidikan. DPRD berencana membuat Raperda Akhlakul Karimah (tentang perilaku yang baik dan terpuji) yang berlatar belakang kepada semakin parahnya hubungan di luar nikah dan kasus HIV di Jember.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
“Harus dibuat segera untuk membetengi kondisi tersebut,” kata anggota Komisi D DPRD Jember, Habib Isa.
Wacana DPRD Jember ini memang bukan tanpa alasan. Tahun 2006, jumlah pengidap HIV yang terdata mencapai 1.200. Sekitar 10 persennya adalah pelajar. Namun demikian, Raperda Akhlakul Karimah itu memicu kontroversi dari dunia pendidikan sendiri. Selain menyinggung moral, Raperda ini justru menambah tekanan bagi siswi menjelang pelaksanaan UN.
“Berlebihanlah, sangat-sangat tidak setuju, wacana itu menurut saya hanya sok-sok mengacu kepada moral saja. Tapi bukan begitu caranya,” kata seorang guru yang tak bersedia disebut namanya.
Anggota Komisi X DPR Krisna Mukti menilai, usulan syarat kelulusan harus tes perawan dan perjaka tidak wajar. Dia pun mengecam DPRD Jember jika benar-benar mengesahkan Raperda tersebut. “Itu ngaco dan mengada-ada, enggak ada hukum dan aturan di bidang pendidikan, tidak masuk akal dan tidak ada relevansinya.”
Menurut anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut, wanita bisa kehilangan keperawananya karena berbagai hal, tidak selalu hanya akibat berhubungan intim saja. Karena itu dia meminta DPRD Jember untuk tidak mengusulkan hal yang aneh-aneh, lantaran tidak ada kaitannya antara tes keperawanan dan keperjakaan dengan kelulusan siswa.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Anggota Komisi VIII DPR, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo juga berpendapat bahwa wacana tes keperawanan dan keperjakaan sangat diskriminatif. Menurut dia, itu juga termasuk bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
“Pelanggaran HAM juga, apalagi menghilangkan rasa aman pada seseorang dengan melakukan tes keperawanan ini, sebenarnya secara biologi maupun psikologis ini tidak bisa dilakukan,” ujarnya.
Politikus Partai Gerindra itu menambahkan, jika Raperda tersebut ditetapkan, maka DPR lewat Komisi VIII akan berada di garda terdepan untuk menarik kembali peraturan tersebut, sebab akan menimbulkan keresahan dan kecaman dari masyarakat.
Selain itu, dia juga mendesak Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A), Yohana Yembise turun tangan untuk mengecam peraturan tersebut. “Semoga Kementerian tersebut mengambil langkah untuk berbicara langsung dengan pemerintah daerah yang memberlakukan Perda seperti itu.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio, anggota Komisi X DPR juga menyatakan, usulan seperti itu dinilainya sangat tidak produktif, karena masih banyak hal penting lainnya yang perlu dilakukan oleh DPRD Jember, selain mengusulkan tes keperawanan.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu juga mendesak agar DPRD Jember, tidak memberlakukan Perda tersebut, karena akan menimbulkan dampak buruk. “Kami mengimbau hal seperti itu, enggak usah ada. Kalaupun bicara tidak perawan, bukan berarti siswa enggak produktif, dia aktif dan pintar.”
Soal keperawanan itu bisa jadi dia kena musibah, kecelakaan dan hal-hal yang lain, bukan melulu karerna seks di luar nikah. “Kemampuan seseorang tidak hanya diukur dari keperawanan atau keperjakaan, melainkan dari kapabilitas siswa tersebut,” katanya.
NU Jember tolak tes
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Keperawanan menurut Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Jember, sifatnya sangat privasi dan menyangkut martabat seorang wanita. Jika itu harus menjadi syarat kelulusan siswa dari sekolah, maka tentu banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Hal itu yang menjadi dasar penolakan NU terhadap tes keperawanan.
“Keperawanan itu sangat sensitif. Kalau seorang siswi tidak memenuhi syarat itu, dia pasti akan menjadi gunjingan di masyarakat. Okelah, misalnya itu disepakati, ngeceknya mungkin agak gampang.
Tapi masak itu cuma diberlakukan untuk wanita, lelakinya bagaimana? Terus ngeceknya bagaimana kalau dia lelaki?” kata Katib Syuriyah PCNU Jember, MN Harisuddin.
Dia memang sepakat bahwa akhlaq pelajar harus terus dibenahi apalagi dewasa ini moralitas remaja sudah mencapai titik nadir. Perkosaan, seks bebas sudah kerap terjadi di kalangan pelajar. Kendati demikian, keperawanan tidak perlu dijadikan syarat untuk kelulusan sekolah. “Kalau akhlaqnya, nilai agamanya, dan intensitas ibadahnya, kita jadikan syarat kelulusan, itu bagus.”
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Kantor Kementerian Agama di Jember juga bingung dengan wacana tersebut. Sebab tidak mudah menentukan seorang siswi perawan atau tidak. Perlu keahlian seorang dokter untuk menentukan hilangnya keperawanan seorang siswi, apakah karena hubungan seks atau sebab lain seperti olahraga dan korban perkosaan.
Kementerian Agama setuju jika porsi pendidikan moral ditambah untuk membentengi para siswa dan siswi dari pergaulan bebas. Namun untuk menjadikan tes keperawanan sebagai syarat kelulusan usulan dari DPRD Jember, pemerintah meminta hal tersebut dikaji ulang lebih dalam lagi karena bisa berdampak pada psikologis para siswa.
“Saya harap usulan raperda terkait keperawanan sebagai syarat kelulusan ditinjau lagi. Kasihan pada siswa jika itu jika tes itu kemudian diterapkan,” kata Kepala Kemenag Rosadi Bahar dambil menambahkan bahwa dampak yang akan muncul adalah rasa tertekan para siswi yang mempengaruhi konsentrasi belajar.
Ketua Hotline Pendidikan Jawa Timur, Isa Ansori mengapresiasi semangat wacana tersebut untuk meningkatkan moralitas dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya di Jember. Namun, tes keperawanan dan keperjakaan tidak perlu karena bertentangan dengan konstitusi yang mengatur Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Dalam konstitusi itu diamanatkan pendidikan yang bermutu dan adanya perlindungan anak. “Jadi tes keperawanan ini bertentangan dengan konstitusi tersebut,” kata Isa. “Jika hal tersebut dilakukan, maka akan menghambat seorang anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.”
Para siswa yang bermasalah dalam moral kadang dihukum, tapi hukumannya tidak mendidik karena dikeluarkan dari sekolah atau kemudian dipindah menjadi siswa kejar paket atau yang lain. Padahal dalam UU Pertlindungan Anak mengamanatkan bahwa ketika anak menyandang masalah moral diarahkan ke lembaga yang memberikan perlindungan.
“Untuk hal ini saja negara belum mampu melaksanakannya. Mereka yang bermadsalah dengan moral, pendidikannya harus tetap terjamin meski hukuman tetap diberikan. Tetapi
bukan tes keperawanan, itu tidak penting. Raperda yang digulirkan oleh DPRD Kabupaten Jember tidak bisa diterima,” tegasnya.
Wacana tes keperawanan juga pernah akan dilakukan Pemerintah Kota Prabumulih, Sumatera Selatan. Hal itu mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat. Bahkan Menteri Agama (waktu itu) Suryadharma Ali (SDA) menentangnya. Menurut dia, tes keperawan terhadap para siswa tidak etis karena berdampak buruk pada psikologis mereka.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
SDA menilai, tes keperawanan juga bisa menghambat pendidikan, khususnya jenjang pendidikan Islam yang dibawahi Kementerian Agama, seperti madrasah tsanawiyah (MTs) dan madrasah aliyah (MA). “Untuk itu saya menjamin, di madrasah tidak akan ada (tes keperawanan).”
Dia lebih memilih opsi para orangtua terlibat aktif dalam mengawasi anak-anak mereka agar tidak terjerumus pada seks bebas. SDA berharap orangtua memperkuat pendidikan moral bagi anak-anak mereka.
DPRD Jember minta maaf
Gubernur Jatim, Soekarwo juga menolak wacana perda tentang tes keperawanan yang mencuat di DPRD Jember saat dengar pendapat dengan Dinas Pendidikan setempat. “Dari segi aturan, masalah privat itu tidak bisa dijadikan regulasi, karena syarat regulasi tidak masuk, soal itu masuk untuk agama, jadi kalau masuk (usulan) ke Pemprov Jatim, tentu akan saya pelajari.”
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Dia menyatakan regulasi juga harus bersifat umum, bukan diskriminatif. Senada dengan Cak Karwo, mantan Mendikbud Mohammad Nuh menilai wacana tes keperawanan itu bias gender, karena pihak laki-laki juga harus ditanya. “Saya paham, semangat dari wacana itu ingin mengedepankan moralitas, tapi caranya jangan begitu, karena kerjaan ke depan masih banyak.”
Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia dan Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Jember, juga menolak wacana tes keperawanan pelajar sebagai syarat kelulusan UN di kabupaten itu. Menurut Ketua MUI Jember, Halim Subahar, tes keperawanan dapat dilakukan dalam kondisi darurat seperti pelaku yang tertangkap tangan melakukan perbuatan zina, namun yang bersangkutan tidak mengakui perbuatannya.
“Tes keperawanan tidak boleh dilakukan secara sembarangan dan wacana tersebut sangat meresahkan masyarakat, sehingga kami secara tegas menolak tes keperawanan sebagai syarat kelulusan UN di Jember,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Jember Ayub Junaidi mengatakan pimpinan dewan meminta maaf atas wacana tes keperawanan yang disampaikan anggota dewan. “Saya tegaskan di DPRD Jember tidak ada usulan untuk perda dengan wacana tes keperawanan terhadap para pelajar. Itu bukan wacana dewan secara kelembagaan, namun wacana pribadi anggota dewan.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
“Atas nama lembaga DPRD Kabupaten Jember, kami memohon maaf kepada publik, terutama kaum wanita utamanya anak-anak perempuan seluruh Indonesia, dan pada khususnya anak-anak pelajar di Jember,” katanya.
Komisi D DPRD Jember menurut dia, akan meminta Dinas Pendidikan untuk meningkatkan efektivitas pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah-sekolah. Tujuannya, agar pelajar lebih memahami bahaya seks bebas. “Kami lihat pendidikan reproduksi di kalangan pelajar belum berjalan maksimal sehingga tidak heran jika kemudian tingkat seks bebas di Jember tinggi.”
Ayub memastikan tidak ada pembahasan terkait hal itu dan mengaku pihaknya juga telah didatangai oleh MUI Kabupaten Jember terkit beredarnya wacana tersebut. “MUI sendiri mengatakan tidak perlu seperti itu. Namanya aib saudaranya ya harus ditutupi. Saya pribadi juga tidak sepakat dengan hal itu,” ujar Ketua PC GP Ansor Kabupaten Jember ini.
Menurut Kepala Kantor Kementerian Agama Jember, Rosadi Bahar persoalan tes keperawanan dan keperjakaan tidak semudah yang dibayangkan. Sebab, butuh keahlian khusus seorang dokter, untuk membuktikan apakah keperawanan dan keperjakaan seseorang, hilang karena persoalan seks bebas atau sebab lainnya.
Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir
Seperti dikatakan Rosadi, alangkah baiknya jika memang ingin membina moral siswa, libatkan seluruh pihak, karena persoalan moral generasi penerus bangsa, menjadi tanggung jawab bersama – seluruh bangsa.(T/R01/P3)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
* Illa Kartila adalah redaktur senior MINA. (Ia dapat dihubungi via Email:[email protected])